Minggu, 14 September 2008

Nasibku Malang di Keretaku Sayang



Siapa sih yang tidak kenal kereta? Hampir semua lapisan masyarakat tahu dan pernah naik “ular besi” ini atau sekadar tahu bentuk kereta. Moda transportasi ini cenderung menjadi pilihan saat bepergian, alasannya selain kereta tidak kenal macet ongkosnya juga murah meriah. Dibanding dengan alat transportasi lainnya kereta memang dikenal paling bisa dijangkau oleh kalangan kelas bawah. Maka tak salah jika penumpang kereta tidak pernah pindah ke lain pengangkut.

Tapi sayangnya, pilihan masyarakat penumpang untuk tidak meninggalkan kereta tidak bersambut manis. Jumlah penduduk yang semakin bertambah (yang asumsinya penumpang kereta juga semakin bertambah) membuat kereta menjadi alat transportasi yang tidak bersahabat bagi penumpang. Tak jarang jumlah penumpang yang melebihi kapasitas gerbong membuat kenyamanan dan keamanan terabaikan.

Memang telah ada penambahan gerbong oleh PT Kereta Api Indonesia. Namun penambahan itu dirasa kurang karena tetap saja tidak sebanding dengan banyaknya jumlah penumpang. Selain keamanan dan kenyaman, yang sering menjadi persoalan calon penumpang adalah para calo yang bergentayangan di sekitar stasiun. Meski PT KAI telah menyediakan penjualan tiket secara online, tetap saja tiket cetakan PT KAI ini beredar di tangan calo.

Hari-hari menjelang lebaran membuat penjualan tiket di stasiun Gambir bertambah ramai. Dan menurut pengamatan tak ada perbaikan pelayanan. Dari tahun ke tahun selalu sama. Antre, tertipu, dan nelangsa tatkala berada di atas kereta. Pemandangan klasik masih saja terlihat. Para calon penumpang yang telah berjam-jam mengantre ular-ularan sepanjang 500 meter, di lain waktu bisa lebih panjang. Kadang, bahkan lebih sering mereka harus menelan pil pahit. Mereka harus bubar dari antrean karena tiket telah habis. Jika begini para calo segera merapat. Menawarkan tiket ke calon penumpang yang kecewa karena tidak bisa mendapatkan tiket. Ada sebagian yang rela mengeluarkan ongkos dua kali lipat lebih mahal, lainnya memilih membeli tiket di atas kereta.



Yang memilih beli tiket di atas kereta jangan harap bisa masuk ke dalam kereta. Di sana ada beberapa petugas yang siap menanyai tiket kereta. Tentu setelah itu kita digiring ke petugas kereta api yang melayani penjualan tiket secara ilegal. Meski yang ditawarkan adalah tiket ilegal tanpa tempat duduk, tetap saja kita harus membayar dengan harga tiket yang legal. Jika digambarkan tiket ilegal ini serupa dengan tiket parkir yang di keluarkan oleh Pemda DKI. Tak ada stempel, tanggal atau logo PT KAI. Yang ada hanya coretan tangan tergesa-gesa. Di tempat pelayanan ini tak ada meja atau perkakas apa pun. Dua petugas laki-laki berdiri dan dikitari tiga sampai empat petugas. Di sinilah orang yang tidak beruntung mendapatkan tiket berkerumun membeli tiket. Kurang lebih sekitar 30-an orang selam tiga sesi. Setibanya di dalam kereta api, para calon penumpang ini bersiap-siap menyiapkan koran untuk sekadar duduk atau meringkuk.



Di sinilah kejanggalan pelayanan kereta api kembali tampak. Di satu sisi puluhan orang telah rela mengantre berjam-jam tapi tanpa hasil karena tiket habis. Sementara itu, banyak sekali para calon penumpang baru tiba-tiba menempati kursi kosong di dalam kereta api. Ternyata usut-punya usut, penjualan tiket kereta api dilaksanakan kembali saat lima menit sebelum kereta berangkat. Kami pun menyimpulkan bahwa PT KAI telah berlaku curang. Kami mengira bahwa penjualan itu dilakukan karena tiket yang di jual para calo tidak laku, maka diserahkan kembali ke petugas penjualan kereta api.



Perlu dipertanyakan kembali, dengan buruknya pelayanan PT KAI apakah kereta masih akan menjadi pilihan masyarakat? Dilihat dari banyaknya penumpang kereta api, sebenarnya tak relevan jika PT KAI mengalami kebangkrutan. Maka evaluasi di pihak internal PT KAI sendiri patut dilakukan

Tidak ada komentar: