Senin, 15 September 2008



Sawah

*Oleh: Kustiah

Sawah mengingatkanku pada masa kecil dan remaja. Kebahagiaan saat mengantar makanan untuk bapak. Bermain layang-layang. Dan mencari belut kala sore.
Telah lama aku tak merasakan bau tanah sawah saat diguyur hujan. Bau segar khas alam perdesaan. Hamparan hijau padi dan beningnya bulir-bulir embun di atas daunnya. Aku begitu menikmati masa kecil dan remajaku yang menyenangkan. Sayang, perjalananku menjadi petani kecil hanya sampai kelas tiga sekolah menengah pertama.

***
Waktu itu umurku delapan tahun. Dan baru saja ibuku memberiku seorang adik perempuan mungil. Menjadi anak pertama laki-laki tentulah aku yang menjadi andalan bagi kedua orang tuaku. Maka, tak jarang aku yang menyelesaikan pekerjaan rumah jika ibuku meminta.

Masa kecilku meninggalkan kenangan indah. Yag mungkin tak dirasakan anak-anak jaman sekarang. Menaiki kerbau milik bapak sudah hampir menjadi kebiasaan rutin saat ikut bapak ngluku. Dan aku bangga melakukannya. Apalagi ada bapak yang menjagaiku dari belakang. Jadi aku tak perlu takut jatuh atau terbawa lari oleh kerbau.

Sebenarnya aku tak akan diizinkan bapakku menaiki punggung kerbau. Selain bahaya, pekerjaan bapakku akan terganggu. Tapi aku tak kurang akal. Melihatku membawa rantang dari rumah dan mendengar rengekanku, bapak tak tega.

Pekerjaan wajibku sepulang dari sekolah memang mengantarkan makanan untuk bapak di sawah. Karena tak ada orang lain lagi yang disuruh mengantarkannya. Apalagi bapak orang rajin. Jika pekerjaannya belum selesai, tak akan ditinggal meski perut keroncongan. Walhasil, ibu memintaku mengirim nasi setiap kali bapak bekerja di sawah..

***
Anakku hanya mendengar cerita saja tentang masa kecilku yang bahagia. Mereka sesekali menanyakan bagaimana rasanya berada di punggung kerbau atau apakah kerbaunya masih hidup?

Maklum, kami tinggal di kota. Di perumahan yang berjubel. Hampir tak ada lahan persawahan atau bunyi suara kerbau di lingkungan rumah kami. Tentulah anak-anakku penasaran. Dan mereka bisa merasakan apa yang aku rasakan waktu kecil hanya saat berlibur ke rumah kakek neneknya di kampung.

**
Aku meninggalkan kampung halaman saat hendak memasuki kelas satu sekolah menengah atas. Bapak mengirimku ke sebuah pondok pesantren untuk sekolah dan belajar mengaji. Meski bukan keluarga santri, keluargaku dibesarkan dari orang-orang yang paham agama. Maka ketika anak-anakya telah lulus SMP, segera mereka mengirimnya ke sebuah pondok pesantren.

Ratusan kilo dari rumah, membuatku tak mungkin sering pulang dan bermain di sawah bersama bapak. Apalagi kegiatan sekolahku berjubel. Setelah pulang sekolah-kami menyebutnya sekolah umum—aku harus mengikuti sekolah mengaji. Kalau pun ada libur aku pulang sehari atau dua hari saja, selebihnya hari liburku aku gunakan untuk menyelesaikan hafalan mengaji. Begitu seterusnya hingga tiga tahun.

Lulus SMA aku melampiaskan waktu liburanku di rumah dan membantu bapak di sawah. Meski hanya sebentar-karena harus mempersiapkan kuliah—aku benar-benar tak ingin kehilangan kenanganku. Aku pergi ke sawah menyusul bapak. Sekarang bapak tidak dengan kerbaunya, melainkan dengan mesin traktor. Saat kutanya kemana kerbaunya, bapak menjawab, ” Kerbau bapak jual saat kamu berangkat ke pesantren. Karena tak lagi ada yang mengambilkan rumput dan merawatnya.”

Kami memiliki dua kerbau. Setiap sore aku mengambilkan rumput buat mereka. Tentu bapak akan kewalahan jika harus juga mengurusi kerbau. Untuk ngluku bapak menggantinya dengan tenaga traktor. Yang menurut bapak tak perlu repot mengurusnya.

Meski sebenarnya bapak menyesal telah menjual kerbau itu. Pasalnya, pakai traktor bapak harus merogoh kantong lebih dalam untuk biaya solar dan onderdil jika ada yang rusak.

”Praktis sih praktis, uangnya itu loh yang nggak praktis,” kata bapak. ”Coba kalau kerbaunya tidak bapak jual, mungkin bapak sudah memiliki banyak tabungan,” kata bapak terkekeh.

Wajar jika bapak berkata demikian. Selesai SMA bapak masih ingin melanjutkanku ke jenjang lebih tinggi. ”Meski bapak tidak kaya, kamu tetap harus sekolah,” kata bapak saat itu. Dan berangkatlah aku ke Jakarta setelah seminggu berada di rumah. Di Jakarta aku numpang pada pamanku, adik bapak yang sedang dinas di kejaksaan Jakarta. Karena menumpang, aku tidak ingin merepotkan dan mengecewakan mereka. Setiap pagi sebelum berangkat kuliah, aku membersihkan rumah terlebih dahulu meski tanpa diminta. Aku merasa sudah beruntung bisa ikut tinggal di rumah sewaan itu.

Sering merasa tidak enak dengan istri paman, aku meminta izin untuk pindah ke asrama mahasiswa. Tentu alasanku bukan karena tidak betah, tapi karena kuliah semakin padat dan aku banyak tugas. Dan pamanku mengizinkan.


Setiap bulan aku tidak pernah absen menerima kiriman dari bapak di kampung. Meski tidak banyak, uang itu cukup untuk makan dan fotokopi. Bapak memang seorang petani ulet. Hampir seluruh waktunya hanya untuk sawah. Tidak ada acara ngopi sembari ngobrol di warung seperti orang-orang di kampung kebanyakan. Sepulang dari sawah bapak langsung menuju surau depan rumah kami. Setelah itu istirahat siang. Dan sore harinya pekerjaan di sawah masih menunggu. Juga tidak heran jika tengah malam tiba, bapak tak ada di rumah. Sumur di sawah perlu pengawasan saat pengairan. Jadi kami sudah terbiasa mendengar bapak terbangun dan siap-siap pergi ke sawah.

Itulah sebabnya mengapa aku begitu bangga memiliki seorang bapak yang tak kenal lelah. Bahkan sekali pun aku tak pernah mendengar bapak mengeluh.

Hidup kami sangat sederhana. Meski sebenarnya kami juga tidak kekurangan. Bapak sebenarnya mampu membeli motor baru. Membeli televisi besar dan mengeramik lantai rumah kami seperti tetangga-tetangga lainnya.Tapi semua itu tidak bapak lakukan.

Di rumah kami hanya ada motor butut yang dibeli saat aku berumur sembilan tahun dan televisi hitam putih empat belas inci.Motor butut itu bapak beli untuk keperluan ibu. Seminggu sekali ibu harus belanja ke kota untuk mengisi warung kecil di depan rumah kami. Dan satu-satunya hiburan dan barang istimewa setelah motor butut adalah kotak hitam itu.

Rumah kami juga tidak mewah. Dindingnya dari papan jati dengan lantai bata merah yang diplester. Sewaktu aku kecil, lantai rumah kami sering di penuhi padi atau tumpukan kacang tanah. Jika musim panen padi atau kacang tanah, siang hari sepulang sekolah biasanya ibu memintaku menjemur padi di halaman.

Keluarga kami memang jauh dari mewah. Tapi semangat bapak agar anak-anaknya mengenyam bangku sekolah lebih tinggi dibandingkan siapa pun. Di kampung kami, bisa lulus sekolah menengah atas itu sudah kebanggaan. Bukan apa-apa, kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak masih rendah.
”Sekolah tinggi-tinggi, toh nanti juga nganggur. Buat apa menghabiskan uang,” kata Lek Sukir tetangga kami. Teman-teman seangkatanku lebih memilih merantau ke Jakarta untuk menjadi buruh bangunan karena tidak bisa melanjutkan sekolah. Sebagian lagi memilih tetap tinggal di kampung membantu bapak ibunya bertani. Bukan berarti ongkos yang dikeluarkan untuk biaya hidup lebih kecil. Mereka –anak-anak-itu harus dibelikan motor sebagai ganti agar mereka mau tetap tinggal.

Tidak jarang, sawah yang menjadi ladang hidup mereka harus dikorbankan untuk ditukarkan dengan motor. Yang lainnya lagi, siang malam bekerja di sawah. Setelah panen mereka harus setor ke perkreditan motor.

Sekali lagi aku bersyukur memiliki bapak yang cara berpikirnya lebih maju dari siapa pun. Selain tak mau bermewah-mewah, bapak lebih memilih memiliki tabungan untuk anak-anaknya sekolah dibanding memiliki barang yang sebenarnya tak membantu banyak itu. Perjuangan bapak benar-benar tidak sedikit. Sampai saatnya aku selesai kuliah.

Gelar sarjanaku berasal dari hasil keringat bapakku berpanas-panasan di sawah. Bapakku tak sedikit pun takut menjadi petani, karena dianggap miskin. Toh aku lulus kuliah juga.
Bahkan dari hasil tani itu, saat ini aku bisa bekerja sebagai dosen di salah satu universitas di kota. Jika saat kuliah empat bulan sekali aku dikirimi uang, sekarang giliranku mengirimi uang untuk bapak dan ibu di kampung. Selama aku kuliah tak satu pun sawah terjual. Bahkan bapak bisa menyisihkan tabungan dari hasil panen.

Maka, sebenarnya tak ada pekerjaan yang lebih indah selain menjadi petani di kampung. Memiliki sawah yang membentang hijau, kandang yang diisi sapi untuk ngluku, dan anak-anakku menaiki punggung sapi dengan tawa ceria.

Aku mengusulkan itu pada istriku untuk kembali ke kampung. Merawat anak-anak, mengajar dan bertani. Apalagi istriku yang juga seorang pengajar, tentulah ia bisa mengabdikan hidupnya untuk masyarakat kampung.


Jakarta 14 September

Minggu, 14 September 2008

Lebaran



*Oleh: Kustiah



Beberapa hari ini mata kananku sedikit berair dan kedutan. Menurut emak, kedutan di mata kanan tandanya akan bertemu kekasih atau orang yang kita sayangi. “Jika mata sebelah kanan kedutan, janganlah kamu terlalu khawatir. Karena itu pertanda baik,” kata Emak sewaktu masih hidup. “Khawatirlah jika yang kedutan itu mata kirimu. Segeralah ambil air wudhu dan berdoa agar peristiwa buruk tak terjadi. Hanya doa yang bisa menggagalkanya. Karena, jika yang kedutan mata sebelah kiri, itu pertanda akan ada bahaya datang. Pertanda kamu akan menangis,” lanjut Emak suatu kali.



Emak memang mahir dalam urusan mengartikan pertanda. Entah itu benar atau tidak kami tidak pernah mempermasalahkannya. Dan kami sebagai anak-anaknya selalu percaya. Di kemudian hari kami mengatakan yang sama kepada anak-anak kami. Meski kami dan anak kami berbeda cara pandang. Kalau dulu, saat Emak mengartikan pertanda dan mengatakannya kepada kami, kami percaya dan membenarkan dengan menghubung-hubungkan peristiwa yang telah ataupun yang akan terjadi. Sedangkan saat ini sungguh jauh berbedaa. Saat aku mencoba mengatakan hal yang sama kepada anak-anakku seperti yang Emak katakan kepada anak-anaknya, mereka segera berkata, “Ibu kuno, hari gini masih percaya mitos. Bisa jadi mata kedutan akibat kelilipan atau lelah. Ah, ibu mah percaya saja apa yang dikatakan orang jaman dulu” kata anak-anakku. Setelah itu, hanya sampai generasi kami saja yang percaya pada arti pertanda-pertanda itu. Sedang anak-anak kami tidak.



Begitupun dengan suara tokek yang sepanjang siang mengganggu istirahatku. Maka, Lastri yang akan mencari sapu ijuk bergagang panjang yang biasa digunakan membersihkan sawang untuk mengusir tokek itu. Kembali aku ingat kata Emak. Jika tokek bersuara di penuwun rumah pada siang hari, itu tandanya akan datang tamu agung. Aku mencoba mengingat-ingat, adakah seseorang yang aku tunggu hingga mata kananku terus bergerak-gerak. Atau siapakah gerangan tamu agung yang hendak berkunjung ke rumah nenek tua ini.



Tidak sia-sia Emak mewariskan ilmu menafsirkan tanda. Yang membuatku selalu merasa optimistis dan bertawakal. Ternyata, pun pertanda itu benar atau tidak, ia telah mengalirkan pengharapan pada tubuh tua ini.

Aku kemudian ingat anak-anak dan cucu-cucuku. Sebentar lagi lebaran datang. Pastilah yang akan datang dan menjadi tamu agung itu mereka. Setelah bulan puasa yang kutunggu-tunggu telah tiba, sekarang giliran hari lebaran yang kuharapkan segera datang.

Manusiwi bukan, jika hari yang ditunggu telah datang maka hari lain yang ditunggu lagi. Meskipun aku tahu, sebenarnya tidak ditunggu pun hari itu akan datang juga. Bukankah waktu terus merambat, merayap, dan mendekat.



Tapi entah kenapa aku begitu antusias menunggu lebaran datang. Kamar-kamar mulai aku bersihkan. Bunga-bunga aku sirami dan aku ganti potnya dengan yang baru. Dan seluruh dinding telah aku cat dengan warna bagus dan terang. Tak lupa, aku minta Lastri membantuku membuat kue kesukaan anak-anak dan cucu-cucuku. Ayam kampung peliharaanku juga telah aku siapkan. Mereka paling suka, jika pulang tersedia ayam kampung untuk dipanggang. Karena saya tahu, di tempat tinggalnya di kota sana tentu ayam kampung sulit dicari. Kalau pun ada, pasti jarang.



Selalu demikian tiap tahun menjelang lebaran. Aku menyambutnya dengan penuh sukacita sebagai seorang ibu, mertua,dan nenek bagi anak, mantu, dan cucu-cucuku. Aku ingin mereka tetap perpandangan baik terhadapku. Berusaha sebisa mungkin membuat mereka betah dan kerasan. Meski saat mereka datang, aku juga menyimpan sedih, karena itu artinya mereka juga akan secepat mungkin pergi. Jika begitu, aku harus ingat bahwa kebahagiaan tiada yang kekal. Apa yang aku tunggu-tunggu membuat perpisahan semakin mendekat.



Mungkinkah anak-anak dan cucu-cucuku berpikiran sama sepertiku. Menunggu waktu itu dan menganggapnya istimewa seperti yang aku rasakan. Dalam hati aku mengiyakan, “Pastilah mereka juga sama denganku. Menunggu hari lebaran datang. Bertemu neneknya dan bermain di halamn rumah kampung nan luas. Yang tentu tak dimiliki anak-anakku yang berumah di kota dengan halaman dan taman yang tak cukup buat berlarian hingga berkeringat.”. Juga bukan karena alasan hari-hari berpuasa akan segera usai, aku menggu lebaran datang. Aku mengharapkannya karena pada hari lebaranlah anak-anak beserta cucu-cucuku datang menjengukku. Menghangatkan rumah yang selama setahun sepi. Tak ada jeritan anak kecil atau derai tawa anak-anakku yang saling ejek.



Sejak berumah tangga, hanya setahun sekali saja mereka datang menjengukku. Karena selain jaraknya yang tidak dekat, ongkosnya banyak, biasanya alasan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.

Dan aku maklumi itu. Toh, sebagai orang tua aku tidak boleh manja dan menyusahkan anak-anakku. Bukankan lebih dari cukup mereka memperhatikanku. Setiap setahun sekali mereka menyisihkan waktu menjengukku. Dan setiap bulannya selalu mengirimiku uang atau paket tanpa aku minta. Mungkin sebagai penebus karena mereka tak bisa mendampingiku di saat usiaku telah senja. Atau itulah bentuk bakti anak-anakku yang semasa kecil kubesarkan, dan saat telah besar mereka ingin mencurahkan kasih sayangnya padaku.



Anak yang kulahirkan pertama kali beristrikan seorang perempuan Palembang. Karena pekerjaannya juga di sana, maka menetaplah ia di tanah seberang bersama keluarganya. Sedang anakku yang kedua bersuamikan lelaki Papua. Semenjak lulus sekolah menengah atas anak perempuanku ini ikut budhenya yang menjadi dosen di salah satu universitas di Papua. Dan saat ini anakku yang kedua mengajar juga di salah satu universitas di sana.



Kedua anakku telah meninggalkan tanah tempat lahirnya sejak mereka lulus SMA. Walhasil, aku dan suamiku saja yang menempati rumah besar ini. Suara anak-anak telah lama tak kami dengar. Jika kangen atau ingin tahu kabar, kami hanya bisa mendengar suaranya di ujung sana lewat telepon. Jadi, sebenarnya aku tidaklah kaget dengan kesendirian dan keheningan. Karena aku telah terbiasa mereka tidak hadir di rumah ini.



Empat tahun lalu aku tidak merasa kesepian karena ditemani suamiku yang seorang pensiunan guru. Meskipun kami sama-sama pensiunan guru, kami tidak pernah menganggur. Kegemaran membuat kue di waktu muda tak bisa membuatku diam. Sewaktu jadi guru, berangkat ke sekolah untuk mengajar aku tak lupa membawa kue kering untuk dititipkan di warung dekat sekolah dan kantin sekolah.



Dengan bantuan suamiku, di sore hari usai mengajar kami membuatnya bersama-sama. Dan tak terasa, aku memiliki tabungan dari hasil jualanku. Anak-anaku dibesarkan dan disekolahkan dari jerih payah pembuatan kue itu. Sebagai seorang guru gaji kami tak seberapa. Hanya cukup untuk pengobatan Emak ke dokter dan membeli gula non-kalori. Emak memiliki penyakit diabetes, maka pengobatan harus rutin agar penyakitnya tak mengganggu organ lain. Selebihnya, yang menopang kehidupan kami agar terus berjalan adalah berjualan kue.



Usai anak pertamaku dibaiat menjadi sarjana, Emak meninggal. Emak jatuh dari ranjang saat hendak bangun. Tiga tahun kemudian menyusul suamiku menghadap Yang Kuasa karena kecelakaan terserempet bus saat mengantar kue dagangan. Dan empat tahun sudah aku ditinggal orang-orang yang aku sayangi. Sebatangkara. Satu-satunya yang menjadi teman dan yang senantiasa menghiburku hanyalah Lastri. Lastrilah yang mengurusi semua keperluanku selama ditinggal anak-anak dan suamiku.

Sering anak-anakku memintaku tinggal bersama salah satu dari mereka. Agar aku tak kesepian. Selain sudah tua, anak-anakku ingin aku ada yang merawat. Tapi tawaran itu aku tolak karena aku tidak ingin menyusahkan mereka.



Itulah alasannya mengapa aku begitu bersemangat tatkala menyambut hari lebaran. Aku membayangkan seperti setahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Rumah ini begitu penuh orang. Kejaran anak-anak. Riuh tawa dan cerita.

Meski hanya setahun sekali anak-anak dan cucu-cucuku datang. Sungguhlah aku rela menunggui lebaran selanjutnya, karena pada saat itulah rinduku terobati.



Jakarta, 11 September
Nasibku Malang di Keretaku Sayang



Siapa sih yang tidak kenal kereta? Hampir semua lapisan masyarakat tahu dan pernah naik “ular besi” ini atau sekadar tahu bentuk kereta. Moda transportasi ini cenderung menjadi pilihan saat bepergian, alasannya selain kereta tidak kenal macet ongkosnya juga murah meriah. Dibanding dengan alat transportasi lainnya kereta memang dikenal paling bisa dijangkau oleh kalangan kelas bawah. Maka tak salah jika penumpang kereta tidak pernah pindah ke lain pengangkut.

Tapi sayangnya, pilihan masyarakat penumpang untuk tidak meninggalkan kereta tidak bersambut manis. Jumlah penduduk yang semakin bertambah (yang asumsinya penumpang kereta juga semakin bertambah) membuat kereta menjadi alat transportasi yang tidak bersahabat bagi penumpang. Tak jarang jumlah penumpang yang melebihi kapasitas gerbong membuat kenyamanan dan keamanan terabaikan.

Memang telah ada penambahan gerbong oleh PT Kereta Api Indonesia. Namun penambahan itu dirasa kurang karena tetap saja tidak sebanding dengan banyaknya jumlah penumpang. Selain keamanan dan kenyaman, yang sering menjadi persoalan calon penumpang adalah para calo yang bergentayangan di sekitar stasiun. Meski PT KAI telah menyediakan penjualan tiket secara online, tetap saja tiket cetakan PT KAI ini beredar di tangan calo.

Hari-hari menjelang lebaran membuat penjualan tiket di stasiun Gambir bertambah ramai. Dan menurut pengamatan tak ada perbaikan pelayanan. Dari tahun ke tahun selalu sama. Antre, tertipu, dan nelangsa tatkala berada di atas kereta. Pemandangan klasik masih saja terlihat. Para calon penumpang yang telah berjam-jam mengantre ular-ularan sepanjang 500 meter, di lain waktu bisa lebih panjang. Kadang, bahkan lebih sering mereka harus menelan pil pahit. Mereka harus bubar dari antrean karena tiket telah habis. Jika begini para calo segera merapat. Menawarkan tiket ke calon penumpang yang kecewa karena tidak bisa mendapatkan tiket. Ada sebagian yang rela mengeluarkan ongkos dua kali lipat lebih mahal, lainnya memilih membeli tiket di atas kereta.



Yang memilih beli tiket di atas kereta jangan harap bisa masuk ke dalam kereta. Di sana ada beberapa petugas yang siap menanyai tiket kereta. Tentu setelah itu kita digiring ke petugas kereta api yang melayani penjualan tiket secara ilegal. Meski yang ditawarkan adalah tiket ilegal tanpa tempat duduk, tetap saja kita harus membayar dengan harga tiket yang legal. Jika digambarkan tiket ilegal ini serupa dengan tiket parkir yang di keluarkan oleh Pemda DKI. Tak ada stempel, tanggal atau logo PT KAI. Yang ada hanya coretan tangan tergesa-gesa. Di tempat pelayanan ini tak ada meja atau perkakas apa pun. Dua petugas laki-laki berdiri dan dikitari tiga sampai empat petugas. Di sinilah orang yang tidak beruntung mendapatkan tiket berkerumun membeli tiket. Kurang lebih sekitar 30-an orang selam tiga sesi. Setibanya di dalam kereta api, para calon penumpang ini bersiap-siap menyiapkan koran untuk sekadar duduk atau meringkuk.



Di sinilah kejanggalan pelayanan kereta api kembali tampak. Di satu sisi puluhan orang telah rela mengantre berjam-jam tapi tanpa hasil karena tiket habis. Sementara itu, banyak sekali para calon penumpang baru tiba-tiba menempati kursi kosong di dalam kereta api. Ternyata usut-punya usut, penjualan tiket kereta api dilaksanakan kembali saat lima menit sebelum kereta berangkat. Kami pun menyimpulkan bahwa PT KAI telah berlaku curang. Kami mengira bahwa penjualan itu dilakukan karena tiket yang di jual para calo tidak laku, maka diserahkan kembali ke petugas penjualan kereta api.



Perlu dipertanyakan kembali, dengan buruknya pelayanan PT KAI apakah kereta masih akan menjadi pilihan masyarakat? Dilihat dari banyaknya penumpang kereta api, sebenarnya tak relevan jika PT KAI mengalami kebangkrutan. Maka evaluasi di pihak internal PT KAI sendiri patut dilakukan