Selasa, 04 Mei 2010

Malam Tak Biasa

Cerpen Mei**

Malam Tak Biasa

Malam itu seperti malam-malam biasanya. Udara gelisah yang kadang ikut mempengaruhi hati dan pikiranku.

Kaki kulangkahkan pada stasiun tua.Tempatku menunggu kereta yang akan membawaku menyusuri ladang, sawah, dan pengalaman-pengalaman yang mungkin akan senantiasa membekas.

Menunggu adalah hal yang menjemukan. Maka kuputuskan untuk menikmati malam dengan teh manis hangat dan lontong sate yang rasanya tak bisa kutebak. Kupilih bangku yang tak terlampau dekat dengan lampu. Kuamati lingkungan di sekitar tempatku duduk. Tak ada yang aneh. Meski aku menyadari kekurangan di sana-sini. Tapi malam itu aku memaklumi segalanya.

Lalu pandanganku tertuju pada matamu yang terus mengamatiku.

“Ada yang salah?” tanyaku.

Tak ada jawaban. Senyummu sedikit mengembang dan menggeser alismu yang cukup tebal. Kukira aku tak memerlukan jawabanmu.
Lalu kuamati jalanan yang semakin lama semakin sesak oleh kendaraan roda dua dan mobil mengilap.

Teh manis hangat terhidang.

“Apa yang terjadi sebenarnya?” katamu. Seolah-olah antara mencoba menebak dan bertanya.

Aku pura-pura tak tahu apa yang coba kau maksudkan.

“Jujurlah. Aku ingin kita terbuka,” katamu mulai sedikit mendesak.

Aku masih bungkam. Kukira tak ada yang perlu kujelaskan.

“Biar aku tak salah dengan sangkaan dan pikiranku yang selama ini berkecamuk.”

Aku sedikit terpancing untuk berkata-kata. Namun aku berhasil mengurungkannya.
Kukira, tak perlu berbicara banyak denganmu malam itu. Karena aku tahu, semua itu akan saling melukai.

“Baiklah jika kau tak juga mau bicara,” katamu mulai sedikit menyerah.

Mataku sesekali menumbukkan pada kedalaman pandang matamu yang tajam. Sambil

perlahan tanganku bergerak mengaduk gula dalam gelas.

“Apa pentingnya engkau tahu apa yang kurasakan?”

“Tidak ada. Aku hanya ingin di antara kita saling terbuka.”

Kuaduk-aduk pikiranku seperti tanganku mengaduk gula dalam gelasku, mencoba menerka dan meraba apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan.

Perlahan kuhela napas berat dan panjang. Aku tak terbiasa berbohong. Denganmu sekalipun.

“Apa yang kau tangkap dari perasaanku selama ini?”

“Tidak. Aku tak akan mengatakan sekecil apa pun tentang yang kuketahui. Aku tak bisa menerka-nerka.”

“Lalu, apa pentingnya engkau mengetahui perasaanku?”

“Baiklah kalau engkau keberatan. Aku tak akan memaksamu.”

Akhirnya kita sibuk dengan makanan yang telah tersaji. Meski sebenarnya telah hilang selera makanku sejak mata dan bibirmu menyerang dan menghujaniku dengan banyak pertanyaan.

Engkau adalah lelaki yang penuh dengan semangat hidup. Padamu kutemukan kelembutan dan kebaikan yang kadang sulit kumengerti. Apakah hanya denganku engkau begitu, ataukah sebenarnya telah banyak perempuan yang juga merasakan perlakuan yang sama seperti yang kurasakan. Atau barangkali aku saja yang Gr.

Kurasa, dalam hati kecilku aku sedikit berharap agar malam tak segera berakhir. Biar bisa kuhabiskan malam yang malang ini dengan curahan embun.

Kutimbang-timbang. Sementara itu, kulihat matamu masih menyelidik dan mengharapkan suatu jawaban yang mungkin dapat membuatmu lega.

“Ya. Aku menempatkanmu di sudut hatiku.”

Kuamati wajahmu kembali. Bibirmu mengembang. Matamu sayu menatapku. Kukira engkau telah puas dengan apa yang kukatakan. Dan kurasa mungkin kelelakianmu telah bertambah, menjadi lebih merasa tampan dan lebih merasa memiliki daya pesona, sehingga tak sedikit perempuan akan mematutkan cintanya kepadamu. Kulihat tanganmu membenamkan topi yang perlahan menutupi wajahmu.

“Kamu puas?” tanyaku.

Aku merasa merdeka dari perasaan yang telah lama mengungkungku. Dari kecil orang tuaku selalu mengajarkanku untuk senantiasa berkata jujur meski akibatnya pahit, ketimbang menyimpannya dalam relung hati. Karena hati hanya memiliki ruang yang terbatas, tak seluas samudera yang siap menampung air dari segala penjuru.
Kutebak-tebak sikapmu atas jawaban yang telah kukatakan.

Engkau sedikit gugup mengambil eir jeruk hangat dalam gelas yang ada di depanmu.
Sunggingan senyummu masih belum hilang. Kudengar engkau sedikit tertawa seolah engkau telah memenangkan lotre.

“Terima kasih atas kejujuranmu.”

Dan kali ini tebakanku benar. Jawabanmu bahkan telah kuterka jauh sebelum engkau mengatakannya. Kudengar kata-katamu dengan sabar. Satu per satu meluncur seperti telah mendapatkan ilham setelah tertidur semalam suntuk.

Mulai dari ucapan terima kasih hingga perasaan dan pikiranmu yang selama ini gelisah berusaha menerka-nerka. Kuikuti semua dengan kedalaman hati yang entah mengharapkan timpalannya atau hanya sekadar menguapkannya.

Satu per satu kuperhatikan pengunjung warung tenda itu mulai pergi. Malam semakin larut. Sementara kita masih sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing.

“Aku merasa bahagia dengan kejujuran yang kau katakan kepadaku,” katamu.

Malam itu menjadi malam terakhir. Malam istimewa yan tak pernah kutemui lagi pada malam-malam setelahnya. Karena kita berpisah pada ujung jalan yang telah kita tentukan berbeda. Sesekali kulihat wajahmu dari kejauhan. Namun engkau terlalu jauh, hingga aku hanya menyenyumimu seorang diri.

Kulihat pula engkau merajut dengan tatapan dan sikap yang manja kepada kawan-kawan yang kau anggap menarik hatimu. Kukira cinta memang tak perlu dimengerti. Hingga ruang dan waktu tak memberikannya tempat untuk berkembang.

Kudapati diriku pada keadaan sadar, sesadar-sadarnya. Melumat rasa pahit dan menelannya dalam-dalam untuk kemudian memupuknya menjadi rasa pengertian yang besar akan makna hidup.

Malam terus menggulung gelap. Sementara kita terus berjalan menyusuri jalan berkelok yang sepi dan berpisah di ujung jalan. Lalu kuputuskan kembali ke stasiun. Menghabiskan sisa lembaran buku yang belum selesai. Melumat waktu yang tak lama lagi akan berganti terang.

Esok pagi sekali kereta akan mengantarkanku menuju kota tua yang cantik. Mengunjungi kerabat dan saudara yang telah lama kutinggalkan. Kembali menziarahi masa kanak-kanak yang menyenangkan dan menengok lembarannya satu per satu.

Senin, 19 April 2010

Perempuan- perempuan

Engkau datang
Lalu engkau pergi
Dengan cepatkakimu kau langkahkan
Menuju tangisan anak kecil berasal

Lalu kaulangkahkan kakimu kembali
Mengaduk gula dalam secangkir kopi
Tempat suamimu menunggu

Anak dalam gendonganmu memelukmu erat
Seolah tak ingin melepasmu walau sekejap

Kopi pahit manis kau suguhkan
Dalam sekelebat kakimu kau langkahkan menuju kompor yang menyala
Tempat nasi kau tanak waktu hari masih gelap
Seolah tak ingin menyia-siakan waktumu
Tanganmu dengan cekatan mengiris tempe dan membumbuinya

Perempuan perempuan
Dari tangan dan kasihmu dunia ini hidup
Dari kasih tulusmu lah anak-anakmu tumbuh
Dan dari kasihmu yang tiada taralah lelakimu bertahan

Selasa, 06 April 2010

Semalam Bersamamu

Kustiah**
Bau tubuhmu masih tercium. Sepertinya baru lima menit yang lalu engkau pergi meninggalkanku dari ruangan ini. Sepertinya baru saja engkau melepaskan pelukanmu. Masih terasa matamu menatap mataku sambil mengatakan “aku akan selalu menyayangimu”.

Meski terdengar gombal, tetapi aku menyukainya. Hatiku mongkok dan tak ingin melakukan apa-apa selain tetap bersamamu jika sudah mendengar sloganmu itu.

Malam telah berganti pagi. Mataku diterpa sinar mentari yang menyelinap masuk dari tirai jendela yang sedikit tersingkap. Akhirnya, mau tak mau mataku harus membelalak. Segera aku menuju kamar kecil untuk membersihkan muka dan mulutku.

Kurasakan tanpa kehadiranmu hidupku sepi. Ruangan ini pun tampaknya sepakat denganku. Tak ada canda, tawa, dan kata-kata manjamu, kamar ini seperti mati. Seperti tak bergairah menghadapi hari esok.

Jika mampu berkata, bersamaku mereka akan berkata “Jangan pergi. Tinggalah terus bersamaku hingga ajal menjemput dan memisahkan kita”. Namun, sama sepertiku, ruangan ini lebih memilih membisu. Lidah kelu.

Hanya waktu malam saja bibir ini bisa berkata jujur. Saat wajahmu benar-benar berada dua senti dari wajahku. Saat matamu menghujam seluruh isi tubuh dan pikiranku. Tanganmu mendekap erat, dan kita seperti tak ingin berpisah walau sekejap.

Namun pagi itu, engkau tetap harus pergi. Entah kesibukan apa yang memaksakmu untuk buru-buru meninggalkanku, bersama seluruh isi ruangan ini.
“Apakah kau izinkan aku untuk menyelesaikan urusanku hari ini,” bisikmu sambil menempelkan bibirmu di telingaku.

Tentu aku tak akan mengatakan tidak atau menolak permintaanmu jika sudah begitu. Segera kukecup keningmu dan kusenyumi wajahmu yang cerah pagi itu.
“Ya. Pergi saja. Jaga diri baik-baik,” kataku.

Jika mendengar suaramu memelas , naluriku segera berubah menjadi seperti seorang ibu, seorang kakak, sahabat, atau siapa saja yang kau anggap mampu membuatmu nyaman. Lalu pergilah engkau dengan rangsel yang telah kau kemasi, sekelebat ditelan daun pintu.

Aku tahu, bahwa kepergianmu sebenarnya untuk menemui teman perempuanmu lainnya. Aku tahu dari pesan yang dikirimkannya untukmu malam tadi. Seperti air, perasaanku yang bening mudah berubah menjadi keruh, digelitiki ikan-ikan yang ada di dalamnya, dan benar-benar keruh, kemudian tenang untuk membuatnya bening kembali.

“Beginikah rasanya pilu?” aku bertanya pada diriku sendiri. Seperti baru kali ini kurasakan kembali hati yang tercabik-cabik. Cemburu. Kenyataannya demikian. Lalu di mana rasa sayangku kepadamu yang baru saja membuai-buai.

Aku diam di atas sofa dengan segelas air di tangan. Sambil menatap lukisan perempuan bali yang sedang menari. Kubayangkan perempuan itu kesepian. Dengan kesukaannya yang dielu-elukan penonton karena liukan tubuh, matanya yang gesit, dan tangannya yang terampil. Kulihat betapa perempuan itu tak memedulikan siapa pun kecuali gerakannya dan konsentrasinya pada tiap hentakan irama. Matanya seperti menatap kepastian hidup, dan yakin pada masa yang akan datang.

Lalu pikiranku kembali pada lelaki yang baru saja meninggalkanku.
Tak kurasakan lagi hati mongkok dan bening, sebening air gelas dalam genggamanku. Aku berusaha menyadar-sadarkan diri bahwa sesungguhnya yang mencintai adalah aku. Kebetulan yang memiliki raga dan jiwa adalah engkau.

Cintaku dan sayangku mungkin bukan apa-apa bagimu. Karena aku bukan perempuan yang memiliki tubuh seperti Luna Maya atau Aura Kasih. Aku hanya seorang perempuan yang membanggakan kelembutan dan kebaikan yang kumiliki. Kata orang-orang begitu. Aku terlalu keibuan dan memiliki hati yang lembut. Benar apa tidak aku sendiri tak tahu.

Kadang kupatut wajahku pada cermin. Kulihat mata, hidung, dan bibirku yang kuanggap lebih banyak mirip seperti wajahnya Kartini, bulat seperti bulan. Mataku juga seperti mata Kartini yang sendu namun keras kemauan. Hidungku, memang tak sebangir hidungnya Cornelis, pacar Minke. Namun aku bangga memilikinya.

Bibirku. Inilah salah satu indera tubuhku yang sering kututupi dengan tangan jika sedang bicara dengan lelaki yang membutaku jatuh cinta. Aku takut menggodanya. Juga aku takut melakukan tindakan yang tidak sopan dengan bibirku. Maka, kupilih menunduk jika bicara dengan orang yang kucintai.

Aku sadar, bahwa yang kubanggakan sebenarnya adalah sesuatu yang telah melekat pada tubuhku. Karena Tuhan yang menciptakannya. Di saat aku mematutkan wajahku, ada perasaan kecewa bergemuruh.

“Mungkin karena apa yang kumiliki inilah, engkau tak benar-benar mencintaiku”. Aku diombang-ambing perasaanku sendiri. Perasaan tak menentu karena menebak-nebak perasaanmu. Perasaanku yang diliputi kebimbangan.“Apakah benar yang kau katakan semalam? Ataukah aku saja yang sebenarnya mengharapkanmu mengatakan demikian. Pun tidak benar aku tetap akan senang mendengarnya.”

Entah apa pula yang menyebabkan sifatku kadang berubah kekanak-kanakan jika berada di depanmu. Tak biasanya aku bersikap demikian. Mungkinkah cinta telah mengubah yang rasional menjadi tidak rasional. Yang dewasa menjadi kanak-kanak. Dan mengubah siapa diriku yang sebenarnya, yang kadang tak kukenali.

“Baiklah. Aku tak akan membiarkan cinta ini liar mengejarmu. Sampai di sini saja.”
Kutemukan hatiku mengatakan penyerahannya sambil meratap. “Seruni tak ingin hidupnya tragis seperti Kenanga.”

Ya. Namaku Seruni. Seruni akan menyerah untuk kali ini saja. Untuk kecelakaan cinta karena telah mendarat tidak pada tempatnya. Kukatakan perpisahanku kepada seluruh isi ruangan. Untuk remang cahaya yang telah mengawasi setiap gerak dan gembiraku.
“Terima kasih. Katakan pada siapa saja yang datang mengunjungi kamar ini, untuk menyapamu lebih dahulu.” Agar kelak jika pergi tidak dengan hati yang kecewa sepertiku. Karena telah kauberkati pada waktu malamnya.

“Apakah aku semalam melupakanmu remang?”
“Apa aku hanya peduli pada lelaki yang ada di depanku, di pelukanku?,” ratapku menyesal karena telah mengabaikan keberadaanmu.

Kukemasi barang-barangku. Kukenakan switer untuk melindungi tubuhku dari terpaan udara pagi.

Jalan taman yang lurus dengan bunga yang tertata rapi menghiburku begitu aku menatapnya. Mereka menegurku dengan keramahan. “Jalanlah terus ke depan. Jangan kau tengok ke belakang,” kata bunga-bunga dan jalan yang telah berpasang-pasangan sehidup semati, membuatku iri.

Kulangkahkan kakiku tanpa menengok. Aku bersiap diri untuk meneguk pahit lebih banyak lagi. Sesekali kuhapus butiran kecil yang jatuh di pipi. Dan bunga menghibur hatiku yang terluka.

Pada akhirnya kembali kuingat puisi yang tiba-tiba menohok hatiku. Sapardi sepertinya memahami perasaanku pagi itu.

Aku Ingin

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada



Selasa, 02 Februari 2010

Jasa Keuangan Otoritas Siapa?

Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia tampaknya masih jauh dari panggang. Hal ini ditandai dengan masih adanya perdebatan penting atau tidaknya OJK sementara deadline pembentukan OJK sudah di depan mata yakni tahun 2010. Kebijakan pembentukan OJK sudah diputuskan berdasarkan UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Keputusan tersebut bukan tanpa landasan. Krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat sistem keuangan Indonesia limbung. Maka lahirlah kesepakatan pembentukan OJK yang menurut undang-undang tersebut harus terbentuk pada tahun 2002.
Namun sebagian kalangan sepertinya masih alergi jika OJK terbentuk. Faktanya di tahun 2002 draf pembentukan pun masih belum ada. Pada tahun 2004 akhirnya UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia tersebut direvisi, menjadi UU No 24 2004 yang menyatakan tugas BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Untuk mencapainya, BI melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan dengan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
OJK bukan sebuah kesepakatan di atas kertas. Apalagi deal-deal politik yang bisa ditarik jika menguntungkan dan diulur jika tidak menguntungkan. Lebih dari itu, OJK adalah sebuah cita-cita akan sebuah lembaga yang bisa melakukan pengawasan secara ketat seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi (UU No 24 2004 tentang Bank Indonesia). Maka lahirlah undang-undang tentang pembentukan OJK ini dengan harapan esok hari krisis keuangan tak kan terulang seperti tahun 1997-1998.
Dalam sebuah pertemuan antara bank sentral Asia di Nusa Dua tahun lalu penjabat Gubernur Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom mengeluarkan statemen perihal OJK. “Seharusnya pimpinan otoritas jasa keuangan (OJK) seharusnya dipegang oleh Gubernur Bank Indonesia. Alasannya, sistem keuangan dalam perekonomian Indonesia masih didominasi oleh perbankan,” katanya.
Miranda mencontohkan kepala otoritas jasa keuangan di Prancis dan Belanda dijabat gubernur bank sentralnya. Adapun posisi jabatan lain bisa berada dari luar bank sentral. Dengan komposisi ini, pasokan informasi ke bank sentral untuk pembuatan kebijakan moneter yang tepat bisa terjamin. "Yang penting kepalanya sama," kata Miranda di Nusa Dua, Bali, pada akhir pekan lalu. (Koran Tempo)
Masih menurut Miranda, keberadaan otoritas jasa keuangan bukan satu-satunya jaminan keberhasilan pengawasan. Kasus bangkrutnya Bank Northern Rock di Inggris akibat subprime mortgage di tahun 2008 sebagai salah satu contohnya.
Sementara itu menurut pendapat salah satu Pengamat Ekonomi Dr Tata Huberta dalam artikelnya yang berjudul “Debat Mengenai Pengawasan Intensif Bank-bank”, rencana pembentukan suatu lembaga pengawas bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada hakikatnya merupakan kecenderungan (trend) yang banyak terjadi di berbagai negara di dunia. Inggris, misalnya, mulai mengembangkan konsep ini dengan membentuk apa yang disebut Financial Services Authority (FSA). Jepang pun sama, mengembangkan apa yang disebut Japan FSA. Australia juga melakukan pendekatan sejenis dengan membentuk Australian Prudential Regulatory Authority (APRA). Sementara itu, masih banyak lagi negara-negara maju maupun berkembang yang sudah maupun ingin mengembangkan konsep seperti itu.
Tata beranggapan pembentukan OJK di Indonesia pada hakikatnya merupakan bagian dari "tuntutan zaman". Langkah ini dimaksudkan untuk dapat mengikuti perkembangan yang terjadi secara cepat pada sektor jasa keuangan, terutama dengan munculnya konglomerasi di sektor itu. Suatu bank misalnya, memiliki anak perusahaan berupa perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, perusahaan leasing, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam keadaan terkonsolidasi, maka tali-temali antarperusahaan itu makin lama makin erat. Bahkan, di negara yang menganut konsep universal banking, hubungan antara berbagai kegiatan itu lebih erat lagi, karena dilakukan oleh suatu perusahaan atau bank yang sama. Dengan demikian, apa yang terjadi pada perusahaan sekuritas, akan dapat mempengaruhi kegiatan di bidang perbankan, begitu pula sebaliknya. Karena itu, pemisahan yang terkotak-kotak dari sisi pengawasannya akhirnya akan menimbulkan suatu in-efisiensi di bidang pengawasan maupun adanya risiko tidak tercakupnya pengawasan perusahaan jasa keuangan itu secara lebih menyeluruh.
Saat debat itu dimulai dalam pembahasan Undang-Undang Bank Indonesia tahun 1998 dan 1999, kenyataan itu agak terkaburkan dengan prioritas yang lebih tinggi, yaitu bagaimana dapat mengatasi krisis perbankan di Indonesia secara cepat. Dengan mulai terselesaikannya krisis itu, maka langkah berikutnya untuk membentuk lembaga itu menjadi lebih mendesak. Sementara itu, momentum yang ditimbulkan oleh perubahan di negara-negara lain pun akhirnya dapat mengilhami proses pembentukan lembaga itu di Indonesia.
Pembentukan "Financial Stability Wing"
Sementara itu, ada pula perkembangan yang sejalan dengan proses pelepasan otoritas pengawasan bank-bank itu dari bank sentral. Dalam hal ini, konsep pembentukan Financial Services Authority di Inggris disertai reorganisasi di Bank Sentral melalui pembagian tugas Bank of England ke dalam dua bagian penting, Monetary Stability Wing dan Financial Stability Wing. Perkembangan ini juga terjadi di tempat-tempat lain.
Bank Sentral Swedia misalnya (atau dikenal dengan Riksbank), pada dasarnya memiliki lembaga pengawasan bank yang terpisah sudah puluhan tahun lamanya. Namun, dengan adanya krisis perbankan di negara itu pada awal tahun 1990-an, akhirnya ada suatu tekad dalam bank sentral negara itu untuk secara intensif mengikuti perkembangan bank-bank yang masuk dalam kategori bank-bank yang sistemik, yaitu bank-bank yang karena besarnya dapat menyebabkan guncangnya stabilitas seluruh sistem perbankan jika terjadi masalah dengan bank itu. Karena itu, dalam perkembangannya, Riksbank lalu membentuk apa yang disebut Financial Stability Wing.
Dalam konsepnya, Financial Stability Wing menangani dua tugas penting. Tugas pertama menyangkut pengawasan prasarana keuangan, yaitu Sistem Pembayaran seperti kliring antarbank, kliring elektronis, maupun juga sistem Real Time Gross Settlement system (RTGS) sebagaimana kini sudah dikembangkan Bank Indonesia sampai ke berbagai kota. Demikian juga kliring surat-surat berharga, seperti saham maupun surat utang Pemerintah. Kedua bentuk sarana kliring itu memiliki tali temali yang tinggi dan pada hakikatnya mengandung risiko sistemik yang amat tinggi.
Tugas kedua adalah menyangkut pengawasan bank-bank yang masuk kategori sistemik. Dalam hal ini ukurannya adalah berapa besar peranan bank itu dari keseluruhan total perbankan. Selain itu, mungkin juga ada bank yang meski kecil tetapi memiliki tingkat sistemik tinggi. Contohnya, jika bank itu menjadi settlement bank dari pasar modal. Meski kecil, jika bank itu bangkrut maka serta-merta transaksi pasar modal akan amat terpengaruh.
Karena itu, "trend" baru ini perlu dipahami bersama munculnya "trend" pembentukan lembaga semacam Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (“Debat Mengenai Pengawasan Intensif Bank-bank”, Tata Huberta).
FSA Inggris
Inggris disebut-sebut sebagai negara dengan kondisi perbankan yang sehat sebelum kasus bangkrutnya Bank Northern Rock. Hal tersebut tak terlepas dari keberadaan OJK, di mana FSA (Financial Supervision Authority) memiliki tugas mengawasi berbagai lembaga keuangan, termasuk bank, pialang saham, dan pengelolaan dana pensiun. Namun kesuksesan OJK tersebut tertepis setelah Northern Rock tak mampu diselamatkan. Selanjutnya kebangkrutan Bank Northern Rock disusul krisis keuangan yang melanda negeri Paman Sam yang berakibat pada krisis keuangan negara-negara lainnya di dunia..
Northern Rock adalah bank negara yang didirikan oleh pemerintah Inggris. Menurut laporan setebal 183 halaman yang disampaikan oleh pejabat Bank Northern Rock, regulator City telah gagal secara sistematis dan FSA Inggris dinyatakan tidak melakukan regulasi perbankan sebagaimana mestinya. Kasus ini telah mencoreng imej OJK Kerajaan Inggris yang mendapatkan julukan memiliki FSA terbaik dibanding negara-negara tetangganya.
Sebelum tahun 1990 FSA adalah sebuah badan hukum perusahaan asuransi yang kemudian menggabungkan diri dengan Badan Investasi dan Sekuritas (SIB) pada 7 Juni 1985 atas dorongan bendahara kerajaan. Bendahara kerajaan sendiri memiliki kewenangan menjual sejumlah perusahaan yang bermasalah sesuai dengan delegasi yang ditujukan untuknya. Pasca- kolapsnya Barings Bank di tahun 1990, UK berkeinginan membentuk jasa industri keuangan di bawah pengawasan regulator.
Terlepas dari berbagai kontroversi tentang OJK, undang-undang telah disepakati dan diketuk. Badan independen ini akan melakukan tugasnya sesuai yang termaktub dalam UU No 24 2004 tentang Bank Indonesia. Maka tidak ada jalan lain kecuali melanjutkan atau sekali lagi melskukan amandemen. Kustiah

Hati-hati dengan Produk Murah

Kualitas produk dari luar tak selalu bagus. Jika tidak hati-hati memilih kesehatan menjadi taruhannya.

Sejak penandatanganan perjanjian perdagangan bebas (FTA) antara negara-negara ASEAN dengan China pada tahun 2001 dan mulai efektif 1 Januari 2010, kita telah tak asing dengan produk-produk negeri naga yang membanjir di pasaran. Pada saat itu pula pedagang yang biasa memasarkan produk lokal harus bersaing ketat dengan produk China.

Di sepanjang stasiun Jakarta- Bogor, pasar tradisisonal, dan mal-mal tampak produk-produk China berjubel. Sebut saja salah satunya jeruk santang. Sementara untuk produk lainnya ada perabot rumah tangga berupa mangkuk, piring, gelas, sendok dan masih banyak lagi, serta mainan anak-anak.
Negara dengan populasi terbesar di dunia ini memang dikenal sektor industrinya lebih cepat maju dan dikenal tak mudah menyerah. Produknya tak hanya terlihat di pasar Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Selain barang-barang yang dijual murah, produk China juga kreatif dan variatif. Jadi jika pertimbangan membeli produk adalah harga, maka produk China akan memberikan solusinya.

Namun tunggu dulu! Jangan mudah terkecoh harga. Meski tak perlu merogoh kocek cukup dalam, pembeli dituntut mewaspadai mutu yang ditawarkan.
Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan membeli. Apakah produk tersebut aman dan sehat bagi keluarga?
Membeli buah jeruk santang yang berasal dari China misalnya. Sebagai konsumen kita perlu memperhatikan apakah buah yang akan kita beli tersebut masih segar atau tidak. Apakah vitaminnya yang terkandung didalamnya masih baik atau tidak? Jangan sampai kita hanya membeli ampasnya.
Tidak jarang tampilan mengelabui. Tampak jauh warna jeruk begitu menggoda, kuning tajam dan segar. Namun jika diperhatikan lebih dekat dan dipegang, jeruk terlihat layu dan gembos. Bisa saja kondisi buah yang demikian karena dipengaruhi lamanya jeruk dalam perjalanan, yang otomatis perlu suhu dingin atau es untuk menjaga supaya buah tetap segar dan tidak rusak. Padahal jika buah terlalu lama di dalam freezer kesegaran dan kandungan vitamin buah bisa rusak.

Ini baru buah, masih ada produk-produk dari China lainnya yang masih perlu diwaspadai.
Tentu kita masih ingat dengan peristiwa di mana banyak bayi yang teracuni karena susu yang diminum mengandung bahan kimia berupa melamin di atas ambang batas. Tak hanya keracunan, beberapa bayi dinyatakan kesehatannya turun drastis dan meninggal dunia.

Berdasarkan berita yang dilangsir Assosiated Press beberapa waktu lalu mengatakan bahwa kepolisian China telah menutup beberapa pabrik susu di Shanghai. Polisi menemukan bukti adanya bahan kimia berlebih dalam produk susu. Pabrik-pabrik tersebut langsung ditutup dan beberapa direksinya ditangkap.

Maka tak heran jika Amerika dan beberapa negara lainnya menolak produk dari China karena dianggap berbahaya bagi kesehatan anak.

Melamin biasanya digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan plastik dan pupuk. Namun, produsen susu di Shanghai menggunakannya sebagai bahan pengencer susu. Tujuannya satu, dengan cara begitu produsen dapat meraup keuntungan berlipat-lipat dari semestinya.

Maka periksa terlebih dulu seberapa bermutukah produk yang akan kita beli. Karena murah bukan jaminan sebuah produk memiliki mutu yang bagus.
Semestinya Pemerintahan China menjadikan peristiwa di tahun 2008 yang menelan korban beberapa nyawa bayi dan puluhan bayi mengalami gangguan kesehatan sebagai sebuah tamparan. Apalagi China bertekad memperluas pangsa pasarnya di tahun ini dengan dibukanya perjanjian Perdagangan Bebas.
“Orientasi China pada FTA dengan negara-negara ASEAN kali ini adalah memperluas ekspor seluas-luasnya,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofyan Wanandi.
Jadi, jika industri yang memasokkan produknya tidak memperhatikan faktor mutu dan kesehatan konsumennya, maka bukan tak mungkin negara-negara lain seperti Indonesia akan berbalik arah meninggalkan produknya. Sementara itu, selain adanya upaya perbaikan dari pemerintah China, pemerintah Indonesia seharusnya juga melakukan pengawasan lebih ketat terhadap produk-produk yang masuk. Karena masyarakat yang akan menjadi konsumsinya tak perlu menggadaikan kesehatannya untuk sebuah produk
yang lebih murah. Kustiah

Surga untukmu Ibu

18.00 wib Jakarta, 14 Januari 2010

Semenjak tahu pentingnya berdoa, aku selalu meminta kepada Tuhan supaya dalam menjalani kehidupan senantiasa diberi kemudahan.
Kemudahan menyelesaikan sekolah, kemudahan mendapatkan pekerjaan, kemudahan menemukan jodoh, kemudahan mendapatkan keturunan, kemudahan jika sakaratul maut menjemput dan kemudahan-kemudahan lainnya.
Benar, beberapa kemudahan telah Tuhan berikan dengan cara dan jalan yang aneh, yang di kemudian hari aku mengerti bahwa Tuhan memberikan yang terbaik.

Namun malam ini aku diuji untuk kesekian kalinya. Tuhan sepertinya hendak menguji kesabaranku. Kemudahan belum sampai kepadaku.

Selepas magrib dokter menungguku. Tanda tangan harus kugoreskan di atas lembaran kertas yang menanyakan kesediaanku untuk ditangani. HSG.

Sehari setelah dokter kandungan menyatakan bahwa aku harus melakukan serangkaian pemeriksaan rahim, malam-malamku diwarnai gelisah dan ketakutan. Suami ikut sibuk mencarikan informasi apa itu HSG, efek samping dan apa saja rangkaian pemeriksaan-pemeriksaannya.

Meski telah berusaha untuk tenang, tangan dan perasaan sepertinya telah bekerja sama. Tangan meremas, menggenggam satu sama lain. Suara di ujung telepon telah mengingatkan jadwal pemeriksaan yang akan dilaksanakan.

Dan keputusan harus diambil.
Sebelum memasuki ruang radiologi, terlebih dahulu aku harus menebus obat dan segera meminum dua butir sekaligus.

“Ini obat mulas bu,” kata perempuan muda, asisten sang dokter.
Tanpa penolakan, pil sebesar jerawat itu pun kutelan. Tak lama perempuan itu pun kembali memberikan intruksi.

“Silakan ibu ganti baju,” katanya lembut sembari menyodorkan baju terusan berwarna biru.
Intruksi demi intruksi kuikuti. Ketegangan mampu kutepis meski tak sepenuhnya, dengan cara membuka percakapan dan perkenalan.
Perempuan muda ini tentulah sudah sangat mahir menangani tindakan medis yang akan dilakukannya.
Kutanyakan apakah perempuan itu tidak takut dengan dampak radiasi, mengingat setiap hari ia bersentuhan dengan alat ini.

“Tentu khawatir bu. Tapi kan ada safety-nya,” jawabnya.

Dipan yang berbentuk meja persegi panjang ditata. Lampu penyinaran dibenarkaan letaknya. Tubuhku digeser kekanan kekiri.

“Nanti ikuti aba-aba saya bu ya,” katanya.
Perempuan muda itu keluar. Pintu ditutup. Kudengar langkah cepat-cepat mendekat dan pintu dibuka.

“Tarik napas, lepaskan, tahan.”
Sekali lagi kuikuti perintahnya. Sepuluh menit berlalu.

Sang dokter memasuki ruangan dengan peralatannya. Kali ini kecemasan dan ketakutan tak bisa kusembunyikan. Berkali-kali aku meminta dokter bercerita. Tak puas dengan cerita singkat sang dokter yang semakin sibuk menyiapkan peralatan, kulemparkan pertanyaan-pertanyaan yang kira-kira akan membutuhkan jawaban panjang.

“Kaki diangkat pelan-pelan ya bu,” kata dokter.

Kaki kuletakkan pada penyangga dibantu asisten dokter. Dokter mengingatkanku untuk berdoa, supaya semua berjalan lancar dan baik-baik saja.

Kali ini aku ingat pada doa-doa yang biasa kupanjatkan.
Selang sebesar kabel headset sepanjang sepuluh sentimeter dimasukkan ke dalam saluran indung telur. Selang inilah yang nantinya menjadi penghantar obat yang akan disemprotkan ke indung telur.
Selang sedikit demi sedikit mulai menyentuh dinding-dinding rahim. Saat itu kurasakan betapa mulas bercampur ingin muntah tak tertahankan.

Beginikah rasanya menjadi perempuan. Tiba-tiba aku ingat pada perempuan setengah baya yang ada di kampung halaman. Ibuku.

“Dok, berapa lama lagi dok. Masih lamakah dok. Dokter punya anak berapa dok?”.

“Anak saya tiga bu.”

Dengan sigap dan cekatan tanpa intruksi asisten dokter menempatkan pegangan tangan yang terletak di pinggir dipan supaya tubuhku tetap tertahan pada tempatnya.

“Pegangan erat-erat bu ya. Dipan bagian kepala akan direndahkan,” kata sang dokter.

Dipan atas mulai diturunkan 90 derajat. Monitor dinyalakan, lampu sinar X tepat memotret di atas perut. Tampak pada monitor kondisi kabel yang pasang di saluran indung telut. Cairan berwarna cokelat masuk dan menyebar dengan cepat. Pada saat yang sama perut mules hebat kembali menyerang, seluruh isi perut seperti hendak keluar, mirip antara hendak buang hajat dan kencing.

“Dok, apakah melahirkan juga seperti ini rasanya?”

Terdengar tertawa kecil sang dokter.

“Lihat bu, Alhamdulilah kondisinya baik semua. Cairan tak terhalang apa pun,” kata dokter menenangkan.

“Alhamdulilah”.

Mulas sedikit terobati dangan berita gembira dari sang dokter.
Terima kasih Tuhan. Telah kau kabulkan doaku. Dugaan PCO yang ada di dinding rahim oleh dokter sebelumnya tidak benar. Lega.

Kan kuterima apa yang akan kau percayakan kepadaku, Ya Tuhan. Pun sejujurnya kupintakan kepada-Mu keturunan yang kelak akan mendoakanku beserta suamiku. (sementara hati terdalamku mengatakan “Belum apa-apa aku sudah menyiapkan tugas untuk anak-anakku”)

Kabel pelan-pelan dikeluarkan dari gua garbo. Dan penyinaran kembali dilakukan untuk mengetahui hasil akhirnya.

Tuhan, kupintakan kepada-Mu jagalah Ibuku, perempuan-perempuan di dunia ini. Berikanlah perlindungan lewat kekuatan hebat kuasa dan tangan-Mu. Karuniakanlah kepada mereka kesabaran tak terhingga, dan sediakanlah surga yang lapang .
Betapa cengengnya aku saat itu. Air mata berjatuhan, ingin sekali aku menyungkurkan diriku pada kedua lutut dan kaki perempuan yang telah melahirkanku. Betapa selama ini aku telah menjadi anak yang banyak melakukan kekhilafan dan telah membuatnya sering merasa besedih.
Ya Tuhanku, betapa telah kau jadikan hamba-Mu perempuan beranak pinak memenuhi bumi. Semoga mereka menjadi hamba kesayangan-Mu karena telah mengahadiahimu anak-anak sholeh-sholehah...

Selera Sang Pemberani



Aku bukan seorang dokter, yang tahu banyak tentang bahan-bahan yang terkandung dalam rokok dan bahayanya. Tapi setidaknya aku tahu tentang bagaimana semestinya menjaga kesehatan.
Di seminar-seminar kesehatan, dari buku, dokter, dari papan reklame rokok yang memamerkan produknya supaya dilihat banyak orang dan dibeli, juga dari bungkus rokok, aku diberitahu, membaca, dan diperingatkan bahwa rokok itu membahayakan.
Tak jarang aku menyatakan keberatan jika ada orang mengisap rokok dan menghembuskan asapnya di dekatku.
Sampai saat ini aku belum pernah melihat ada orang merokok yang menahan asapnya supaya tidak menyembul dan tercium orang lain. Karena itu tidak mungkin.

Menurut seorang kawan, justru nikmatnya merokok itu jika sudah diisap dalam-dalam dan asapnya disembulkan. Lebih nikmat lagi jika ada yang melihat aksinya itu. Tapi rokok akan sedikit terasa pahit jika saat menyembulkan asap ada orang yang memelototinya.
“Tapi soal itu mah saya sudah kebal,” katanya.
Maksud “kebal” adalah sudah sering ia dipelototi orang karena aksinya yang macho tadi.
Justru karena teguran atau pelototan orang.itulah dirinya semakin menjadi pemberani.

“Jadi benar kata iklan rokok, bahwa rokok “seleranya pemberani”. Saya jadi berani membalas memelototi orang yang memelototi saya. Bahkan saya tidak akan segan-segan adu jotos apalagi cuma adu mulut,” tambahnya. Aku bilang O O saja.

“Pantas gigimu kuning dan napasmu bau,,” candaku.
“Karena kalau gigi tidak kuning dan napas tidak bau katamu tidak macho”.
Ia menyeringai.

Di stasiun, pasar, jalan, kantor, dan di mana saja jarang kutemukan orang tidak mengisap yang kata Taufik Ismail namakan “tuhan tuju senti itu”.
Apa nasionalismeku harus pelan-pelan luntur hanya gara-gara rokok? Jika tidak, kenapa tidak ada yang membelaku, bahkan presidenku sekalipun. Ke mana lagi harus mengadu bahwa aku sudah tidak tahan dengan asap putih yang arogan dan sombong itu. Kenapa pula aku harus mual-mual jika asap itu tercium olehku.

“Jika ingin menghirup udara segar, tinggal saja di hutan!,” kata seorang kawan.

“Di hutan juga belum tentu udaranya bersih. Hutan sekarang tidak ada pohonnya. Hanya namanya saja hutan. Kalaupun ada pohonya, biasanya hanya pohon-pohon yang berdiri rapi di pintu masuk hutan. Begitu masuk ke dalamnya kamu bisa main sepak bola atau futsal.”

Di mana aku harus tinggal dengan nyaman, tidak menghirup asap rokok?

“Halah, kamu itu sudah tersugesti dengan apa yang dikatakan dokter. Banyak orang merokok, faktanya umurnya juga panjang. Ada orang yang tidak merokok, hidupnya malah penyakitan dan meninggal. Ada juga dokter yang merokok. Toh manusia nantinya juga pasti mati,” kata kawan meyakinkan. Bangga dengan argumennya yang ia anggap benar.
“Apakah aku harus tidak memercayai dokter, para ahli kesehatan, buku-buku yang memaparkan data-data berapa banyak korban yang meninggal akibat rokok. Berarti seminar-seminar kesehatan juga bohong?” katakuku.

Lalu, mengapa dokter, seminar, reklame, bungkus rokok memberi tahu, berkoar-koar, mencantumkan bahayanya merokok?

Kenapa juga bos-bos perusahaan rokok menyogok penguasa, para anggota DPR dengan mobil mewah, dana kampanye, dan sekoper uang jika rokok hanyalah sesuatu yang tidak penting?

Lebih hebatnya lagi, mereka yang membela perusahaan rokok mengatasnamakan kepentingan kaum petani tembakau. Mereka mengatakan, jika pemerintah mengatur rokok dalam UU atau produksi tembakau dibatasi, petani tembakaulah yang terkena imbasnya.
“Ribuan petani tembakau akan kehilangan mata pencariannya,” ujar anggota DPR yang katanya menerima sumbangan dari para pengusaha rokok cukup untuk pengajian saja. Mungkin maksudnya pengajian untuk mengumpulkan konstituennya tiap bulan supaya periode mendatang memilihnya kembali.

Sebenarnya bukan petani yang akan kelaparan jika perusahaan rokok dan tembakau dibatasi. Melainkan pengusaha-pengusaha rokoklah yang akan pusing tuju keliling. Indonesia hanya punya dua musim, kemarau dan musim hujan. Sementara tembakau hanya bisa ditanam pada musim kemarau. Jika ditanam pada musim penghujan tembakau tidak akan bagus. Cara petani tembakau bisa memasok tembakau untuk perusahaan rokok ya dengan menanam tembakau pada musim kemarau seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya..

“Cukai rokok juga memberi pemasukan Negara, jumlahnya tidak tanggung-tanggung lho!”

Aku terdiam. Aku dan kesehatanku mungkin jauh tidak penting ketimbang jumlah cukai yang diberikan perusahaan rokok. Toh, jika aku sakit, bukankah Negara akan memberikan jaminan kesehatan, karena aku orang miskin. Atau kalau tidak punya Jamkesmas, perusahaan tempatku bekerja akan membayari semua pengobatanku. Kalau tidak enak karena jumlahnya terlalu banyak, ya nanti bisa kubagi dengan perusahaan tempat suamiku bekerja.

“Ya kalau ada LSM yang masih ngotot mengusulkan peraturan pembatasan tembakau dan menutup perusahaan rokok, saya siap berada di depan,” tantang anggota DPR lainnya yang siap pasang badan.

“Hebat sekali, sungguh pemberani,” kataku.

“Ya itu kan memang sudah tugasnya,” bisik kawannya kepadaku.

“Kok bisa,” tanyaku.

“Dia kan jadi DPR karena didukung para pengusaha rokok,” tambahnya lirih.

”Dari mana bapak tahu?”
“Dari pengorbanan yang dia lakukan. Jadi DPR sudah, dikenal tetangga sudah, dikenal juniornya juga sudah, lalu mau apa lagi kalau tidak membela pengusaha rokok. Bisa-bisa periode berikutnya dia tidak bisa jadi DPR lagi?!”

“Tidak bisa jadi menteri juga?”

“Iya”

“Tidak bisa jadi presiden juga”

“Betul!!”

“Oo begitu,” kataku sambil mengucap salam dan pergi.


Pada sebuah malam tak bertuan


Pada sebuah malam tak bertuan di Stasiun Pasar Minggu. Musik bergantian berdentang. Suara beradu, mulai dari musik penjual CD sampai detak tubuh kereta yang sebentar datang, sebentar pergi.
Begitu pula pikiranku yang menerawang, kadang jauh, kadang pada anak-anak yang berlarian di depanku. Kuperhatikan anak kecil lain yang berdiri 10 meter dari tempatku duduk, bersandar pada tiang stasiun. Bajunya kumal, tampak dari kejauhan kulit mukanya yang kusam.
upandang anak itu lekat-lekat. Kakinya telanjang tanpa sandal apalagi celana panjang yang menghangatkannya. Kutatap matanya, kali ini dudukku kudekatkan pada tiang, tempat di mana anak itu berdiri. Matanya sayu, mengingatkan mataku semasa kecil.
Anak itu usianya sepantaran dengan keponakanku, kira-kita empat tahunan. Kuperhatikan matanya tak lepas kepada anak-anak yang berlarian dengan riang di depannya.
Kucari-cari, barangkali ada orang tuanya di sekitar anak itu. Yang kulihat hanyalah keramaian orang lalu lalang hendak naik kereta, kesibukan penjual minuman melayani pembelinya, dan anak itu sendiri terpaku.
Ingin aku berdiri, mendatangi dan memeluknya. Akan tetapi aku khawatir akan membuatnya takut. Hari ini banyak kasus penculikan anak, juga robot gedek yang gemar menyiksa dan menyodomi anak-anak. Kuurungkan niatku mendekati anak itu. Aku ingat berita dari Koran yang kubaca tempo hari. Ada anak sesusia 6 tahun yang dimutilasi. Kepalanya dibuang di bawah jembatan, sedang tubuhnya dipotong menjadi beberapa bagian. Polisi menemukan tanda-tanda anus anak itu disodomi dengan benda tumpul sebelum akhirnya anak malang itu dimutilasi.
Saat membaca berita itu air mata hatiku seperti luruh, darah dalam tubuh seperti luruh jatuh ke kaki, detak jantungku seperti tergesa-gesa mengejar napasku. Mataku merembes.
Anak malang yang dimutilasi itu ternyata anak jalanan yang biasa menginap di rumah laki-laki setengah baya yang memutilasi tubuhnya.
Napas hidungku terasa berat, seperti ada yang menghalangi. Ternyata ingusku sudah menyumbat rongga hidung.
Mataku masih melihat anak yang besandar di tiang itu. Kulihat matanya tampak lelah. Di waktu begini, anak-anak di kampungku biasanya telah terlelap tidur di samping orang tuanya. Pulas tergolek entah di amben atau di kasur empuk. Memimpikan bekejaran dengan teman-temannya atau bermimpi bermain bersama teman-temannya di sekolah. Anak yang bersandar di tiang di depanku pelan-pelan kuperhatikan duduk dan menyelonjorakan kakinya. Rambutnya semakin tampak olehku kusut dan seperti tak pernah dikeramas.
Ingin kutepuk pantat dan kuelus rambut anak itu. Tentunya kumadikan dan kukeramasi terlebih dulu. Kubaringkan anak itu lalu kuceritai yang indah-indah tentang kisah-kisah hebat, mimpi masa depan, dan cita-cita besar.
Musik dari tape tua dengan lagu-lagu tua timbul tenggelam menyayat-nyayat. Melengkapi pedihnya hatiku.
Kusenyumi anak itu saat matanya melihatku. Pikiranku merangkai-rangkai kata. Ingin kukatakan sesuatu yang membuatnya tenang dan nyaman. Anak itu diam, memainkan uang koin yang ada di tangannya. Kali ini tangannya menggoreskan koin itu di atas lantai bata yang berdebu.
Kepalanya menunduk, sesekali melihatku dengan cepat. Lekas-lekas kepalanya menunduk seraya tangannya tetap memainkan koin.
Mulutku masih membentuk simpul senyum, dan mukaku kucera hkan .
”Namanya siapa dik?”
“Bagas.” Kudengar suaranya lirih menjawab.
“Siapa dik?” kuulang pertanyaanku.
“Bagas”
“Ooo, Bagas!!!”
“Bagas tinggalmya di mana?”
Anak kecil itu terdiam.
Kudengar kereta yang kutunggu datang.
Membawa anak kecil itu bersamaku tentu tidak mungkin.
“Bisa disebut penculikan, atau bisa jadi orang tuanya akan mencari anak lelakinya, menangis dan bersedih karena anaknya tidak pulang” batinku.
Tapi hati dan pikiranku mendesak-desak untuk membawanya serta. Menyogoknya dengan uang puluhan ribu dan mengajaknya tinggal bersamaku.
Tidak mungkin aku melakukannya atau meninggalkannya seorang diri. Keduanya tak mungkin kulakukan. Kereta semakin mendekat. Kudekatkan mukaku ke mukanya.
“Besok kita ketemu lagi ya”.
Kupegang tangannya yang masih menggenggam koin. Lembaran uang kertas itu mungkin tak membantunya meraih masa depan yang baik. Tapi aku menginkannya esok dia kembali ke sini, meski aku tak tahu apakah akan menemukannya.Di mana dia akan tidur malam ini dan malam-malam berikutnya?
Bagaimana hidupnya? Berbagai pertanyaan berkelindan, saling mendesak dan membuat relung hatiku semakin sempit. Kereta membawaku pergi menjauhinya. Dan tubuhku kutenggelamkan pada lautan manusia dalam perut ular besi. Sampai kapan aku akan melihat anak-anak seperti yang malam ini kulihat? Kemiskinan, kemiskinan, kemiskinan dan banyaknya orang yang gemar korupsi dari hari-ke hari akan menambah jumlah anak yang seharusnya tak menanggung beratnya hidup. Seharusnya mereka tak ada di stasiun di tengah malam begini, tak ada di jalan-jalan yang asap dan motornya bekejaran. Juga tak menengadahkan tangannya untuk mengisi perutnya yang keroncongan, juga tak bermain di tempat-tempat berbahaya dan kotor. Ya Tuhan,, berapa lama lagi kau akan tenggelamkan bumi ini dengan kepedihan.

Kenang-kenangan Terakhir


Tiga tangkai bunga layu tergolek di vas bunga di atas mejaku. Warnanya yang semula putih cerah dan kuning tajam telah berubah menjadi kehitaman sedikit membusuk karena lembab.

Bunga itu sebentar-sebentar saja kuperhatikan, jika hendak menuju dapur atau mau mengambil CD (compact disc).
Walau telah layu, bunga itu terasa spesial. Meski tak sespesial ketika pertama kali diletakkan.

**************
Pukul setengah enam pagi laki-laki yang tergolek di sampingku bangun dan tiba-tiba beranjak pergi keluar kamar. Sambil mengganti pakaian dan mencari peci, laki-laki yang tak lain suamiku mengatakan bahwa ia ingin ikut melepaskan jenazah Gus Dur, ulama yang dikaguminya itu menuju bandara untuk selanjutnya diterbangkan ke Jombang.

Saat itu mataku masih terpejam menikmati empuknya bantal dan terpaan semilir angin dari pintu kamar yang terbuka.

“Ya, pergilah. Kalo sudah selesai lekas pulang ya. Hati-hati di jalan.”

Tidak biasanya suamiku terbangun saat matahari masih tertidur. Lalu aku mengerti, bahwa kepergian sang idola telah membuatnya ikut berduka.

Pukul 10 kami janjian untuk bertemu di Stasiun Pasar Minggu, karena akulah yang membawa kunci rumah.

Kuperhatikan dari jauh tangan suamiku melambai. Lalu kudekati lambaian tangan itu. Kami duduk pada rel besi kereta yang telah didesain menjadi tempat duduk. Laki-laki ini meletakkan bungkusan Koran lalu membukanya, juga segebok beberapa Koran harian yang terbit hari itu.

Tiga tangkai bunga.
“Hari ini aku bersedih” katanya tenang.
“Hanya bunga inilah yang terakhir menjadi kenang-kenangan dari seorang Gus Dur. Juga berita Koran-koran yang mengabarkan kepergiannya”

Kulihat sudut matanya basah. Sampai hari ketujuh setelah kepergian orang yang dikaguminya itu, tak pernah kudengar suamiku tertawa. Sungguh kepergain Gus Dur membuat kami terasa amat berat melepaskannya. Kesederhanaan, keberanian, dan kejujurannya membuat kami kagum sekaligus bangga pernah memilikinya.