Kamis, 29 Januari 2009

Kematian

Kustiah**

Mati atau tidak bernyawa. Tapi lebih tepatnya wafat untuk mengabarkan berita buruk atas kecelakaan maut yang terjadi di dekat tempatku bekerja sore itu. Manusia datang, berkerumun. Satunya berkomentar, lainnya mengintip dengan telapak tangan yang ditutupkan di mukanya.

Sore menjelang malam. Bahkan sore sudah serupa dengan warna aspal, gelap. Kerumunan manusia semakin melebar dan keramaian tak terelakkan.

Tak mampu menahan rasa penasaran, aku segera melompat menuju kerumunan.
Kulihat tubuh terkulai di atas tanah tanpa alas apa pun. Rambut sebahu telah bercampur tanah. Muka pucat. Mata terpejam dengan kedua tangan tersedekap di atas perut. Separuh tubuhnya tak bisa kulihat dengan jelas. Sebatas perut hingga kaki telah tertutupi koran. Hanya ujung jari-jari kakinya yang tampak. Tak jauh dari tubuhnya, sendal tergolek tanpa pasangan.

Polisi sibuk mengeja, mengabari, berdesas-desus. Manusia berkerumun terpaku, gelisah. Hatiku tak kalah gelisahnya. Ingin kutanyakan kepada siapa pun, apa yang terjadi?, bagaimana bisa terjadi?, bagaimana selanjutnya?

Aku mundur. Lalu kembali pada sebuah tubuh yang tak kukenal. Kupandangi, sisanya lagi hatiku bergetar.

Tubuh itu kini sendiri. tanpa nyawa yang menggerakkannya. Tak ada keinginan atau kemarahan, apalagi penyesalan. Tubuh itu kini pasrah. Sendiri bersama alam yang diam.

Wajahnya kulihat sunyi. Usianya mungkin tak jauh dari usia ibuku. Yang hidupnya sedang bergulat untuk anak-anaknya. Mungkin dia sendiri tak ingin meninggalkan anak-anaknya di rumah dengan jerit tangis tak rela. Atau melihat suaminya terkejut dengan kepergiannya yang mendadak, tanpa pamit dan kecupan manis.

Aku menunggui. Hingga akhirnya mobil ambulans datang menjemput. Mengangkatnya dan entah akan membawa tubuh itu ke mana. Kulihat tanah bekas perempuan tadi terbaring. Darah kental meluber. Segera laki-laki datang dengan membawa pasir dan menumpahkannya ke atas darah kental. Di ujung aspal, darah masih terlihat berkilauan. Merah bercampur hitam aspal.

Oh Tuhan. Tenangkanlah raga tubuh yang baru saja Kau ambil Ruhnya. Tenangkan pula Ruhnya. Tabahkan hati anak-anak dan suaminya. Saudara-saudara dan orang-orang yang mengenalnya. Mungkin kepergian ini tak ia kehendaki, dengan pedih dan sakit yang ia rengguk di pinggir jalan ini.

Aku percaya. Engkau senantiasa memberikan yang terbaik bagi hamba-hamba-Mu. Maka tak ada kesalahan dan yang disalahkan. Jika semua telah Kau kehendaki,,maka aku hanyalah menjadi penonton-Mu saja.

Biarlah jalan ini menjadi saksi atas ketidakberdayaan tubuh menahan sakit. Ketakberdayaan manusia yang pada akhirnya memang akan kembali kepada-Mu. Biarlah aku mengingat kenangan pahit ini tiap memijak jalan yang telah menjadi saksi nyawa hamba-Mu terenggut. Yang bisa jadi tanpa dampingan siapa-siapa, tanpa air putih terteguk, atau air mata menetes, nyawa pergi meninggalkan tubuh. Semua telah terjadi.

Minggu, 11 Januari 2009

Anak Yatim

Oleh: Kustiah***


“Aku tunggu ya. Besok datang ke rumah pukul satu siang. Ingat kan rumahku blok A4 nomor 6. Tahu kan perumahan seberang?”

”Insya allah bu, besok saya ke sana. A4 nomor 6 ya,” katanya dengan mata bulatnya,
meyakinkan

Delapan pagi selepas bangun tidur aku langsung menuju dapur. Rumah sepi. Nur, yang biasa menanak nasi dan bertugas belanja pergi ke pasar pagi sekali untuk kulakan barang dagangannya. Kulongokkan kepalaku ke kamar sebelah. Kulihat Soleh masih tidur terlelap. Mungkin dia masih kelelahan setelah bulu tangkis semalam, pikirku. Mengurungkan niat untuk membangunkannya.

Aku ingat. Aku punya janji bertemu seseorang siang ini. Maka setelah bersih-bersih di kamar mandi, segera kunyalakan kompor untuk memasak menyiapkan sarapan sekaligus membuatkan bakwan untuk tamuku nanti.

Sepanjang memasak jantungku berdebar campur haru. Masih terngiang-ngiang suara anak perempuan kecil itu.

”Assalamualaaikuuuuuuuum”.

”Assalamualaikuuuuuuuuum”.

Di sudut hati seperti mengumpul air dan merembeskannya ke dalam mataku. Di sudut mataku tiba-tiba terasa perih karena muncul rembesan air.

”Ah, apa mungkin aku mau menstruasi setelah jeda tiga bulan?,” aku membatin.

”Apa mungkin aku tidak hamil. Tentu tidak”. Aku tertawa kecut. Sadar betul bahwa itu tidak mungkin. Begitu dua bulan tidak menstruasi aku dan suami langsung membeli tespek. Lagi-lagi aku harus menerima kenyataan dan kekalahan. Entah dengan suamiku. Yang kulihat dari raut mukanya adalah dia sedang berusaha menenangkan dan mendamaikanku dengan keadaan. Hasilnya jelas, negatif.

Lalu kurasa sedikit mulas.

”Ah, keluarlah jika ingin keluar. Aku siap melihat warna merah di celana dalamku”.

Kulihat Soleh masih juga belum keluar dari kamar. Dan aku membangunkannya untuk sholat subuh.

Aku mendengar langkah kaki terseret di luar rumah. Kubuka pintu. Dan kudapati Nur baru pulang dari pasar dengan jagungnya.

Dengan Nur aku ceritakan pertemuanku dengan anak perempuan kecil itu. Tengah malam begitu aku pulang dari pertemuan RW di rumah tetangga seberang.

Aku tak cukup kuat menahan haruku seorang diri. Juga aku ingin mengatakan ke Nur bahwa hidup kita sebenarnya sangat beruntung dan banyak diberikan berkah.

”Bersyukurlah kita Nur, masih memiliki orang tua lengkap di saat kita belum siap jika ditinggalkan. Dan kita masih tahu dan mengenal wajah bapak ibu kita,” kataku ke Nur dengan mata merembes dan hati pahit.

”Aku nggak bisa membayangkan Mbak. Hatiku juga seperti tersayat mendengar cerita Mbak Tik tadi,” kata Nur.

Lalu kami diam di saat malam telah menjelang pagi. Mataku masih juga terjaga, tak merasakan kantuk sedikit pun.

”Mbak, aku tidur di luar aja ya.Biar besok bisa kulakan pagi-pagi sekali. Kalau tidur di dalam kamar biasanya aku susah bangun pagi. Siang biar aku bisa menemui anak perempuan kecil itu,” kata Nur sedikit meminta izin dan berpesan.

Dia tahu. Aku akan melarangnya tidur di luar ruangan. Tanpa kasur dan selimut. Selain aku tak mau seluruh ruangan rumah yang hanya ada tiga ruang ini menjadi tempat tidur. Tidur ya di ruang tidur. Ruang keluarga yang juga sebagai ruang tamu tak boleh digunakan sebagai ruang tidur kecuali terpaksa. Misal jika ada tamu yang mesti tidur di dalam ruangan, otomatis dua saudara sepupu laki-itu mesti tidur di luar. Untung sampai saat ini belum pernah ada tamu yang menginap.

”Ya,” jawabku singkat sambil menutup mata dengan selimut dan bantal memaksa tidur di dalam kamar.

Sebelum Nur pulang dari pasar aku ingin menceritakan pertemuanku dengan anak perempuan kecil itu kepada Soleh. Antara iya dan tidak karena berbagai pertimbangan. Karena hati ini tak bisa menahan haru dan senang akan pertemuanku siang ini aku berhasil memulai mengatakannya. Meski aku bisa menebak apa yang akan di katakan Soleh.

Berbeda dengan Nur yang hatinya lembut dan kata-katanya tersususn enak dan menenangkan, Soleh justru sebaliknya. Sifatnya keras. Antara kritis dan kesoktahuannya tipis sekali dibedakan. Kata-kata yang diucapkannya seperti tanpa peduli dengan hati yang mengajaknya bicara. Biasa ceplas-ceplos tapi minim wawasan. Dan hatinya sangat sensitif. Jika diluruskan Soleh segera masuk kamar mengabaikan penjelasan apa pun.Tapi dia banyak ide dan mau mencoba banyak hal meski kadang sering menyepelekan orang lain. Jarang aku berkata-kata dengannya jika tidak penting setelah berkali-kali mendapat jawaban dan respons yang tidak mengenakkan. Hanya Nur saja yang mampu menjadi teman dekatnya meski tidak jarang konflik terjadi. Untung Nur tahu itu. Diam baginya adalah jawaban tepat.

”Iya kang Soleh. Anak perempuan kecil itu nanti siang mau ke sini. Aku memintanya datang jam satu siang,” kataku.

”Iya kalau yang dikatakannya itu benar. Bisa saja sampeyan ditipu. Mbak percaya saja begitu,” jawabnya.

”Aku tahu apakah anak perempuan itu menipuku, jujur atau tidak. Aku bisa melihat kebohongan dan kejujuran dari matanya,” kataku lagi.

”Ooo, jadi mbak tahu kalau ada orang tidak jujur. Tapi takut mengatakannya. Tidak berani bilang ke orang itu kalau dia bohong”

”Sudahlah,,malas saya membahasnya. Iya, mungkin aku orang bodoh yang gampang percaya orang lain. Sudah, sudah, tak perlu dilanjutkan lagi pembicaraan ini. Aku sudah menduga itu yang akan kau katakan kepadaku.”

Lalu Soleh masuk kamar. Entah apa yang dilakukannya. Dan Nur datang.

Waktu merayap. Akhirnya selesai juga aku memasak. Dan kami sarapan bersama.

”Jam berapa dia datang Mbak,” tanya Nur sambil menyuapkan nasi pertama ke mulutnya.

”Nanti jam satu,” jawabku.

Hatiku sempat ragu apakah dia bisa datang siang ini atau tidak. Mendung tebal. Dan aku tidak yakin dia ingat alamat rumah ini.

Pertemuan pertama. Mengingat alamat orang yang tidak ia kenal. Tentu dia tidak akan hapal mukaku. Sayang,,malam itu aku tidak membawa pulpen untuk mencatatkan alamatku. Sebelumnya aku menawarkan agar anak perempuan itu menelponku. Tapi apa mungkin. Biasanya telpon ke HP kan mahal, pikirku malam itu.
Ah, aku hanya bisa berharap.

Azan zuhur berkumandang. Itu artinya jam satu siang tinggal sejam lagi. Hujan mulai rintik. Dan Nur kembali masuk rumah setelah menanam pohon singkong dan kangkung di lahan taman yang belum terurus di samping rumah..

Aku mondar-mandir. Membuka pintu dan menutupnya kembali. Mengambil kain pel dan mengelapkannya ke lantai yang basah karena hujan.

Jam bergerak. Dan saat ini pukul satu tet. Nur kulihat keluar. Dia meminta izin untuk menjemput anak perempuan itu di depan gang perumahan setelah merasa telah melihat anak kecil berkerudung lewat saat Nur menanam kangkung.

“Tadi aku melihat anak kecil berkerudung lewat. Apakah anak itu Mbak?”

”Kenapa tak kau tanya dia mau ke mana?”
”Kau itu jangan keterlaluan diamnya. Lihat, jika kelihatannya dia bingung tanya dia mau ke mana,” pekikku tak tertahan. Dan Nur segera keluar setelah aku berkata tinggi.

Anak perempuan itu mungkin tak akan kutemui lagi. Setelah niatku ingin memintanya bekerja dan tinggal bersamaku. Atau memasukkanya ke sekolah menengah pertama di daerah Tebet sana. Sama seperti yang kulakukan terhadap dua saudara sepupuku laki-laki ini.

“Kenapa usiamu sekecil ini meminta-minta,” tanyaku menatap mata anak perempuan yang tampak lelah itu.

”Ke mana orang tuamu? Berapa saudaramu?”.
“Rumah di mana? Masih sekolah”

Rentetan pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di sudut kepalaku.

Dan hatiku merembes jika ingat jawabannya yang lugu yang aku yakin dia tidak berbohong.

Awalnya aku hanya ingin mengamati apa saja dan bagaiman yang dilakukan peminta-minta. Kuamati dia dari jarak tiga rumah di depanku. Aku tahu, anak perempuan itu pasti tahu telah aku amati.

“Assalamualaikuuuuum”
“Assalamualaikuuuuum”

Anak perempuan itu berdiri di depan rumah jauh dari pintu. Jika rumah itu berpagar dia cukup berdiri di luar pagar. Jika rumah belum berpagar maka dia akan berdiri di lima langkah dari pintu rumah. Suara salam dikeraskan. Jika nasib baik, pintu pemilik rumah akan terbuka dan tangan dengan uang yang saya tak tau nilainya menjulur. Lalu anak perempuan itu akan mendekat dan mengucapkan terima kasih.

Mataku masih mengamati tapi juga tak melepaskan pandanganku ke ponsel yang sedang mengirim pesan. Aku ada janji dengang pengurus RW di rumah temanku malam itu. Karena ini pertama kali aku ke rumahnya dan belum tahu alamatnya maka kukirim pesan agar ia mengirimkan alamatnya segera.

Anak perempuan itu sudah berdiri di lain rumah. Kali ini sudah tiga rumah tak membukakan pintu dan memberinya uang.

Dan ia melewatiku yang berdiri di tengan jalan gang yang sepi. Pintu rumah di blok ini memang telah tertupup semua. Maklum malam itu udara cukup dingin dan waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Tiga langkah di depanku, entah kenapa kakiku mengikutinya.

”Dik, aku mau tanya”.
Tiba-tiba mulutku kubuka. Ponsel masih di tangan. Belum aku masukkan ke saku karena masih menunggu balasan dari temanku.

”Rumahnya mana?,” tanyaku.

”Leuwipanjang bu.”

”Mana itu. Jauh dari sini?”

”Ya jauh bu.”

”Berapa ongkos dari sini ke rumah?”

”Dua puluh ribu bu, naik angkot.”

”Terus berangkatnya jam berapa dari rumah”.

”Mulai jalan jam satu siang”.

”Jalan kaki dari jam satu siang,” mataku mendelik tidak percaya. Tapi berusaha percaya dan mendengaranya.

”Iya”

”Masih punya kakak, orang tua?”

”Bapak sudah meninggal waktu saya tuju bulan di dalam kandungan. Ibu sakit lumpuh di rumah, ditungguin sama kakak yang berusia 19 tahun. Kakak yang kedua 24 tahun dan kakak pertama 29 tahun bekerja diajak temannya di Jakarta.”

Mulutnya rapat setelah menjelaskan panjang lebar kepadaku. Tak kalah rapatnya, mulutku bahkan terkunci menelan ludah. Terasa pahit.

”Lalu kamu-minta-minta. Sekecil ini?”

Dia diam. Kepalanya tetunduk. Badannya bergoyang sedikit. Dan otomatis tas rangsel yang menggantung menutupi dada dan perutnya ikut bergoyang. Tangannya memegang lembaran kertas, seperti peminta pada umumnya. Membawa kertas bertuliskan berapa ribu yang pemberi berikan. Kerudungnya tidak kumal amat, meski lusuh sedikit. Rok panjangnya menutupi mata kaki dan hanya terlihat sendal dan kakinya yang hitam. Bajunya panjang dan longgar.

Kulihat wajahnya kecokelatan matang. Mungkin karena jalan siang sepanjang hari terkena sinar matahari. Matanya sendu dan bulat. Tubuhnya kurus, persis seperti adik perempuanku sewaktu duduk di kelas satu SMP. Secepat kilat aku merasa kangen ke adikku yang sedang menempuh sekolah menengah atas di sebuah pondok pesantren di ujung Pati sana.

”Lalu pulangnya jam berapa”

”Nanti jam sembilan jam sepuluh bu”

“Sudah dapat berapa”.

“Delapan ribu”.

“Delapan ribu dari jam satu siang?,” mataku kembali mendelik.
”Lalu ongkosnya nanti bagaimana, kan itu belum cukup”.

Kulihat tirai jendela rumah di depanku dibuka. Mungkin karena percakapan kami agak terdengar keras. Dan aku memelankan suaraku.

”Mau kerja?”
”Di mana bu?”
”Ya di rumahku,” diam aku berpikir. Mulutu sekonyong-konyong menawarinya kerja tanpa aku tahu apa yang akan dikerjakannya nanti.

”Kerja apa bu?”

”Em,,emmm...pokoknya kerja. Bisa membantu saudaraku jualan jagung atau mau jualan jus?,” serta merta aku mencoba mencari ide.

”Nanti setiap minggu bisa pulang menengok ibu. Dan aku gaji”.

”Sebulan sekali aja bu. Biar uangnya ngumpul. Kira-kira gajinya berapa bu”.

”Emm,emm tiga ratus ribu. Adik makan dan kebutuhan hidupnya ibu tanggung.”

”Atau mau sekolah. Sudah sekolah?”

”Lulus SD. Tidak punya ongkos buat sekolah”.

”Ooo, ya sudah. Nanti aku sekolahkan. Emmm,,em, gampanglah itu. Atau supaya lebih jelas bagaimana jika besok adik ke rumah”.

“Boleh, jam berapa bu”.

“Bisanya jam berapa? Jam satu siang juga boleh. Gimana?”

“Insya allah saya ke sana. Rumahnya di mana bu?”

”O ya,. Tahu kan perumahan seberang,,Blok A, sama dengan perumahan ini.”

”Ooo yang seberang jalan bu ya.”

”Ya,ya”.

”Biasanya semalam dapat uang berapa”

”Tidak tentu bu, kadang dua puluh. Tapi di perumahan seberang stasiun, ada ibu yang meminta saya datang setiap tanggal 20. Ngasih 200 ribu. Ada yang meminta saya datang tanggal 30 ngasih seratus”

”Tiap bulan datang ke sana?” ah lega, pikirku. Berarti dia masih bisa makan enak. Paling tidak selama sebulan sekali.

”Ya.”

”Sudah makan?” aku berniat mengajaknya makan ke rumah. Atau aku ajak ke lapak tempat dua saudara sepupuku laki-laki berjualan. Memberinya roti bakar atau jagung bakar. Atau memberinya uang saku untuk pulang.

Tapi dia menolaknya. Dan memilih melanjutkan perjuangannya. Kulihat dari belakang baju dan rok yang besar menutupi tubuhnya yang kurus. Dan mungkin juga kakinya yang kecil tapi kuat karena jalan berkilo-kilo meter sepanjang hari.

”Bagaimana nasibmu ke depan nak. Sedang di usiamu yang belia engkau harus mengabiskan waktumu untuk terus berjalan dan meminta orang mengasihanimu.

Tubuhnya perlahan-lahan lenyap. Tapi suaranya masih bisa kudengar. Tentu isakan tangisku tak mampu kau dengar. Karena malam telah menelannya. Dan hanya hatiku saja yang merasakan pedih dan mataku yang perih.

”Tuhan aku titip kebaikan untuk anak perempuan yatim ini. Aku janji akan memeliharanya dan menengok ibunya yang lumpuh. Aku janji, akan kusekolahkan anak yatim ini jika esok ia datang kepadaku.,” doaku penuh harap sementara kakiku terus melangkah.

Hujan tak juga reda. Nur juga telah kembali dari depan gang menunggu anak perempuan itu muncul. Kutengok jam di dinding telah menunjukkan pukul tiga. Kulihat langit masih mendung. Hati berdebar masih menyisakan harapan akan terdengarnya sapaan anak perempuan yatim itu ,,”Assalamialaikuuuuuuum”.


Kustiah. Lahir di Blora 10 Mei. Penulis cerpen, saat ini bekerja sebagai penyelaras bahasa di sebuah koran harian di Jakarta.

Kangen

Oleh: Kustiah**


Kupandangi telepon yang hanya berada tiga meter di depanku. Sambil kusandarkan tubuhku di tembok kamar, mataku tertuju pada telepon genggam yang tergolek di atas meja.

”You become the meaning of my life”

Lagu milik Micheal Learn To Rock mengalun sayup-sayup dari laptop di atas kasur. Aku berdiri menuju ruang yang paling aku sukai di antara ruang-ruang lain di rumahku. Sebuah ruang kecil tanpa atap dan perkakas apa pun kecuali dua pot kembang dan batu koral. Di ruang ini aku merasa ada tempat yang menampung kesepianku. Bebas menghirup udara segar dan menatap awan tanpa terhalang atap.

Sambil menyucup air di gelas yang kupegang dengan kedua tanganku kulihat dua pot kembang. Satu pot kembang kantil yang tumbuh besar dan subur kudapat dari seorang teman kerja di kantor. Satu kembang yang kedua kuperoleh dari taman di kantor tempatku bekerja .

Kutinggalkan mengharap-harap telepon berbunyi. Satu jam lalu suamiku menelfonku, tapi entah kenapa aku masih menunggu suaranya di ujung sana. Sudah seminggu lebih ini dia berada di luar kota untuk menyelesaikan tugas akhirnya.

Perasaan gelisah saling mendesak di relung hati dan jiwa. Aku sulit mengendalikannya. Antara kangen, sepi, dan beberapa persoalan saling lompat dan tindih. Handuk kulingkarkan pada leherku karena baju yang kukenakan berkerah terlalu rendah.

Aku kembali mengingat di mana aku lebih sering sendiri. Menyulam sepi dan mengetik setiap kata di memori otak.

Baik di Garut, Semarang, Yogyakarta, maupun di Jakarta bagiku makna sepi tetap sama. Tak ada yang berubah. Sepi, air mata, dan janji.

Entah, apakah ada hubungannya antara kehadiran atau keberadaan. Terkadang dengan serampangan aku menerjemahkannya antara waktu menjelang menstruasi dengan keadaan jiwa yang memang benar-benar dirundung sepi. Tak ada penaklukan kecuali berdamai pada diri dan keadaan.

Menunggu juga bukan lebih baik. Tapi sangat berarti jika aku memaknainya sebagai pelaku yang menaklukkan waktu.

Wajah suamiku berkelindan. Ingat saat berdiskusi menjadi saat menyenangkan. Atau bangun tidur melihatnya tertatih menghampiriku di dapur dengan mata setengah terpejam.

”Masak apa Ma?”

Suara parau dan rambut tebal hitam yang tak teratur hanya mengenakan kaus dalam putih dan celana sebatas lutut menambah penampilannya seperti anak lima tahunan yang berlari mendekati ibunya yang sedang memasak.

Aku tersenyum.

Atau sebelum bangun, ia akan memanggil dan mencariku.

Suami, ibu, adik, simbah, dan semua orang yang ada di pikiranku menghampiri. Saling berganti dan memeras air mata. Semakin aku ingin bertemu semakin air mata ini berderai.

”Perasaan apakah ini?”

Aku mencoba memberi toleransi dengan menuliskannya di dalam laptopku.

Hanya harapan yang mampu menghidupiku dengan baik. Dengan sepi, air mata, dan janji aku yakin jiwaku baik-baik saja. Dengan ribuan janji dan untaian doa aku terus menanamkan benih kebaikan.

Rabu, 07 Januari 2009

Menuju Stasiun

Oleh: Kustiah**

Pada sebuah jalan kulewati waktu siang dan malam. Gang sempit yang lebih banyak orang dan rumah saling berjejal ketimbang tanah atau jalan lapang.. Aku lebih memilih jalan ini meski lebih banyak bau, sering berpapasan, dan tak kurang saling bersenggolan. Terkadang pun aku harus menunggu odong-odong lewat terlebih dahulu, atau melewati riuhnya anak-anak bermain.

Jalan itu tak ada sisi kanan atau kiri. Aku selalu menyebutnya tengah jalan. Karena di tengahlah aku bisa berjalan.

Melewati gang sempit saat malam hari lebih menyenagkan ketimbang siang. Selain aku tak perlu membuka payungku, selalu saja ada yang menarik yang bisa aku amati di waktu malam.

Di sepanjang jalan ini kulihat gadis-gadis remaja bergandengan tangan, berbicara keras diselingi tawa lebar kadang berderai. Melangkah ke depan lagi kulihat sepasang mata melotot mengamati betis hingga paha melenggok,,tak lain milik gadis-gadis itu. Kulihat mereka masih seusia adik perempuanku yang sedang sekolah menengah atas, sekitar 17 tahunan.

Tapi mungkin saja aku salah. Di Jakarta, tubuh bisa mengelabui. Badan bongsor dengan dandanan centil belum tentu dikatakan remaja. Bisa saja mereka berusia 13-an tahun atau sedang sekolah menengah pertama. Yang kupersoalkan bukanlah umur, tapi lebih pada kepintaran mereka berdandan yang bisa membelalakkan mata laki-laki yang saat itu mungkin sedang stres atau kelelahan sepulang kerja. Aku tersenyum melihat bapak setengah tua itu masih melotot. Melangkah ke depan lagi kulihat seorang gadis muda, terkaanku sedang duduk di kelas satu menengah pertama. Sedang asyik menempelkan ponsel ke kuping yang di jepit dengan bahu kirinya. Tangannya kulihat sibuk memainkan sebuah kayu mengorek tanah. Bicaranya enteng, terdengar bahasa anak muda Jakarta, ”Lu, gue, dan kemudian centil Namur tampak serius”.

Jalanku memasuki gang sempit itu memang sengaja kupelankan. Aku merasa tidak sendiri. Mereka di sepanjang jalan itu seperti dekat dan kukenal. Mungkin karena aku melewatinya sepanjang hari. Dan selalu menebar senyum pada ibu-ibu yang selalu duduk-duduk di setiap sisi jalan setiap aku lewat.

Aku tak peduli dikatakan sok kenal. Bagiku mengatakan permisi dan senyum adalah tindakan yang membuat hati dan mukaku nyaman. Seolah mukaku yang kencang sedikit kendur. Mulutku yang tidak rata dengan pipiku terasa tenggelam dan enak. Jika mulutku tenggelam ke dalam aku lebih merasa hidungku tampak mancung. Kemudian merasa percaya diri bahwa aku tidaklah jelek amat Aku kembali tersenyum.

Langkah demi langkah tak terasa mendekati jembatan yang menghubungkan aku dengan stasiun. Tempat di mana aku harus segera bersiap-siap merasakan ketaknyamanan.
Tapi kurasa masih jauh. Paling tidak seratus langkah lagi untuk menjangkaunya. Dan aku masih menikmati gang sempit itu.

Semakin dekat terdengar suara riuh anak-anak, langkah lebih kupelankan. Mereka sedang asyik bermain lompat karet. Memenuhi jalan. Hampir tak ada sedikit pun sela bagiku untuk lewat. Karet yang ditali memanjang dibentangkan dipegang dua anak perempuan. Majulah satu per satu baik anak laki-laki maupun perempuan untuk melompaati tali karet itu. Jika ingin menang dan bisa terus melompat maka tali itu tak boleh tersentuh baik oleh kaki maupun tangan.

Langkahku terhenti. Sekadar lewat aku harus menunggu hingga mereka benar-benar sadar bahwa ada orang lain yang ingin lewat.
”Hoi,,biahrkan ibu lewat dulu. Minggir-minggir”, kudengar teriakan ibu-ibu tak jauh dari tempat anak-anak bermain. Dan melangkahlah kakiku. Dan aku kembali tersenyum pada anak-anak dan menyapa ibu-ibu. Menganggukkan kepala tanda terima kasih telah mengingatkan mereka.

Kutengokkan kepalaku ke kanan dan kekiri. Awas akan kondisi gang sekitar. Saat kepalaku kutengokkan ke kiri, masih kulihat seperti hari-hari lainnya, seorang kakek tua dengan baju sama seperti kemarin sedang tertunduk lesu. Tubuhnya kecil. Di perutnya dibenamkan entah apa ditutupi bajunya yang longgar. Sehingga tampaklah perutnya membuncit. Suatu kali aku pernah memergoki lelaki tua itu membuka baju longgarnya yang lusuh. Dan di keluarkanlah sesuatu dari balik bajunya. Seperti kain yang dililit-lilit membentuk ikatan tali tampak seperti tambang dek yang biasa digunakan di kapal.

Rambut kakek itu putih, panjang sebahu. Mukanya penuh kerutan. Kulit tua tapi tak muncul sedikit pun raut kesedihan. Mulutnya datar dengan kumis dan janggut panjang tak terurus. “Tentulah bapak ini tampan waktu mudanya” aku membatin. Tak ada alasan aku takut dengannya. Meski tatapannya kosong. Lebih sibuk dengan gelang-gelang yang melingkar di tangannya. Sesekali senyum-senyum sendiri. Aku tetap minta permisi kepadaanya. Aku tahu ada yang salah. Entah kakek tua itu paham atau tidak, tapi aku telah berhasil untuk tidak takut dan lari darinya. Kutinggalkan kakek itu.

Sepuluh meter melangkah, kali ini kulewati laki-laki kira-kira berumur 40-an. Pandangannya menerawang. Meski aku tahu dia mengambil posisi enak dengan berbaring di sebuah kurs panjang. Kubuyarkan lamunanya,,”Permisi pak”, kataku.

“O ya,ya,,silakan bu,” jawabnya kaget. Kembali aku tersenyum. Kali ini aku sudah berada di ujung gang. Tepat di balik pintu besi yang biasa ditutup saat tengah malam. Di balik pintu besi itu pula ada warung rokok milik seorang nenek tua. Buru-buru kulangkahkan kakiku. Khawatir jika ada motor melintas. Karena pada ujung gang itu ada kelokan jalan. Juga tempat di mana tukang ojek mangkal. Maka aku tak ingin nasibku sial dengan menyerahkan tubuhku untuk disenggol motor.

Tiba di ujung gang berarti aku sudah melewati jembatan yang menghubungkan aku dengan stasiun. Begitu sampai di jembatan ini biasanya suamiku mengingatkan. ”Lebih baik setiap hari engkau lewat jalan gang tadi. Nyawamu tidak terancam dari serempetan bus atau motor”, pintanya yang berkali-kali diulang dan diulang.

Bagiku gang ini tidak sekadar jalan sempit yang kumuh. Melainkan jalan tengah yang memberikan kenyamanan ketimbang melewati trotoar jalan umum yang lumayan lebar. Aku tak perlu ketakutan jika tiba-tiba ada motor di belakangku. Biasanya di gang ini pengendara akan lebih pelan dan menunggu pejalan kaki memberinya jalan. Berbeda dengan trotoar jalan besar itu. Meski telah berada di trotoar tempat pejalan kaki berjalan, tidak jarang ada motor meraung-raung di belakangku. Atau saat aku melompat menghindari lubang selokan menganga, aku merasa seperti ada mulut ular di dalamnya siap menelan kaki dan mengunyah kakiku dengan lahap.

”Ngungggg,,ngungg”. Bunyi kereta lebih jelas terdengar. Dan tinggal lima puluh langkah lagi kakiku segera menjejak stasiun tempat kereta kutunggu. Biasanya aku harus bersiap-siap menutup hidung. Meski tak ada bau menyengat seperti gang yang kulewati belum lama ini. Aku merasa mual. Bukan ada bau busuk truk tempat sampah yang mangkal di samping stasiun itu. Tapi asap rokok yang mengepul. Di antara jari mereka. terjepit rokok dengan berbagia aroma.

Jika begini rasanya aku ingin kembali ke kantor tempatku bekerja melewati gang-gang sepit yang kumuh menyapa mereka. Atau segera aku ingin sampai di rumahku yang sepi dan lengang. Tapi tak mungkin kuhindari asap itu kecuali menutup hidungku rapat-rapat. Menahan sesak lebih baik ketimbang berpikir tidak realistis. Karena bagaimana pun juga tubuhku butuh istirahat. Jiwaku butuh imaji. Pikiranku butuh kejernihan. Lalu kuhempaskan napasku jauh-jauh. Menunggu kereta dan menyiapkan diri berjejal dengan berbagai ukuran tubuh dan aroma. Aku telah terlatih karenanya. Hingga tak kurasakan lagi mana yang kusebut wajar dan tidak. Bagiku bedesakan di dalam kereta sama halnya bekejaran dengan motor yang tak terkendali di jalan itu. Bahkan aku merasa lebih aman di dalam kereta meski tanpa penerangan. Itulah yang kusebut ketidakwajaran.

Sementara bermotor aku bisa leluasa bernapas, di dalam kereta jangan kira aku bisa berdiri tenang. Untuk bernapas aku harus mencari celah yang biasa aku dapatkan dari ketiak manusia menjulang tinggi dengan tangan panjang terangkat ke atas pepegang pada gelang-gelang kereta. Aku mencoba menghirup napas meski bercampur bau keringat.
Aku terdiam.

Antara air mata dan keringat saling mendahului. Maka menangis tak ada gunanya. Aku hanya bisa bertahan hingga kereta ini berhenti di stasiun ke-16.

Minggu, 04 Januari 2009

Penjual Kacang

Oleh: Kustiah**

Hujan rintik. Langit tergores hitam samar-samar. Mungkin gerimis belum cukup menerpa sore ini saja. Bisa jadi hingga larut malam.

Kututupi daganganku dengan lembaran plastik. Seperti malam lalu, aku akan menunggu hingga penumpang kereta terakhir datang untuk menghabiskan dagangan.
Kuusap mukaku dengan ujung lengan bajuku. Hari ini aku lupa membawa payung. Lupa telah menyusahkanku. Sering aku marah pada diri sendiri karena lupa.

Suatu kali aku lupa membawa kantong plastik untuk bungkus dagangan. Dan sangat terpaksa aku harus mengeluarkan uang untuk membeli kantong plastik kembali. Padahal jika tidak lupa, uang yang aku keluarkan untuk beli kantung plastik bisa aku gunakan untuk membeli lauk dan ongkos sekolah.

Sungguh aku kesal karena lupa. Lupa telah banyak merugikanku. Di lain waktu aku lupa membawa payung. Alhasil aku harus menahan dingin sepanjang sore hingga tengah malam karena bajuku basah kuyup akibat kehujanan saat berangkat berdagang.

Itulah sebabnya aku membenci lupa. Tapi apa mau dikata. Antara keinginan untuk tidak lupa dengan ketidaksadaran saling mendahului. Maka aku harus lebih bersabar lagi menghadapi kepikunanku di saat aku masih muda.
Maka aku berpesan dalam hatiku. Jika tiba-tiba ingat sesuatu aku tak boleh menyia-nyiakannya. Harus segera melakukan jika tidak ingin menyesal.

Seperti malam lalu. Aku tanpa payung. Untungnya hanya gerimis. Air jatuh tak sebesar hari kemarin. Aku mencoba menaksir sisa dagangan. Kira-kira masih ada sepuluh bungkus lagi. Satu bungkus kacang seharga tiga ribu rupiah. Jika pembeli hanya meminta dua ribuan maka jumlahnya akan bertambah atau sekitar dua puluhan bungkus.

****************

Namaku Surni. Ibu biasa memanggilku Sur saja. Tanpa Ni di belakangnya. Aku tinggal bersama ibuku di sebuah desa nan dingin. Orang biasa menamai desa tempat tinggal kami desa hujan. Karena hampir bisa dipastikan desa kami diguyur hujan atau gerimis sepanjang hari. Kata orang-orang pintar itu karena desa kami berada di dataran tinggi dengan banyak pohon. Dan kata orang-orang pintar lagi itu karena desa kami sangat rimbun. Bahkan kami lebih sering merasakan kedinginan ketimbang panas. Maka tak heran jika banyak orang kota mulai banyak menempati lahan-lahan kosong di desa kami untuk tempat tinggal mereka. Saat aku tanya ke ibu dari mana mereka datang, ibu mengatakan bahwa mereka dari kota.

Setidaknya itulah cerita kecil yang aku ketahui tentang tetangga-tetangga baruku. Kata ibu lagi, mereka lebih suka tinggal di desa dingin dan rimbun seperti di desa kami. Di kota, tambah ibu menjelaskan udara panas dan pengap. Jalanan macet dan bau selokan di sepanjang jalan menyengat. Aku tidak tahu kapan ibu pergi ke kota sampai ia bisa menceritakan keadaan kota demikian detail. Aku pun tahu kota hanya dari koran-koran yang tidak sengaja aku baca. Biasanya para penumpang kereta melemparkannya begitu saja di dekatku lalu aku memungut dan membacanya.

Tapi yang membuatku bertanya-tanya dalam hati, mengapa tetanggaku tidak menyukai pohon. Bukankah mereka menyukai dingin dan rimbun?. Dulu sewaktu aku melewati jalan menuju rumah, pohon-pohon rindang seperti hantu raksasa. Saat malam hanya ada gelap dan jalan berkerikil yang aku lalui. Hanya sinar lampu dari rumahku samar-samar menerangi. Dan jika langkahku telah mendekati rumah, dengan segera aku berlari kencang karena takut. Aku merasa ada seseorang yang mengikutiku.

Berbeda lagi saat siang hari. Jika tidak gerimis, sepulang sekolah aku biasa jalan dengan teramat pelan. Karena aku makan mangga yang kuambil dari tegalan tetangga. Jika ketahuan ibu aku akan habis dimarahi. Maka dengan jalan pelan-pelan di bawah rimbun pohon nan sejuk aku bisa menghabiskan mangga hasil jerih payahku. Itulah salah satu kenangan tak terlupakan yang aku miliki.


Sayang, pohon-pohon itu telah tiada. Aku hanya bisa mengenangnya. Tak bisa lagi mengulang masa indah memahat cerita untuk esok. Tetanggaku telah menebangnya untuk dibangun rumah bergaya spanyol. Dengan hiasan pohon-pohon bonsai yang ditanam dalam sebuah pot plastik. Dan sekeliling halaman hanya ada keramik mengilat.

Saat aku tanya ibu tentang sebuah kotak putih dengan kabel besar bertuliskan LG yang menempel di dinding rumah tetangga, ibu bilang bahwa itu alat pendingin ruangan. “Jika kamu kegerahan kamu bisa menyalakannya. Tidur akan menjadi nyaman dan pulas,” kata ibu. Sayangnya lagi aku tidak bisa membayangkan apa yang telah ibu katakan. Berada di dalam rumah keramik berdinding tembok seluruhnya dengan udara dingin. Ah, pasti mereka tidak pernah keluar rumah. Merasakan udara luar yang dingin menusuk tulang. Apalagi harus ditambahi alat pendingin. Apa karena pintu mereka tidak pernah dibuka maka mereka kepanasan? Kataku membatin.

Tentu ibu tahu kotak putih menempel di dinding itu apa. Suatu hari tetangga baruku mengundang ibu datang ke rumah mereka. Kata ibu mereka meminta ibu membantu memasak untuk syukuran rumah baru mereka.

Jadilah sekarang aku tinggal bersebelahan dengan orang kaya yang bentuk rumahnya bergaya spanyolan. Yang warna keramik halamannya lebih bagus dari dinding rumahku. Tanaman dalam pot plastiknya pun tak pernah kulihat sebelumnya. Aneh-aneh. Ada yang berbentuk ayam. Rumput hijau yang tampak lembut pun memenuhi tanah yang menghampar. Semuanya kecil dan tampak indah dan cantik. Seperti selaras dengan model rumah.

Kalau dibandingkan dengan bentuk rumahku seperti langit dan bumi. Di depan rumahku berjajar pohon mangga. Di bawahnya ada bayam, kemangi, dan daun ubi jalar. Sedang di luar pagar menjulang pohon randu. Tapi memang benar kata ibu, rumah ini sebelumnya milik seorang duda yang ditinggal anak-anaknya ke kota. Dan diubahlah sedikit-sedikit di sana-sini oleh bapak.

Jarak rumahku dengan stasiun tempat aku berjualan sekitar tiga kali lebar lapangan sepak bola yang ada di desaku. Aku biasa menempuhinya dengan berjalan kaki. Kadang jika tidak ada pekerjaan membantu memasak di rumah tetangga ibu akan mengantarku ke stasiun. Daganganku setiap hari sepulang sekolah adalah lima kilo kacang tanah rebus. Setiap hari ibu membelanjakannya setiap pagi untukku. Mengayuh sepeda menuju pasar selepas mengantarku ke sekolah.

Kami tinggal berdua saja di rumah ujung jalan yang berdinding setengah bawah bata dan setengah atas kayu. Bapak yang membelikan untuk kami sebelum aku lahir. Aku sendiri belum pernah bertemu bapak hingga usiaku menginjak lima belas tahun. Suatu kali saat aku tanyakan perihal bapak, ibu menjawab bahwa bapak pergi mencari uang di pulau seberang. Dan aku percaya apa yang sudah ibu katakan. Meski aku pernah mendengar cerita lain dari tetanggaku bahwa bapak sudah menikah jauh sebelum menikahi ibuku. Dan ia kembali ke pangkuan anak istrinya.
Suatu kali aku mencoba menanyakan bapak sekali lagi. Dan ibu menjawabnya dengan linangan air mata. Kemudian menceritakannya padaku panjang lebar. Itulah keputusan besar ibu yang menceritakan sejarah hidupnya kepadaku. Mungkin karena aku dianggapnya telah cukup matang untuk mengetahui semuanya.

Saat itulah aku hanya menyayangi ibuku selain kakek tua yang berjualan lontong tahu di samping tempatku berjualan.

Kulihat jam yang menempel di dinding stasiun menunjukkan pukul 10. Malam bertambah dingin. Aku menggeserkan daganganku ke tembok agar lebih hangat. Sepiring lontong tahu pemberian kakek telah habis kukunyah. Kakek penjual sendiri pun telah pulang tadi setelah azan isya. Di stasiun tinggal para penjual buah dan aku saja. Karena gerimis penjaga stasiun yang bertugas menarik karcis hanya terlihat berdiri di samping pintu stasiun saja. Biasanya jika tak hujan atau gerimis ia akan berbincang denganku. Menunggu penumpang terakhir turun atau sekadar menemaniku sambil mengobrol.
Sama sepertiku, sama-sama menunggu penumpang kereta terakhir. Jika ia menunggu penumpang kereta terakhir turun untuk memeriksa karcis, aku menunggu penumpang kereta terakhir untuk daganganku. Barangkali sebelum memutuskan melangkahkan kaki menuju rumah masing-masing mereka ingin mengemil kacang. Membeli dagangan yang kugelar setelah zuhur tadi.

Kutunggu kereta terakhir datang. Jika tidak terlambat kereta akan sampai stasiun tempatku berjualan pukul sebelas malam. Menunggu hingga tengah malam datang menjemput.

Kamis, 01 Januari 2009