Selasa, 26 Mei 2009

Pilot yang Banting Setir



Onno Boots, Regional Managing Director TNT Asia Tenggara dan India


“Pilot adalah hidup saya. Tak ada pekerjaan lain yang saya senangi selain pilot.” Demikian Onno Boots, Regional Managing Director TNT untuk wilayah Asia Tenggara dan India mengawali wawancaranya. Boots adalah lulusan sekolah pilot namun karena sifatnya yang senang berkelana membuat cita-citanya sebagai pilot tak berumur lama. Jiwa mudanya yang ingin mencoba profesi lain. Setelah memutuskan berhenti sebagai pilot Boots bekerja di perusahaan kargo yang kemudian diakuisisi TNT. Saat bergabung dengan TNT, Boots adalah karyawan termuda. Usianya menginjak 24 tahun, lelaki yang ambisius dan pekerja keras ini sudah memegang posisi sebagai depot general manager TNT di Amsterdam. Ketika ditantang bosnya untuk memegang TNT di tiga negara yakni Belgia, Belanda, Luxemburg Boots tak bergeming. Ia mengambil tantangan itu dan membuktikan, TNT di tangannya menjadi perusahaan penyedia jasa layanan pengiriman terdepan. Sukses di pasar Eropa, Boots melirik Asia sebagai target pasar TNT selanjutnya. Asia menurutnya memiliki prospek pasar yang bisa diandalkan. Seumpama manusia, Asia adalah remaja yang baru tumbuh berkembang. Memiliki potensi besar jika pasar digarap dengan baik. Berikut wawancara Kustiah dengan Boots beberapa waktu lalu.

Sudah berapa lama Anda bergabung dengan TNT?


Dua puluh satu tahun. Umur saya saat ini 44 tahun. Ini berarti hampir separuh perjalanan hidup saya habiskan bekerja di TNT. Awal karir saya sebagai seorang pilot. Setelah lulus sekolah penerbangan saya meniti karir untuk menjadi seorang pilot. Sepertinya profesi pilot akan menjadi jalan hidup saya. Suatu hari berfikir tentang profesi lain. Sepertinya setelah bertahun-tahun menjalani profesi tersebut ternyata saya tidak menikmati profesi sebagai pilot. Lalu saya memutuskan keluar dari profesi ini. Namun tetap masih berkaitan dengan masalah airlines. Saya memutuskan untuk bekerja pada Carolux Airlines International yang kemudian diakuisisi oleh TNT. Di sinilah saya mulai bergabung dengan TNT. Saat itu usia saya masih muda dengan pengalaman di industri yang masih terkait dengan jasa pengiriman.

Kenapa Anda memilih Asia untuk mengembangkan TNT?


Begini. Saya melihat Asia adalah pasar besar yang potensial dan mempunyai masa depan. Karena itu saya mengajukan permintaan ke atasan saya untuk diberi tugas menggarap pasar Asia. Saya memandang Asia adalah pasar nyata yang akan memberikan keuntungan bisnis besar. Kita lihat Amerika Serikat di masa lalu adalah Negara yang mendominasi kekuatan ekonomi dunia. Dan sampai saat ini masih memiliki kekuatan ekonomi yang cukup signifikan. Tapi saya yakin Asia di masa yang akan datang juga memiliki ekonomi yang kuat.

Tantangan apa yang Anda dapatkan selama bekerja di TNT?


Pertama bergabung dengan TNT saya mendapat posisi sebagai depot general manager di Amsterdam. Bertugas mengelola gudang atau loko depot di Amsterdam. Lalu bos saya menantang saya untuk menjadi director sales marketing di Belanda, Luxemburg, Belgia. Saya tak kuasa menolaknya dan selama empat tahun saya menjalani posisi itu. Posisi ini nampaknya tidak membuat saya puas. Sampai suatu hari saya melihat bos saya yang menjabat sebagai country managing director. Seperti diri saya tertantang untuk menjabat posisi tersebut. Jujur saya akui bahwa saya adalah lelaki yang penuh ambisi dan selalu mengejar posisi yang menantang. Melihat jabatan country managing director saya berfikir bahwa saya pasti bisa mendapatkannya. Usia saya masih muda dan punya kemampuan untuk menggapai masa depan. Saya hanya membutuhkan waktu untuk bisa seperti dia. Akan saya buktikan bahwa suatu hari saya akan berada di posisi itu. Karena itu saya memutuskan untuk tidak hanya di Amsterdam dan bergabung dengan bos saya di divisi kantor pusat di Belanda supaya bisa membangun relasi bisnis di lingkup internasional. Selama 18 tahun saya di posisi ini sebelum akhirnya ke kantor pusat TNT wilayah Asia di Singapura pada tahun 2007. Bergabung bersama divisi kantor pusat di Belanda selama hampir 18 menurut saya sudah cukup untuk mengembangkan pengalaman di luar Eropa. Delapan tahun sebelum datang ke Asia saya menjabat sebagai direktur global account management yang bertanggung jawab dalam mengawasi pertumbuhan global account TNT di seluruh dunia seperti IBM, Siemen, Nokia, Lenovo.

Anda optimis target pertumbuhan TNT tahun ini 20% bisa tercapai sekalipun krisis masih terasa hingga saat ini?


Anda tahu TNT adalah perusahaan jasa pelayanan pengiriman. Kalau anda paham anatomi bisnisnya perusahaan yang bergerak di jasa pengiriman biasanya tidak terlalu menghadapi kendala berarti sekalipun krisis global menerpa hampir seluruh negara. Kami juga telah membuat berbagai skenario alternatif untuk menghadapi berbagai kemungkinan. Tentu perbaikan di sana-sini juga harus dilakukan. Seperti bagaimana meningkatkan perbaikan pelayanan ke konsumen. Selalu merespons keluhan konsumen dan segera mencari solusi tepat. Hal seperti ini yang kita lakukan guna mengembangkan bisnis jasa.

Langkah apa saja yang dilakukan TNT untuk menghadapi krisis global?

TNT adalah perusahaan terdepan di bidang jasa pelayanan pengiriman di Eropa. TNT telah memiliki jaringan di Eropa. Kita sendiri pun telah memiliki truk, mengoperasikan Boeing 747-400 ke Asia sejak Juli tahun lalu. Selain itu TNT juga memiliki strategi bagus untuk menghadapi krisis. Dengan meminimalkan ongkos pengiriman. Dan tetap fokus pada perbaikan pelayanan pelanggan. Yang terpenting adalah perbaikan pelayanan selalu dilakukan sehingga pasar kita akan terus meningkat. Krisis global tidak akan berdampak signifikan terhadap bisnis jasa pelayanan pengiriman barang selama masih ada perputaran bisnis di masyarakat.

Bagaimana dengan pasar di Negara Asia?


Asia memiliki populasi yang paling besar. Kita bisa lihat China dan India. Dua negara ini adalah negara yang memiliki populasi penduduk paling banyak. Dengan perkembangan yang terjadi saya yakin Asia berpeluang besar. Untuk saat ini mungkin masih menjadi negara berkembang, namun dengan berbagai perbaikan dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi saya melihat potensi negara Asia tak akan kalah dengan negara Eropa.Jadi saya begitu yakin dengan perkembangan bisnis di Asia. Kalau di Eropa market-nya sudah dewasa, sementara pasar di Asia dalam tahap pertumbuhan. Tahun lalu TNT tumbuh sebanyak 25 persen di Asia. Meskipun tidak semua pasar asia bagus. China, misalnya, merupakan negara Asia yang paling jeblok pasarnya bagi TNT. China memiliki populasi penduduk yang paling tinggi di Asia. Namun kebijakan ekonomi pemerintahan China yang mengekspor sebanyak 95 persen barang produksinya, tak banyak menggunakan jasa pelayanan pengiriman kami. Hasil produksi pabrik di China banyak yang diekspor ke negara barat. Hasil produksi pabrik di China di waktu lalu dinilai berbagai negara memiliki kualitas buruk. Hal itu mengakibatkan permintaan menurun dan pabrik menghentikan produksinya. Buruh-buruh pabrik banyak kehilangan pekerjaan akibatnya pendapatan juga terhenti. Itu yang membuat pasar TNT di China tidak berjalan baik.

Bagaimana dengan pasar Indonesia?


Indonesia merupakan pasar yang paling prospektif di Asia. Di Indonesia TNT mengalami pertumbuhan lebih cepat ketimbang negara lain yakni sekitar 26-27 persen. Untuk saat ini masih Indonesia yang memiliki pasar dengan pertumbuhan paling cepat ketimbang negara Asia lainnya. Karenanya kami berani menambah investasi kami tahun ini sebesar
US$100 juta. Kita akan melakukan investasi berangsur-angsur. Dengan investasi sebesar itu, TNT berharap perputaran uang juga terjadi di Indonesia. Secara otomatis masyarakat Indonesia akan ikut merasakan perputaran investasi kami. Selain kapital kami juga ikut membantu mengurangi pengangguran di Indonesia.. TNT Indonesia memiliki karyawan sebanyak 600 orang di seluruh Indonesia.. Memberikan pelatihan agar sumber daya manusia (SDM) Indonesia meningkat. Kita memiliki bisnis yang prospektif dengan manajemen yang bagus. Harapan saya adalah TNT di Indonesia dapat mengimplementasikan strateginya dengan baik. Karena kita sudah mempersiapkan bisnis ini dengan baik. Jadi saya tak perlu khawatir jika TNT di Indonesia akan bangkrut.

Apakah krisis kali ini merupakan pengalaman pertama dalam karier Anda selama bergabung dengan TNT?

Tidak. Sebelumnya saya pernah mengalami masa krisis. Pertama kali dalam karier saya di TNT yakni krisis Eropa di tahun 1980-an. Hanya saja krisis Eropa waktu itu dan krisis saat ini berbeda. Kalau krisis Eropa saat itu permintaan TNT tidak ada, padahal keuangannya sangat siap. Sedangkan krisis yang terjadi saat ini adalah permintaan melimpah, namun karena krisis global mendera kondisi keuangan masyarakat menurun. Namun TNT tetap optimistis bahwa krisis ini tidak akan berlangsung lama dan akan kembali tumbuh. Tanda-tandanya mulai kelihatan sekarang.

Korban Intervensi Politik

Krisis Bank Sentral Islandia (Dimuat di Majalah Stabilitas, Edisi 39/Februari 2009)

Kustiah

Tahun-tahun sebelumnya Islandia adalah negara yang telah menikmati pertumbuhan ekonomi dan sistem perbankan yang berkembang pesat. Masyarakat hampir tak menemui kendala berarti.
Pada 2007, Islandia masuk urutan paling atas dalam Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Islandia juga dinobatkan sebagai salah satu dari 10 negara dengan indeks ekonomi terbaik oleh Fraser Institut dan Heritage Foundation. Cato Istitute, lembaga donor nirlaba yang ada di Washington DC bahkan memuji Islandia sebagai negara yang berhasil menerapkan swastanisasi perbankan, biaya cukai rendah bagi pemodal, pengurangan belanja negara, inflasi terkendalo, kebebasan bank sentral, dan kurs devisa bebas.

Islandia juga terkenal sebagai negara paling sukses dalam mengembangkan produk keuangan offshore dengan mengandalkan suku bunga tinggi dan regulasi yang yang longgar. Salah satu penggerak perekonomian Islandia adalah turisme. Turisme yang dikembangkan adalah kelautan dengan perburuan ikan paus dan lumba-lumba yang sangat terkenal. Padahal kegiatan ini sangat dilarang oleh dunia internasional maupun Eropa. Namun nampaknya Islandia, yang juga angggota Uni Eropa, tak menggubrisnya. “Untuk negara kecil, Islandia penuh dengan kontradiktif” tulis The Economist edisi 22 Januari 2009.

Tapi nampaknya krisis global membawa cerita lain tentang perekonomian negara yang baru merdeka dari Denmark pada 1944 ini. Kejayaan perekonomian dan perbankan Islandia tidak lagi berada di posisi puncak. Terpaan badai krisis ekonomi yang hampir melanda sebagian besar negara belahan dunia menyeret perekonomian Islandia ke jurang kehancuran. Longgarnya regulasi di sektor keuangan dan tingginya suku bunga bank membuat negara ini begitu ringkih dalam menghadang badai krisis. “
Islandia yang mempunyai penduduk sebesar 320 ribu ini adalah negara pertama yang menyatakan bangkrut selama krisis keuangan global 2008. Pemerintahannya gagal melakukan penyelamatan (bailout) terhadap tiga bank terkemuka miliknya. Ketiga bank tersebut memiliki utang luar negeri sebanyak USD60 miliar, enam kali lipat dari pengeluran tahunan Islandia.

Pemerintah meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) serta negara-negara lain sebesar USD10 miliar untuk mengurangi kepailitan tersebut. Namun sekalipun tak keberatan dengan jumlah itu, nampaknya IMF mempunyai pesan dibalik pinjaman itu. IMF, seperti yang ditulis The Telegraph.com 19 November 2008, meminta agar pemerintah Islandia menggabungkan bank sentral dengan otoritas keuangan. Beban warga Islandia semakin bertambah berat, pinjaman dalam euro dan dollar harus dikembalikan sementara mata uang nasional krona terjun bebas.

Sebelum krisis menghantam, kisruh kepemimpinan lebih dulu mengawali gonjang-ganjing Islandia. Geir Haarde, Perdana Menteri Islandia yang juga Ketua Partai Independen, akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya pada 1 Februari 2009. Perekonomian Islandia semakin tak menentu ketika David Oddsson, Gubernur Bank Sentral Islandia (Lansbanki) dipecat. Gubernur bank sentral yang juga merupakan mantan perdana menteri Islandia itu diduga menjadi salah satu pemain kunci yang membuat perekonomian Islandia terjungkal.

Sekadar mengingatkan sebelum menjabat sebagai perdana menteri menggantikan Halldor Asgrimsson tahun 2006 lalu, Haarde adalah seorang ekonom Bank Sentral. Sedang Odsson adalah mantan perdana menteri dan menteri luar negeri yang menjabat sebagai gubernur bank sentral.
Meski tak sepenuhnya benar, karena struktur perekonomian Islandia yang bersandar pada industri keuangan yang begitu tergantung pada pasar keuangan dunia, namun David Oddson dinilai punya peran penting dalam meliberalkan bank sentral. Bahkan saat di bawah kekuasaanyalah Bank Sentral Islandia menjadi begitu liberal dalam menentukan suku bunga. Hal ini terlihat dengan suku bunga bank sentral yang tidak pernah di bawah dua digit sejak April 2006.

Kebijakan moneter yang membiarkan suku bunga tinggi mendorong tingkat inflasi tinggi pula. Lihat saja angka inflasi Islandia yang sejak pertengahan 2004 selalau di atas angka target inflasi (2,2%). Sejak itu angka inflasi tersebut selalu membumbung naik terus. Sekalipun sempat mengalami penurunan pada pertengahan Juni 2007 mencapai 3% namun menanjak kembali dengan tajam hingga mencapai 16,7% pada November 2008.
Di Islandia jabatan gubernur bank sentral seperti menjadi “komoditi“ politik yang dinilai strategis. Pergantian gubernur bank sentral dan perdana menteri silih berganti. Jabatan gubernur bank sentral kerap diisi mantan perdana menteri begitu juga jabatan perdana menteri seringkali disi oleh mantan gubernur bank sentral. Gubernur bank sentral kerap diberhentikan oleh perdana menteri yang notabenenya sering orang separtai. Ini menandakan bahwa bank sentral menjadi komoditi politik penguasa. Akibatnya bank sentral tidak independen terhadap kepentingan pemerintah. Namun secara hukum hal ini dibenarkan karena peraturan (undang-undang) di Islandia memang membolehkan gubernur bank sentral diberhentikan oleh perdana menteri.

Berbagai laporan menunjukkan bahwa independensi bank sentral berkaitan dengan tingkat inflasi dan perekonomian bangsa. Nagara yang mempunyai bank sentral independen relitif lebih bisa mengkontrol inflasi dalam jangka panjang. Salah satu kajian yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Cukerman pada 2004. Menurutnya, secara teoritis tuntutan independensi bank sentral terkait dengan bias dalam menilai inflasi oleh pengendali moneter. Hal ini dikarenakan kebijakan moneter tidak berada di satu tangan. Selain secara teoritis Cukerman juga melihat secara empiris. Dalam kenyataanya kemelut politik sering berujung pada mundurnya (dimundurkan) gubernur bank sentral. Tugas-tugas pengendalian moneter dan harmonisasi kebijakan ekonomi dengan pemerintah pasti terganggu. Karenanya agar guncangan politik tak menggangu kinerja ekonomi maka salah satu caranya ada;ah dengan membuat bank sentral menjadi independen.

Dalam kaitan dengan Bank Sentral Islandia, pemecatan Oddson tak lepas dari intervensi politik Johanna Sigudardottir, Perdana Menteri Islandia pengganti Haarde. Dalam pernyataannya di televisi Islandia Rikisutvarpio (RUV) Oddsson menuding Perdana Menteri Johanna sengaja ingin menjatuhkan jabatannya demi kelangsungan kekuasaan Johanna. Menurut Oddsson, usahanya sudah maksimal dalam menjaga perekonomian islandia agar tidak terpuruk lebih dalam. Sebagai gubernur bank sentral ia telah memperingatkan pada akhir musim semi 2007 agar pemerintah dan bank komersial lain untuk mengerem hasrat bisnisnya dan menurunkan kebutuhan mereka sebanyak-banyaknya.

Jalan Panjang Landsbanki

Kustiah

Parlemen Islandia mengesahkan Undang-Undang Perbankan No 5 Tahun 2009 hasil amandemen dari Undang-Undang Perbankan No 36 Tahun 2001 bulan lalu (26/2). Undang-undang perbankan terbaru ini mengatur penunjukan satu gubernur bank sentral sementara dan satu deputi gubernur bank sentral sementara. Amandemen ini sebagai tindakan atas pemecatan David Oddsson dari jabatannya sebagai gubernur bank sentral Islandia. Keputusan kebijakan moneter bank sentral akan diambil alih oleh Komite Kebijakan Moneter. Namun ini masih menjadi perdebatan, versi lain menyebutkan direksi bank akan diambil oleh gubernur bank sentral.

Bulan Mei 2001, Undang-undang Perbankan dibuat. Isi utama yang terkandung dalam undang-undang baru ini adalah “Kebijakan moneter dilakukan hanya untuk membuat harga tetap stabil. Dengan persetujuan Perdana Menteri, bank sentral memiliki otoritas untuk mengadopsi target inflasi sebagai kerangka untuk melakukan kebijakan moneter. Inflasi ditargetkan terjadi di bulan Maret 27 tahun 2001 melalui deklarasi oleh bank sentral dengan pemerintah. Dengan Undang-undang, bank senntral akan mempromosikan program lainnya, seperti sebuah sistem keuangan yang aman dan efisien, termasuk sistem pembayaran, atau tugas lainnya yang berkaitan dengan bank sentral.

Otoritas membuat kebijakan moneter adalah hak dewan yang terdiri dari tiga gubernur bank sentral. Mereka akan ditunjuk oleh perdana menteri selama tujuh tahun dan kemungkinan akan dilakukan pengangkatan kembali untuk kedua kalinya.
Terlepas dari kontroversi di atas Undang-undang perbankan terbaru akan menghapus dewan gubernur bank sentral Islandia bersamaan dengan tiga dewan gubernur dan pimpinan dewan gubernur. Dalam Undang-undang terbaru juga menyatakan tentang penunjukan Svein Harald Oygard sebagi gubernur sementara dan ArnĂ³r Sighvatsson sebagai ketua ekonom bank sentral sementara.

Islandia memiliki sejarah panjang terkait kebanksentralannya. Perkembangan sistem keuangan Islandia tidak lepas dari evolusi ekonomi dan politik masyarakat miskin kota dari ketergantungan terhadap Danish Crown. Pemerintah berinisiatif mengembangkan perbankan Islandia. Bank pertama yang didirikan adalah Landsbanki Islands (Bank Nasional Islandia di tahun 1885. Bank mulai menerima pemodal dengan surat-surat berharga yang bebas ditukar ke Danish Crowns. Bank kedua, Islandsbanki (Bank Islandia) adalah perusahaan pribadi dengan Danish Crowns sebagai investornya.

Pengembangan bisnis bank dimulai tahun 1904 dan dioperasikan di bawah lembaga istimewa yang memperbolehkan pembayaran utang dengan emas. Setelah menjadi negara kedaulatan di tahun 1918, politikus menentang pinjaman bank ke luar negeri.
Kebijakan moneter tidak berjalan lancar setelah perang terjadi. Landsbanki menawarkan utang pada tahun 1927, sama halnya bank komersial dengan penguasaan pasar (market share) lebih dari separuh deposito di bank. Langkah penting yang diambil untuk mengubah situasi di tahun 1951 ketika pos-pos keuangan dibekukan dan dilikuidasi.

Tahun 1961 langkah akhir diambil untuk menentukan otonomisasi Landsbanki sebagai bank sentral. Pada tahun inilah perbankaan Islandia berkembang. Bank sentral Islandia didirikan di bawah Undang-undang Parlemen pada bulan April 1961.
Dengan hasil keputusan menunjuk dewan gubernur dengan tiga anggota untuk mengendalikan bnak sentral Islandia. Alpingi (parlemen Islandia) juga memilih tujuh dewan pengawas.

Meski secara formal independen bank sentral tetap membutuhkan payung hukum untuk mendukung kebijakan ekonomi.pemerintah. Hal ini dimaksudkan karena bank waktu itu tidak dapat keputusan untuk membuat perubahan penting seperti menurunkan suku bunga, yang biasanya dilakukan oleh pemerintah.

Selama enam puluh tahun tidak ada masalah berat yang muncul saat bank dan pemerintah berkoordinasi. Perubahan terjadi saat inflasi di tahun 70-an, dimulai dengan krisis minyak, dan kebijakan moneter semakin menambah ketegangan. Tingkat bunga, melalui kebijakan pemerintah, adalah upaya untuk menjaga inflasi yang berangsur turun.
Perubahan radikal dalam kebijakan moneter tidak diambil sampai 1981 ketika langkah pertama diambil untuk meregulasi suku bunga. Dua tahun kemudian,1986, Undang-undag Perbankan direvisi, menghilankan peran bank untuk melakukan regulasi suku bunga bank komersial dan bank tempat menabung. Undang-undang Perbankan tahun 1986 semakin menguatkan posisi Inpektorat Perbankan Bank Sentrla, departemen pengawas yang juga bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap institusi keuangan non-perbankan.

Jumat, 06 Maret 2009

Yoga untuk Keseimbangan Tubuh

Oleh: Kustiah

Yoga bukan sekadar olah tubuh. Ada proses penyelarasan fisik dan spiritual di dalamnya.

Ketika pikiran dan tubuh Anda tidak lagi mampu berkomunikasi dengan baik, waspadalah. Karena jika diabaikan, hal itu dapat menurunkan kualitas dan produktivitas kerja. Ketidaksinkronan pikiran dan tubuh juga dapat menyebabkan stress yang kemudian berpengaruh pada ketahanan tubuh. Jika tubuh tak lagi bugar besar kemungkinan penyakit akan mudah datang.

Lebih dari itu, segera cari solusi. Salah satu di antaraya adalah dengan beryoga. Yoga berkembang di India kuno sejak 3000 SM lalu, berasal dari bahasa sansekerta kuno yuj yang berarti penyatuan (union), yakni penyatuan antara atman dan brahman (yang maha kuasa). Yoga dipercaya dapat memberikan efek positif untuk mengenal tubuh dan Tuhanya.

Ada beberapa macam aliran yoga; Jnana yoga, karma yoga, bhakti yoga, yantra yoga, tantra yoga, mantra yoga, kundailini yoga, hatha yoga, raja yoga,dan masih banyak lagi.Pemilihan aliran yoga ditentukan faktor kebutuhan dan tingkat level.

Di Indonesia aliran yoga yang lebih banyak diminati adalah hatta yoga. Aliran ini menekankan pentingnya pernapasan untuk mengendalikan tubuh, pikiran,dan jiwa.

Berbeda dengan olahraga lain yang mementingkan kesehatan dan kebugaran fisik, yoga menciptakan kesinambungan mental, pikiran, dan tubuh. Karena bukan merupakan olahraga kompetisi, yoga tidak dilakukan dengan latihan keras. Dan seperti dikemukakan pembawa acara radio dan host program TV Shahnaz Haque, berlatih yoga lebih baik dengan kesadaran, bukan dengan keterpaksaan atau karena ada tekanan.

Ibu tiga anak ini menekuni yoga di Selebrity Gym sejak dua tahun lalu. Tentu ada instruktur yoga yang memandunya. Dari pengenalan yoga itulah Shahnaz mengaku memperoleh banyak manfaat. “Banyak manfaat yang bisa didapat dari olahraga yoga. Selain tubuh sehat, jiwa dan pikiran kita jadi tenang,” kata Shahnaz kepada Stabilitas.

Shahnaz memaparkan, Yoga memiliki tiga komponen yakni napas, pikiran, dan tubuh. Dan yang terpenting adalah fokus. Misal, saat beryoga pikiran kita ternyata tidak fokus, maka proses yoga dapat dikatakan gagal. “Jadi dari ketiga komponen ini yang paling penting adalah fokus,” tegas Shahnaz.

Lalu bagaimana respons Shahnaz terkait fatwa haram yoga yang dikeluarkan MUI? “Saya bisa memaklumi itu. Karena dalam ritualnya ada mantra yang harus dibaca dan didalami. Tapi bagi saya yoga tetaplah sebuah olahraga yang menyehatkan dan menenangkan pikiran. Jadi untuk ritual lain saya tidak menafsirkan itu sebagai sesuatu yang harus saya yakini. Olahraga ya olahraga,” kata Shahnaz istri penggebug drum Gilang Ramadhan..

Shahnaz mengakui, setelah ikut yoga dirinya memiliki cara pandang berbeda dalam menghadapi dan memecahkan sebuah persoalan. Manfaat lainnya tubuh menjadi lentur, sehat, dan antara jiwa raga seimbang.

Menurut Moni, instruktur sekaligus owner Bikramyogajakarta, jumlah peminat yoga dari tahun ke tahun semakin bertambah. Studio yoga yang didirikan pada tahun 2005 ini memiliki yoga kurang lebih 4.000 hingga 5.000 peserta dari berbagai kalangan dan usia.

Studio yang dikelola Moni ini hanya fokus menerapkan 26 aliran yang dilakukan dalam suhu panas 42 derajat Celsius. Menurut Moni, studio yoga yang dikelolanya tidak profit oriented. “Ada kebahagiaan tersendiri ketika ada seseorang yang datang untuk melakukan perubahan. Jadi tidak semata-mata mencari keuntungan bisnis sebanyak-banyaknya” ujar Moni.

Banyak alasan orang berlatih yoga. Ada yang ingin hidup sehat, menurunkan berat badan, membentuk tubuh, menghilangkan gangguan kesehatan seperti stress, susah fokus, dan susah tidur.

Menurut Pujiastuti Sindu, master yoga yang mukim di Bandung dan pendiri klab yoga di Bandung Yoga Leaf, olahraga ini memberikan segudang manfaat. Jika ingin mendapatkan ketenangan pikiran dan kesehatan mental, beryoga adalah keputusan paling tepat. Kombinasi gerakan, pengaturan napas, dan konsentrasi dapat melahirkan energi positif dan mengalirkannya ke dalam tubuh.

Dalam bukunya Hidup Sehat dan Seimbang dengan Yoga, Uji- demikian ia biasa dipanggil- mengatakan yoga bisa menjadi panduan menuju hidup sehat, damai, emosi seimbang, dan kebahagiaan. “Jika ingin memiliki hidup berkualitas kita harus bisa menyeimbangkan antara mental, pikiran, dan tubuh” kata Uji.

Peta Baru Amerika

(The Pentagon’s New Map)

Oleh: Kustiah

Siapa sangka negara adidaya yang memiliki pertahanan pemerintahan yang tak tertandingi bisa teperdaya oleh teroris? Salah satu gedung kebanggaan Amerika —Pentagon- runtuh hanya dalam hitungan waktu 30 menit oleh bom yang diledakkan teroris lewat sebuah pesawat jet. Peristiwa 11 September itu cukup mengejutkan dan meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat Amerika. Pasca peristiwa tersebut berbagai upaya dilakukan Amerika baik dengan memperketat keamanan ataupun mengecam terorisme dan mem-blow up isu-isu tersebut ke seluruh dunia.

The Pentagon’s New Map menyajikan informasi penting dengan perspektif yang berbeda. Pisau analisis Thomas PM Barnett cukup tajam untuk membedah apa saja titik kelemahan Amerika dalam menerapkan strategi keamanan dan pertahanan Amerika. Barnett mengulas Amerika dengan cermat. Tak hanya itu, Barnett cukup berani mengkritik pemimipin negara karena langkah politik. yang diambil salah.

The Pentagon's New Map merupakan buku yang paling banyak dibicarakan di tahun 2004.
“Penggabungan luar biasa antara konsep Tom Friedman tentang globalisasi dan Carl von Clausewitz tentang perang. Buku ini cukup berani mengkritik pemimpin negara yang sedang berkuasa” tulis David Ignatius di The Washington Post.

Hal penting yang perlu digarisbawahi dari buku ini adalah upaya keras menerapkan strategi jitu Amerika di abad dua puluh satu. Sebuah buku yang menghadirkan gagasan cerdas, Barnett menamai globalisasi di mana negara sebagai penyumbang sejarah dan menjelaskan perlunya pengarusutamaan informasi untuk memperketat keamanan tidak hanya di negara Amerika tapi juga negara di dunia.

Sebagai seorang professor dan analis senior di US Naval War College, Barnett tidak asing dengan budaya kerja Pentagon dan Departemen Dalam Negeri (keduanya memercayai Barnett sebagai peneliti di lembaga pemerintahan tersebut) .

Buku ini memang layak dijadikan referensi untuk mengubah peta perpolitikan dan pertahanan Amerika menghadapi abad baru selanjutnya. Tentu mengubah dan membenahi strategi negara tidak seperti membalik telapak tangan. Butuh analisis dan membaca peta lebih saksama. Dan tidak ada kata terlambat bagi Amerika untuk memulai. Tidak hanya penting bagi Amerika, konsep dalam buku Barnett ini cocok diaplikasikan di seluruh negara di dunia.

Barnett berpendapat teroris dan globalisasi telah diterapkan dari dulu untuk mengakhiri perang 30 tahun di Eropa yang terjadi 400 tahun lalu [Thirty Year’s War (1618–1648) merupakan salah satu perang paling berbahaya dalam sejarah Eropa).


Gagasan Barnett merupakan tantangan bagi Amerika untuk terus membenahi strategi keamanannya. Waspada dan menyusun rencana baru merupakan langkah penting. Jika saat ini aman, bisa jadi esok ada serangan. Sebab bom waktu bisa meledak di suatu waktu, hanya persoalan waktu dan kesempatan yang menunggu.

Barnett menulisnya dengan gaya dialogis. Di samping bahasannya yang proporsioanal karya Barnett ini juga sangat jelas, dengan struktur bahasa yang kuat.

Kesehariannya Barnet bekerja sebagai penasihat di sekretariat departemen pertahanan Amerika selain seorang analis, editor Esquire, dan penulis kolom mingguan di The Scripps Howard News Service. Barnett mendapatkan gelar doktor dalam bidang ilmu politik di Harvard University.


***********

Amerika Pasca-Bush

(Great Powers: America and the World After Bush)

Oleh: Kustiah

Apa yang terjadi setelah Bush tak lagi menjabat sebagai presiden? Apakah Amerika akan tetap dingin terhadap negara-negara lain di dunia atau sebaliknya?
Setelah pelantikan Barrack Hussain Obama sebagai presiden Amerika 20 Januari lalu, banyak masyarakat dunia baik sahabat maupun musuh Amerika menaruh harapan besar. Harapan akan terciptanya kedamaian dunia dan kebijakan Amerika yang berpihak pada kepentingan dunia.

Pemerintahan Bush memang tak hanya meninggalkan setitik nila bagi negaranya dan negara-negara lainnya. Tapi juga telah meresahkan masyarakat luas terkait pilihan dan keputusannya yang kontroversial.

Tengok saja peristiwa Irak. Pasukan Amerika dikerahkan dan intimidasi tak henti-hentinya dilakukan untuk membuat Saddam mengaku dan jera. Dan keputusan diambil, Saddam harus segera dipenggal dengan alasan telah menyimpan senjata pemusnah massal yang membahayakan dan pada rezimnya telah melakukan pembunuhan massal.

Peristiwa lainnya adalah tuduhan Amerika terhadap Iran tentang nuklir. Amerika khawatir Iran telah menyimpan dan mengembangkan teknologi nuklir.
Ahmadinejad, presiden Iran yang dikenal teguh dengan prinsip dan ideologinya ini keukeh menyatakan, bahwa Iran memiliki hak untuk mengatur negaranya sendiri tanpa campur tangan Amerika.

Kasus Irak adalah salah satu dari lusinan persoalan yang sedang dihadapi pemerintahan Bush. Namun terlepas dari semua itu, invasi AS ke Irak lebih membahayakan perdamaian dunia dan stabilitas global daripada program nuklir Iran. Bahkan perekonomian Amerika yang semakin terpuruk lebih mengkhawatirkan masyarakat Amerika sendiri.

Bush dikenal manusia bertangan besi. Dia mengadopsi ideologi ayahnya, Goege Bush, “bergabung menjadi kawan atau lawan”, menerapkan kebijakan yang banyak tidak menguntungkan negara dunia ketimbang menguntungkan.

Great Powers: America and the World After Bush, buah karya Thomas PM Barnett
memberikan analisisnya yang berani tentang pemerintahan Bush.
Analis Amerikanis ini dikenal sebagai orang yang optimistis.
Meski negara luas telah mengecam berbagai kebijakan Bush, baginya tak ada yang tak bisa dibenahi.
Penggabungan yang luar biasa tentang globalisasi dan segala tantangan yang akan dihadapi pasca-Bush membuat buku ini menarik untuk dibaca.

Barnett punya alasan, bahwa selama Amerika mau belajar dari masa lampau, tidak mungkin negara superpower ini tidak kembali berjaya dan menjadi kiblat dunia.

“Kita adalah simbol manusia modern,” kata Barnett dalam bukunya tantang apa yang seharusnya kita lakukan dalam menghadapi era globalisai. Ia mengevaluasi kegagalan pemerintahan Bush, menawarkan preskripsi untuk membenahi atau melakukan pembelaan bahwa sampai saat ini Amerika tidak melakukan sesuatu apa pun yang benar dan membiarkan semua ide menguap.

Bab pertama buku ini Batnett memulainya dengan celaan “The Seven Deadly Sins of Bush-Cheney”. Dan pembaca akan lebih terpikat lagi dengan ide brilian Barnett pada bab-bab selanjutnya.
Barnett juga menyarankan tak ada salahnya Amerika berkaca dan belajar dari kesuksesan China dalam menghadapi krisis dan mendongkarak sistem perekonomiannya yang pernah terpuruk. Maka, kita tunggu perubahan apa yang akan terjadi pasca-pemerintahan Bush.

Selasa, 24 Februari 2009


Sosok

Permintaan Aneh

Saat ditanya apa pengalaman mengesankan saat manggung, Waljinah tertawa renyah.
“Jadi gini,” kata Waljinah. “Selesai manggung saya duduk sebentar untuk istirahat. Nah, waktu itu ada ibu hamil datang ke saya minta perutnya dielus-elus. Lalu saya tanya, kenapa minta saya elus? Katanya kalau nanti anaknya lahir suaranya biar kayak saya,” lanjutnya terkekeh saat mengisi acara diskusi “Langgam Keroncong Riwayatmu Dulu, Langgam Campursari Riwayatmu Kini” di Jln Veteran Minggu kemarin.

Bagi Waljinah, selama permintaan penonton nggak neko-neko akan ia turuti. Maestro langgam campursari yang biasa dikenal dengan Walang Kekek-nya ini bahkan merasa senang jika bisa mengabulkannya.

Tidak sampai di situ saja. Ada pengalamn lain yang membuat ia geli. Pernah ada penonton datang padanya minta diludahi. Pasalnya waktu itu penontonnya sedang sakit, siapa tahu ludah Waljinah manjur. Ada-ada saja. Kustiah
Kalau Anda Ambeien
Kustiah
Kustiah@jurnas.com

Ambeien bisa berakibat anemia, mengabaikannya bukan tindakan bijaksana.

Duduk memang memberikan kenikmatan tersendiri. Apalagi dikakukan setelah beraktivitas di luar ruangan. Tentu duduk merupakan obat mujarab untuk menghilangkan rasa lelah. Dan awam mengenal duduk berlama-lama sebagai salah satu penyebab penyakit ambeien.

Akan tetapi pendapat tersebut dibantah Aru Sudoyo, dokter ahli penyakit dalam dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM). "Ambeien terjadi akibat pembuluh darah vena di permukaan rektum (dubur) melebar yang disebut ambeien. Mirip terjadinya pelebaran pembuluh darah di tungkai atau biasa kita sebut varises," katanya menjelaskan.

Hemoroid atau ambeien berasal dari dua suku bahasa Latin, yakni "haem" yang berarti darah dan "rheo" berarti mengalir. Hampir setiap orang memiliki ambeien atau hemoroid, yang tidak melulu menimbulkan rasa sakit. Biasanya rasa sakit muncul jika ambeien telah membesar menjadi benjolan yang berbentuk kantung atau balon berisi darah segar kadangkala keluar lendir atau mukus. Benjolan sendiri muncul karena sering mengedan. Tekanan feses (tinja) yang menggesek kulit dinding anus mengakibatkan pelebaran permukaan pembuluh di sekitarnya.

Lemahnya dinding pembuluh darah yang terletak tepat di bawah permukaan usus bagian ukung (rektum, dekat anus) bisa menjadi salah satu penyebab ambeien dan menimbulkan rasa sakit. "Ambeien yang muncul sebagai benjolan dapat membesar. Benjolan yang semakin membesar biasanya berisi darah segar membentuk seperti selang. Jika tekanan meningkat dan pengejanan terjadi terus-menerus akan mengakibatkan kantung tersebut pecah. Dan bisa terjadi pendarahan," kata Aru.

Ambeien memang tak semenakutkan penyakit kronis lainnya sepeti kanker atau tumor. Namun, tetap tidak boleh diabaikan saja, apalagi menyepelekannya. Karena, ambeien dengan benjolan yang sudah membesar dapat mengganggu kualitas hidup penderitanya. Keluhan seperti anus terasa panas selepas buang hajat, gatal, dan kulit anus terasa lembap membuat hidup si penderita tidak nyaman.

Selain itu, potensi tumbuhnya benjolan merupakan ancaman. Jika benjolan yang berbentuk kantung atau balon tersebut pecah, pendarahan akan terus terjadi. Akibat pendarahan yang terus-menerus ini akan mengakibatkan penderita terserang anemia (kurang darah). Sedangkan anemia menyebabkan risiko-risiko lain, seperti badan lemah, letih, lesu, dan tidak bertenaga. Bayangkan, bila kondisi ini terjadi pada mereka yang dalam usia produktif. Berapa kerugian yang mesti ditanggung lembaga, perusahaan, atau bahkan aegara bila kualitas sumber daya manusianya terganggu.

Menurut Aru, guna menghindari atau menyembuhkan penyakit ambeien ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, dengan konsumsi makanan berserat. Makanan berserat dapat memudahkan feses turun dengan lancar sehingga seseorang tak perlu melakukan pengejanan. Namun, jika pendarahan masih terjadi konsumsi makanan berserat sebaiknya dihentikan dulu sampai pendarahan berhenti. Mengangkut barang-barang berat (semisal angkat besi) tidak dianjurkan, kecuali melakukannya dengan teknik yang benar.


Tak Harus Dioperasi

Oleh: Kustiah

UNTUK mengobati ambeien tidak harus selalu dengan cara operasi selama benjolan masih belum terjepit anus atau tidak berdarah masif. Namun, jika ambeien sudah pada kondisi kritis semisal darah terus mengucur, pengobatan bisa dilakukan dengan cara menyuntikkan obat atau terapi aklerosing. Atau dengan cara mengikat kantung dengan karet gelang agar pendarahan berhenti. Tentus saja pengikatan dengan karet ini dilakukan oleh doketr.

Menurut Dr Cahyo Adi Nugroho dalam www.mer-c.org, pengobatan eksternal juga bisa dilakukan dengan cara mengompres dengan cairan hangat dan dimasukkan perlahan-lahan, dapat juga diberi salep anus dan suppositoria (ini sebagai analgetik saja, bukan sebagai pengecil benjolan). Untuk terapi tindakan lainnya bisa dengan cara skleroterapi, yakni menyuntikkan larutan kimia ke jaringan submukosa di bawah hemoroid supaya terjadi jaringan parut, biasanya untuk hemoroid yang besar dan prolaps.

Berdasarkan gejala, hemoroid dapat dibagi dalam empat level. Pertama, ada hemoroid, selaput lendir bengkak, belum ada prolaps (juluran keluar anus). Kedua, muncul prolaps waktu mengedan yang bisa masuk kembali ke dalam anus secara spontan. Ketiga, muncul prolaps dan untuk masuk kembali perlu dibantu tangan. Keempat, prolaps yang tak dapat dimasukkan kembali ke anus. Bila sudah mencapai level tiga dan empat, cara operasi bisa dilakukan.

Menyembuhkan hemoroid perlu pengaturan diet makanan dan cara buang air besar. Diet yang dianjurkan adalah diet cukup serat, sekitar 30 gram per hari, minum yang cukup, dan mengurangi makanan yang berbumbu berlebihan misalnya pedas. Sampai saat ini belum ada penjelasan tegas apakah ambeien merupakan penyakit keturunan. Namun, seringkali penyakit ini ditemukan lebih tinggi pada suatu keluarga dibandingkan keluarga lain.

Kamis, 29 Januari 2009

Kematian

Kustiah**

Mati atau tidak bernyawa. Tapi lebih tepatnya wafat untuk mengabarkan berita buruk atas kecelakaan maut yang terjadi di dekat tempatku bekerja sore itu. Manusia datang, berkerumun. Satunya berkomentar, lainnya mengintip dengan telapak tangan yang ditutupkan di mukanya.

Sore menjelang malam. Bahkan sore sudah serupa dengan warna aspal, gelap. Kerumunan manusia semakin melebar dan keramaian tak terelakkan.

Tak mampu menahan rasa penasaran, aku segera melompat menuju kerumunan.
Kulihat tubuh terkulai di atas tanah tanpa alas apa pun. Rambut sebahu telah bercampur tanah. Muka pucat. Mata terpejam dengan kedua tangan tersedekap di atas perut. Separuh tubuhnya tak bisa kulihat dengan jelas. Sebatas perut hingga kaki telah tertutupi koran. Hanya ujung jari-jari kakinya yang tampak. Tak jauh dari tubuhnya, sendal tergolek tanpa pasangan.

Polisi sibuk mengeja, mengabari, berdesas-desus. Manusia berkerumun terpaku, gelisah. Hatiku tak kalah gelisahnya. Ingin kutanyakan kepada siapa pun, apa yang terjadi?, bagaimana bisa terjadi?, bagaimana selanjutnya?

Aku mundur. Lalu kembali pada sebuah tubuh yang tak kukenal. Kupandangi, sisanya lagi hatiku bergetar.

Tubuh itu kini sendiri. tanpa nyawa yang menggerakkannya. Tak ada keinginan atau kemarahan, apalagi penyesalan. Tubuh itu kini pasrah. Sendiri bersama alam yang diam.

Wajahnya kulihat sunyi. Usianya mungkin tak jauh dari usia ibuku. Yang hidupnya sedang bergulat untuk anak-anaknya. Mungkin dia sendiri tak ingin meninggalkan anak-anaknya di rumah dengan jerit tangis tak rela. Atau melihat suaminya terkejut dengan kepergiannya yang mendadak, tanpa pamit dan kecupan manis.

Aku menunggui. Hingga akhirnya mobil ambulans datang menjemput. Mengangkatnya dan entah akan membawa tubuh itu ke mana. Kulihat tanah bekas perempuan tadi terbaring. Darah kental meluber. Segera laki-laki datang dengan membawa pasir dan menumpahkannya ke atas darah kental. Di ujung aspal, darah masih terlihat berkilauan. Merah bercampur hitam aspal.

Oh Tuhan. Tenangkanlah raga tubuh yang baru saja Kau ambil Ruhnya. Tenangkan pula Ruhnya. Tabahkan hati anak-anak dan suaminya. Saudara-saudara dan orang-orang yang mengenalnya. Mungkin kepergian ini tak ia kehendaki, dengan pedih dan sakit yang ia rengguk di pinggir jalan ini.

Aku percaya. Engkau senantiasa memberikan yang terbaik bagi hamba-hamba-Mu. Maka tak ada kesalahan dan yang disalahkan. Jika semua telah Kau kehendaki,,maka aku hanyalah menjadi penonton-Mu saja.

Biarlah jalan ini menjadi saksi atas ketidakberdayaan tubuh menahan sakit. Ketakberdayaan manusia yang pada akhirnya memang akan kembali kepada-Mu. Biarlah aku mengingat kenangan pahit ini tiap memijak jalan yang telah menjadi saksi nyawa hamba-Mu terenggut. Yang bisa jadi tanpa dampingan siapa-siapa, tanpa air putih terteguk, atau air mata menetes, nyawa pergi meninggalkan tubuh. Semua telah terjadi.

Minggu, 11 Januari 2009

Anak Yatim

Oleh: Kustiah***


“Aku tunggu ya. Besok datang ke rumah pukul satu siang. Ingat kan rumahku blok A4 nomor 6. Tahu kan perumahan seberang?”

”Insya allah bu, besok saya ke sana. A4 nomor 6 ya,” katanya dengan mata bulatnya,
meyakinkan

Delapan pagi selepas bangun tidur aku langsung menuju dapur. Rumah sepi. Nur, yang biasa menanak nasi dan bertugas belanja pergi ke pasar pagi sekali untuk kulakan barang dagangannya. Kulongokkan kepalaku ke kamar sebelah. Kulihat Soleh masih tidur terlelap. Mungkin dia masih kelelahan setelah bulu tangkis semalam, pikirku. Mengurungkan niat untuk membangunkannya.

Aku ingat. Aku punya janji bertemu seseorang siang ini. Maka setelah bersih-bersih di kamar mandi, segera kunyalakan kompor untuk memasak menyiapkan sarapan sekaligus membuatkan bakwan untuk tamuku nanti.

Sepanjang memasak jantungku berdebar campur haru. Masih terngiang-ngiang suara anak perempuan kecil itu.

”Assalamualaaikuuuuuuuum”.

”Assalamualaikuuuuuuuuum”.

Di sudut hati seperti mengumpul air dan merembeskannya ke dalam mataku. Di sudut mataku tiba-tiba terasa perih karena muncul rembesan air.

”Ah, apa mungkin aku mau menstruasi setelah jeda tiga bulan?,” aku membatin.

”Apa mungkin aku tidak hamil. Tentu tidak”. Aku tertawa kecut. Sadar betul bahwa itu tidak mungkin. Begitu dua bulan tidak menstruasi aku dan suami langsung membeli tespek. Lagi-lagi aku harus menerima kenyataan dan kekalahan. Entah dengan suamiku. Yang kulihat dari raut mukanya adalah dia sedang berusaha menenangkan dan mendamaikanku dengan keadaan. Hasilnya jelas, negatif.

Lalu kurasa sedikit mulas.

”Ah, keluarlah jika ingin keluar. Aku siap melihat warna merah di celana dalamku”.

Kulihat Soleh masih juga belum keluar dari kamar. Dan aku membangunkannya untuk sholat subuh.

Aku mendengar langkah kaki terseret di luar rumah. Kubuka pintu. Dan kudapati Nur baru pulang dari pasar dengan jagungnya.

Dengan Nur aku ceritakan pertemuanku dengan anak perempuan kecil itu. Tengah malam begitu aku pulang dari pertemuan RW di rumah tetangga seberang.

Aku tak cukup kuat menahan haruku seorang diri. Juga aku ingin mengatakan ke Nur bahwa hidup kita sebenarnya sangat beruntung dan banyak diberikan berkah.

”Bersyukurlah kita Nur, masih memiliki orang tua lengkap di saat kita belum siap jika ditinggalkan. Dan kita masih tahu dan mengenal wajah bapak ibu kita,” kataku ke Nur dengan mata merembes dan hati pahit.

”Aku nggak bisa membayangkan Mbak. Hatiku juga seperti tersayat mendengar cerita Mbak Tik tadi,” kata Nur.

Lalu kami diam di saat malam telah menjelang pagi. Mataku masih juga terjaga, tak merasakan kantuk sedikit pun.

”Mbak, aku tidur di luar aja ya.Biar besok bisa kulakan pagi-pagi sekali. Kalau tidur di dalam kamar biasanya aku susah bangun pagi. Siang biar aku bisa menemui anak perempuan kecil itu,” kata Nur sedikit meminta izin dan berpesan.

Dia tahu. Aku akan melarangnya tidur di luar ruangan. Tanpa kasur dan selimut. Selain aku tak mau seluruh ruangan rumah yang hanya ada tiga ruang ini menjadi tempat tidur. Tidur ya di ruang tidur. Ruang keluarga yang juga sebagai ruang tamu tak boleh digunakan sebagai ruang tidur kecuali terpaksa. Misal jika ada tamu yang mesti tidur di dalam ruangan, otomatis dua saudara sepupu laki-itu mesti tidur di luar. Untung sampai saat ini belum pernah ada tamu yang menginap.

”Ya,” jawabku singkat sambil menutup mata dengan selimut dan bantal memaksa tidur di dalam kamar.

Sebelum Nur pulang dari pasar aku ingin menceritakan pertemuanku dengan anak perempuan kecil itu kepada Soleh. Antara iya dan tidak karena berbagai pertimbangan. Karena hati ini tak bisa menahan haru dan senang akan pertemuanku siang ini aku berhasil memulai mengatakannya. Meski aku bisa menebak apa yang akan di katakan Soleh.

Berbeda dengan Nur yang hatinya lembut dan kata-katanya tersususn enak dan menenangkan, Soleh justru sebaliknya. Sifatnya keras. Antara kritis dan kesoktahuannya tipis sekali dibedakan. Kata-kata yang diucapkannya seperti tanpa peduli dengan hati yang mengajaknya bicara. Biasa ceplas-ceplos tapi minim wawasan. Dan hatinya sangat sensitif. Jika diluruskan Soleh segera masuk kamar mengabaikan penjelasan apa pun.Tapi dia banyak ide dan mau mencoba banyak hal meski kadang sering menyepelekan orang lain. Jarang aku berkata-kata dengannya jika tidak penting setelah berkali-kali mendapat jawaban dan respons yang tidak mengenakkan. Hanya Nur saja yang mampu menjadi teman dekatnya meski tidak jarang konflik terjadi. Untung Nur tahu itu. Diam baginya adalah jawaban tepat.

”Iya kang Soleh. Anak perempuan kecil itu nanti siang mau ke sini. Aku memintanya datang jam satu siang,” kataku.

”Iya kalau yang dikatakannya itu benar. Bisa saja sampeyan ditipu. Mbak percaya saja begitu,” jawabnya.

”Aku tahu apakah anak perempuan itu menipuku, jujur atau tidak. Aku bisa melihat kebohongan dan kejujuran dari matanya,” kataku lagi.

”Ooo, jadi mbak tahu kalau ada orang tidak jujur. Tapi takut mengatakannya. Tidak berani bilang ke orang itu kalau dia bohong”

”Sudahlah,,malas saya membahasnya. Iya, mungkin aku orang bodoh yang gampang percaya orang lain. Sudah, sudah, tak perlu dilanjutkan lagi pembicaraan ini. Aku sudah menduga itu yang akan kau katakan kepadaku.”

Lalu Soleh masuk kamar. Entah apa yang dilakukannya. Dan Nur datang.

Waktu merayap. Akhirnya selesai juga aku memasak. Dan kami sarapan bersama.

”Jam berapa dia datang Mbak,” tanya Nur sambil menyuapkan nasi pertama ke mulutnya.

”Nanti jam satu,” jawabku.

Hatiku sempat ragu apakah dia bisa datang siang ini atau tidak. Mendung tebal. Dan aku tidak yakin dia ingat alamat rumah ini.

Pertemuan pertama. Mengingat alamat orang yang tidak ia kenal. Tentu dia tidak akan hapal mukaku. Sayang,,malam itu aku tidak membawa pulpen untuk mencatatkan alamatku. Sebelumnya aku menawarkan agar anak perempuan itu menelponku. Tapi apa mungkin. Biasanya telpon ke HP kan mahal, pikirku malam itu.
Ah, aku hanya bisa berharap.

Azan zuhur berkumandang. Itu artinya jam satu siang tinggal sejam lagi. Hujan mulai rintik. Dan Nur kembali masuk rumah setelah menanam pohon singkong dan kangkung di lahan taman yang belum terurus di samping rumah..

Aku mondar-mandir. Membuka pintu dan menutupnya kembali. Mengambil kain pel dan mengelapkannya ke lantai yang basah karena hujan.

Jam bergerak. Dan saat ini pukul satu tet. Nur kulihat keluar. Dia meminta izin untuk menjemput anak perempuan itu di depan gang perumahan setelah merasa telah melihat anak kecil berkerudung lewat saat Nur menanam kangkung.

“Tadi aku melihat anak kecil berkerudung lewat. Apakah anak itu Mbak?”

”Kenapa tak kau tanya dia mau ke mana?”
”Kau itu jangan keterlaluan diamnya. Lihat, jika kelihatannya dia bingung tanya dia mau ke mana,” pekikku tak tertahan. Dan Nur segera keluar setelah aku berkata tinggi.

Anak perempuan itu mungkin tak akan kutemui lagi. Setelah niatku ingin memintanya bekerja dan tinggal bersamaku. Atau memasukkanya ke sekolah menengah pertama di daerah Tebet sana. Sama seperti yang kulakukan terhadap dua saudara sepupuku laki-laki ini.

“Kenapa usiamu sekecil ini meminta-minta,” tanyaku menatap mata anak perempuan yang tampak lelah itu.

”Ke mana orang tuamu? Berapa saudaramu?”.
“Rumah di mana? Masih sekolah”

Rentetan pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di sudut kepalaku.

Dan hatiku merembes jika ingat jawabannya yang lugu yang aku yakin dia tidak berbohong.

Awalnya aku hanya ingin mengamati apa saja dan bagaiman yang dilakukan peminta-minta. Kuamati dia dari jarak tiga rumah di depanku. Aku tahu, anak perempuan itu pasti tahu telah aku amati.

“Assalamualaikuuuuum”
“Assalamualaikuuuuum”

Anak perempuan itu berdiri di depan rumah jauh dari pintu. Jika rumah itu berpagar dia cukup berdiri di luar pagar. Jika rumah belum berpagar maka dia akan berdiri di lima langkah dari pintu rumah. Suara salam dikeraskan. Jika nasib baik, pintu pemilik rumah akan terbuka dan tangan dengan uang yang saya tak tau nilainya menjulur. Lalu anak perempuan itu akan mendekat dan mengucapkan terima kasih.

Mataku masih mengamati tapi juga tak melepaskan pandanganku ke ponsel yang sedang mengirim pesan. Aku ada janji dengang pengurus RW di rumah temanku malam itu. Karena ini pertama kali aku ke rumahnya dan belum tahu alamatnya maka kukirim pesan agar ia mengirimkan alamatnya segera.

Anak perempuan itu sudah berdiri di lain rumah. Kali ini sudah tiga rumah tak membukakan pintu dan memberinya uang.

Dan ia melewatiku yang berdiri di tengan jalan gang yang sepi. Pintu rumah di blok ini memang telah tertupup semua. Maklum malam itu udara cukup dingin dan waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Tiga langkah di depanku, entah kenapa kakiku mengikutinya.

”Dik, aku mau tanya”.
Tiba-tiba mulutku kubuka. Ponsel masih di tangan. Belum aku masukkan ke saku karena masih menunggu balasan dari temanku.

”Rumahnya mana?,” tanyaku.

”Leuwipanjang bu.”

”Mana itu. Jauh dari sini?”

”Ya jauh bu.”

”Berapa ongkos dari sini ke rumah?”

”Dua puluh ribu bu, naik angkot.”

”Terus berangkatnya jam berapa dari rumah”.

”Mulai jalan jam satu siang”.

”Jalan kaki dari jam satu siang,” mataku mendelik tidak percaya. Tapi berusaha percaya dan mendengaranya.

”Iya”

”Masih punya kakak, orang tua?”

”Bapak sudah meninggal waktu saya tuju bulan di dalam kandungan. Ibu sakit lumpuh di rumah, ditungguin sama kakak yang berusia 19 tahun. Kakak yang kedua 24 tahun dan kakak pertama 29 tahun bekerja diajak temannya di Jakarta.”

Mulutnya rapat setelah menjelaskan panjang lebar kepadaku. Tak kalah rapatnya, mulutku bahkan terkunci menelan ludah. Terasa pahit.

”Lalu kamu-minta-minta. Sekecil ini?”

Dia diam. Kepalanya tetunduk. Badannya bergoyang sedikit. Dan otomatis tas rangsel yang menggantung menutupi dada dan perutnya ikut bergoyang. Tangannya memegang lembaran kertas, seperti peminta pada umumnya. Membawa kertas bertuliskan berapa ribu yang pemberi berikan. Kerudungnya tidak kumal amat, meski lusuh sedikit. Rok panjangnya menutupi mata kaki dan hanya terlihat sendal dan kakinya yang hitam. Bajunya panjang dan longgar.

Kulihat wajahnya kecokelatan matang. Mungkin karena jalan siang sepanjang hari terkena sinar matahari. Matanya sendu dan bulat. Tubuhnya kurus, persis seperti adik perempuanku sewaktu duduk di kelas satu SMP. Secepat kilat aku merasa kangen ke adikku yang sedang menempuh sekolah menengah atas di sebuah pondok pesantren di ujung Pati sana.

”Lalu pulangnya jam berapa”

”Nanti jam sembilan jam sepuluh bu”

“Sudah dapat berapa”.

“Delapan ribu”.

“Delapan ribu dari jam satu siang?,” mataku kembali mendelik.
”Lalu ongkosnya nanti bagaimana, kan itu belum cukup”.

Kulihat tirai jendela rumah di depanku dibuka. Mungkin karena percakapan kami agak terdengar keras. Dan aku memelankan suaraku.

”Mau kerja?”
”Di mana bu?”
”Ya di rumahku,” diam aku berpikir. Mulutu sekonyong-konyong menawarinya kerja tanpa aku tahu apa yang akan dikerjakannya nanti.

”Kerja apa bu?”

”Em,,emmm...pokoknya kerja. Bisa membantu saudaraku jualan jagung atau mau jualan jus?,” serta merta aku mencoba mencari ide.

”Nanti setiap minggu bisa pulang menengok ibu. Dan aku gaji”.

”Sebulan sekali aja bu. Biar uangnya ngumpul. Kira-kira gajinya berapa bu”.

”Emm,emm tiga ratus ribu. Adik makan dan kebutuhan hidupnya ibu tanggung.”

”Atau mau sekolah. Sudah sekolah?”

”Lulus SD. Tidak punya ongkos buat sekolah”.

”Ooo, ya sudah. Nanti aku sekolahkan. Emmm,,em, gampanglah itu. Atau supaya lebih jelas bagaimana jika besok adik ke rumah”.

“Boleh, jam berapa bu”.

“Bisanya jam berapa? Jam satu siang juga boleh. Gimana?”

“Insya allah saya ke sana. Rumahnya di mana bu?”

”O ya,. Tahu kan perumahan seberang,,Blok A, sama dengan perumahan ini.”

”Ooo yang seberang jalan bu ya.”

”Ya,ya”.

”Biasanya semalam dapat uang berapa”

”Tidak tentu bu, kadang dua puluh. Tapi di perumahan seberang stasiun, ada ibu yang meminta saya datang setiap tanggal 20. Ngasih 200 ribu. Ada yang meminta saya datang tanggal 30 ngasih seratus”

”Tiap bulan datang ke sana?” ah lega, pikirku. Berarti dia masih bisa makan enak. Paling tidak selama sebulan sekali.

”Ya.”

”Sudah makan?” aku berniat mengajaknya makan ke rumah. Atau aku ajak ke lapak tempat dua saudara sepupuku laki-laki berjualan. Memberinya roti bakar atau jagung bakar. Atau memberinya uang saku untuk pulang.

Tapi dia menolaknya. Dan memilih melanjutkan perjuangannya. Kulihat dari belakang baju dan rok yang besar menutupi tubuhnya yang kurus. Dan mungkin juga kakinya yang kecil tapi kuat karena jalan berkilo-kilo meter sepanjang hari.

”Bagaimana nasibmu ke depan nak. Sedang di usiamu yang belia engkau harus mengabiskan waktumu untuk terus berjalan dan meminta orang mengasihanimu.

Tubuhnya perlahan-lahan lenyap. Tapi suaranya masih bisa kudengar. Tentu isakan tangisku tak mampu kau dengar. Karena malam telah menelannya. Dan hanya hatiku saja yang merasakan pedih dan mataku yang perih.

”Tuhan aku titip kebaikan untuk anak perempuan yatim ini. Aku janji akan memeliharanya dan menengok ibunya yang lumpuh. Aku janji, akan kusekolahkan anak yatim ini jika esok ia datang kepadaku.,” doaku penuh harap sementara kakiku terus melangkah.

Hujan tak juga reda. Nur juga telah kembali dari depan gang menunggu anak perempuan itu muncul. Kutengok jam di dinding telah menunjukkan pukul tiga. Kulihat langit masih mendung. Hati berdebar masih menyisakan harapan akan terdengarnya sapaan anak perempuan yatim itu ,,”Assalamialaikuuuuuuum”.


Kustiah. Lahir di Blora 10 Mei. Penulis cerpen, saat ini bekerja sebagai penyelaras bahasa di sebuah koran harian di Jakarta.

Kangen

Oleh: Kustiah**


Kupandangi telepon yang hanya berada tiga meter di depanku. Sambil kusandarkan tubuhku di tembok kamar, mataku tertuju pada telepon genggam yang tergolek di atas meja.

”You become the meaning of my life”

Lagu milik Micheal Learn To Rock mengalun sayup-sayup dari laptop di atas kasur. Aku berdiri menuju ruang yang paling aku sukai di antara ruang-ruang lain di rumahku. Sebuah ruang kecil tanpa atap dan perkakas apa pun kecuali dua pot kembang dan batu koral. Di ruang ini aku merasa ada tempat yang menampung kesepianku. Bebas menghirup udara segar dan menatap awan tanpa terhalang atap.

Sambil menyucup air di gelas yang kupegang dengan kedua tanganku kulihat dua pot kembang. Satu pot kembang kantil yang tumbuh besar dan subur kudapat dari seorang teman kerja di kantor. Satu kembang yang kedua kuperoleh dari taman di kantor tempatku bekerja .

Kutinggalkan mengharap-harap telepon berbunyi. Satu jam lalu suamiku menelfonku, tapi entah kenapa aku masih menunggu suaranya di ujung sana. Sudah seminggu lebih ini dia berada di luar kota untuk menyelesaikan tugas akhirnya.

Perasaan gelisah saling mendesak di relung hati dan jiwa. Aku sulit mengendalikannya. Antara kangen, sepi, dan beberapa persoalan saling lompat dan tindih. Handuk kulingkarkan pada leherku karena baju yang kukenakan berkerah terlalu rendah.

Aku kembali mengingat di mana aku lebih sering sendiri. Menyulam sepi dan mengetik setiap kata di memori otak.

Baik di Garut, Semarang, Yogyakarta, maupun di Jakarta bagiku makna sepi tetap sama. Tak ada yang berubah. Sepi, air mata, dan janji.

Entah, apakah ada hubungannya antara kehadiran atau keberadaan. Terkadang dengan serampangan aku menerjemahkannya antara waktu menjelang menstruasi dengan keadaan jiwa yang memang benar-benar dirundung sepi. Tak ada penaklukan kecuali berdamai pada diri dan keadaan.

Menunggu juga bukan lebih baik. Tapi sangat berarti jika aku memaknainya sebagai pelaku yang menaklukkan waktu.

Wajah suamiku berkelindan. Ingat saat berdiskusi menjadi saat menyenangkan. Atau bangun tidur melihatnya tertatih menghampiriku di dapur dengan mata setengah terpejam.

”Masak apa Ma?”

Suara parau dan rambut tebal hitam yang tak teratur hanya mengenakan kaus dalam putih dan celana sebatas lutut menambah penampilannya seperti anak lima tahunan yang berlari mendekati ibunya yang sedang memasak.

Aku tersenyum.

Atau sebelum bangun, ia akan memanggil dan mencariku.

Suami, ibu, adik, simbah, dan semua orang yang ada di pikiranku menghampiri. Saling berganti dan memeras air mata. Semakin aku ingin bertemu semakin air mata ini berderai.

”Perasaan apakah ini?”

Aku mencoba memberi toleransi dengan menuliskannya di dalam laptopku.

Hanya harapan yang mampu menghidupiku dengan baik. Dengan sepi, air mata, dan janji aku yakin jiwaku baik-baik saja. Dengan ribuan janji dan untaian doa aku terus menanamkan benih kebaikan.

Rabu, 07 Januari 2009

Menuju Stasiun

Oleh: Kustiah**

Pada sebuah jalan kulewati waktu siang dan malam. Gang sempit yang lebih banyak orang dan rumah saling berjejal ketimbang tanah atau jalan lapang.. Aku lebih memilih jalan ini meski lebih banyak bau, sering berpapasan, dan tak kurang saling bersenggolan. Terkadang pun aku harus menunggu odong-odong lewat terlebih dahulu, atau melewati riuhnya anak-anak bermain.

Jalan itu tak ada sisi kanan atau kiri. Aku selalu menyebutnya tengah jalan. Karena di tengahlah aku bisa berjalan.

Melewati gang sempit saat malam hari lebih menyenagkan ketimbang siang. Selain aku tak perlu membuka payungku, selalu saja ada yang menarik yang bisa aku amati di waktu malam.

Di sepanjang jalan ini kulihat gadis-gadis remaja bergandengan tangan, berbicara keras diselingi tawa lebar kadang berderai. Melangkah ke depan lagi kulihat sepasang mata melotot mengamati betis hingga paha melenggok,,tak lain milik gadis-gadis itu. Kulihat mereka masih seusia adik perempuanku yang sedang sekolah menengah atas, sekitar 17 tahunan.

Tapi mungkin saja aku salah. Di Jakarta, tubuh bisa mengelabui. Badan bongsor dengan dandanan centil belum tentu dikatakan remaja. Bisa saja mereka berusia 13-an tahun atau sedang sekolah menengah pertama. Yang kupersoalkan bukanlah umur, tapi lebih pada kepintaran mereka berdandan yang bisa membelalakkan mata laki-laki yang saat itu mungkin sedang stres atau kelelahan sepulang kerja. Aku tersenyum melihat bapak setengah tua itu masih melotot. Melangkah ke depan lagi kulihat seorang gadis muda, terkaanku sedang duduk di kelas satu menengah pertama. Sedang asyik menempelkan ponsel ke kuping yang di jepit dengan bahu kirinya. Tangannya kulihat sibuk memainkan sebuah kayu mengorek tanah. Bicaranya enteng, terdengar bahasa anak muda Jakarta, ”Lu, gue, dan kemudian centil Namur tampak serius”.

Jalanku memasuki gang sempit itu memang sengaja kupelankan. Aku merasa tidak sendiri. Mereka di sepanjang jalan itu seperti dekat dan kukenal. Mungkin karena aku melewatinya sepanjang hari. Dan selalu menebar senyum pada ibu-ibu yang selalu duduk-duduk di setiap sisi jalan setiap aku lewat.

Aku tak peduli dikatakan sok kenal. Bagiku mengatakan permisi dan senyum adalah tindakan yang membuat hati dan mukaku nyaman. Seolah mukaku yang kencang sedikit kendur. Mulutku yang tidak rata dengan pipiku terasa tenggelam dan enak. Jika mulutku tenggelam ke dalam aku lebih merasa hidungku tampak mancung. Kemudian merasa percaya diri bahwa aku tidaklah jelek amat Aku kembali tersenyum.

Langkah demi langkah tak terasa mendekati jembatan yang menghubungkan aku dengan stasiun. Tempat di mana aku harus segera bersiap-siap merasakan ketaknyamanan.
Tapi kurasa masih jauh. Paling tidak seratus langkah lagi untuk menjangkaunya. Dan aku masih menikmati gang sempit itu.

Semakin dekat terdengar suara riuh anak-anak, langkah lebih kupelankan. Mereka sedang asyik bermain lompat karet. Memenuhi jalan. Hampir tak ada sedikit pun sela bagiku untuk lewat. Karet yang ditali memanjang dibentangkan dipegang dua anak perempuan. Majulah satu per satu baik anak laki-laki maupun perempuan untuk melompaati tali karet itu. Jika ingin menang dan bisa terus melompat maka tali itu tak boleh tersentuh baik oleh kaki maupun tangan.

Langkahku terhenti. Sekadar lewat aku harus menunggu hingga mereka benar-benar sadar bahwa ada orang lain yang ingin lewat.
”Hoi,,biahrkan ibu lewat dulu. Minggir-minggir”, kudengar teriakan ibu-ibu tak jauh dari tempat anak-anak bermain. Dan melangkahlah kakiku. Dan aku kembali tersenyum pada anak-anak dan menyapa ibu-ibu. Menganggukkan kepala tanda terima kasih telah mengingatkan mereka.

Kutengokkan kepalaku ke kanan dan kekiri. Awas akan kondisi gang sekitar. Saat kepalaku kutengokkan ke kiri, masih kulihat seperti hari-hari lainnya, seorang kakek tua dengan baju sama seperti kemarin sedang tertunduk lesu. Tubuhnya kecil. Di perutnya dibenamkan entah apa ditutupi bajunya yang longgar. Sehingga tampaklah perutnya membuncit. Suatu kali aku pernah memergoki lelaki tua itu membuka baju longgarnya yang lusuh. Dan di keluarkanlah sesuatu dari balik bajunya. Seperti kain yang dililit-lilit membentuk ikatan tali tampak seperti tambang dek yang biasa digunakan di kapal.

Rambut kakek itu putih, panjang sebahu. Mukanya penuh kerutan. Kulit tua tapi tak muncul sedikit pun raut kesedihan. Mulutnya datar dengan kumis dan janggut panjang tak terurus. “Tentulah bapak ini tampan waktu mudanya” aku membatin. Tak ada alasan aku takut dengannya. Meski tatapannya kosong. Lebih sibuk dengan gelang-gelang yang melingkar di tangannya. Sesekali senyum-senyum sendiri. Aku tetap minta permisi kepadaanya. Aku tahu ada yang salah. Entah kakek tua itu paham atau tidak, tapi aku telah berhasil untuk tidak takut dan lari darinya. Kutinggalkan kakek itu.

Sepuluh meter melangkah, kali ini kulewati laki-laki kira-kira berumur 40-an. Pandangannya menerawang. Meski aku tahu dia mengambil posisi enak dengan berbaring di sebuah kurs panjang. Kubuyarkan lamunanya,,”Permisi pak”, kataku.

“O ya,ya,,silakan bu,” jawabnya kaget. Kembali aku tersenyum. Kali ini aku sudah berada di ujung gang. Tepat di balik pintu besi yang biasa ditutup saat tengah malam. Di balik pintu besi itu pula ada warung rokok milik seorang nenek tua. Buru-buru kulangkahkan kakiku. Khawatir jika ada motor melintas. Karena pada ujung gang itu ada kelokan jalan. Juga tempat di mana tukang ojek mangkal. Maka aku tak ingin nasibku sial dengan menyerahkan tubuhku untuk disenggol motor.

Tiba di ujung gang berarti aku sudah melewati jembatan yang menghubungkan aku dengan stasiun. Begitu sampai di jembatan ini biasanya suamiku mengingatkan. ”Lebih baik setiap hari engkau lewat jalan gang tadi. Nyawamu tidak terancam dari serempetan bus atau motor”, pintanya yang berkali-kali diulang dan diulang.

Bagiku gang ini tidak sekadar jalan sempit yang kumuh. Melainkan jalan tengah yang memberikan kenyamanan ketimbang melewati trotoar jalan umum yang lumayan lebar. Aku tak perlu ketakutan jika tiba-tiba ada motor di belakangku. Biasanya di gang ini pengendara akan lebih pelan dan menunggu pejalan kaki memberinya jalan. Berbeda dengan trotoar jalan besar itu. Meski telah berada di trotoar tempat pejalan kaki berjalan, tidak jarang ada motor meraung-raung di belakangku. Atau saat aku melompat menghindari lubang selokan menganga, aku merasa seperti ada mulut ular di dalamnya siap menelan kaki dan mengunyah kakiku dengan lahap.

”Ngungggg,,ngungg”. Bunyi kereta lebih jelas terdengar. Dan tinggal lima puluh langkah lagi kakiku segera menjejak stasiun tempat kereta kutunggu. Biasanya aku harus bersiap-siap menutup hidung. Meski tak ada bau menyengat seperti gang yang kulewati belum lama ini. Aku merasa mual. Bukan ada bau busuk truk tempat sampah yang mangkal di samping stasiun itu. Tapi asap rokok yang mengepul. Di antara jari mereka. terjepit rokok dengan berbagia aroma.

Jika begini rasanya aku ingin kembali ke kantor tempatku bekerja melewati gang-gang sepit yang kumuh menyapa mereka. Atau segera aku ingin sampai di rumahku yang sepi dan lengang. Tapi tak mungkin kuhindari asap itu kecuali menutup hidungku rapat-rapat. Menahan sesak lebih baik ketimbang berpikir tidak realistis. Karena bagaimana pun juga tubuhku butuh istirahat. Jiwaku butuh imaji. Pikiranku butuh kejernihan. Lalu kuhempaskan napasku jauh-jauh. Menunggu kereta dan menyiapkan diri berjejal dengan berbagai ukuran tubuh dan aroma. Aku telah terlatih karenanya. Hingga tak kurasakan lagi mana yang kusebut wajar dan tidak. Bagiku bedesakan di dalam kereta sama halnya bekejaran dengan motor yang tak terkendali di jalan itu. Bahkan aku merasa lebih aman di dalam kereta meski tanpa penerangan. Itulah yang kusebut ketidakwajaran.

Sementara bermotor aku bisa leluasa bernapas, di dalam kereta jangan kira aku bisa berdiri tenang. Untuk bernapas aku harus mencari celah yang biasa aku dapatkan dari ketiak manusia menjulang tinggi dengan tangan panjang terangkat ke atas pepegang pada gelang-gelang kereta. Aku mencoba menghirup napas meski bercampur bau keringat.
Aku terdiam.

Antara air mata dan keringat saling mendahului. Maka menangis tak ada gunanya. Aku hanya bisa bertahan hingga kereta ini berhenti di stasiun ke-16.

Minggu, 04 Januari 2009

Penjual Kacang

Oleh: Kustiah**

Hujan rintik. Langit tergores hitam samar-samar. Mungkin gerimis belum cukup menerpa sore ini saja. Bisa jadi hingga larut malam.

Kututupi daganganku dengan lembaran plastik. Seperti malam lalu, aku akan menunggu hingga penumpang kereta terakhir datang untuk menghabiskan dagangan.
Kuusap mukaku dengan ujung lengan bajuku. Hari ini aku lupa membawa payung. Lupa telah menyusahkanku. Sering aku marah pada diri sendiri karena lupa.

Suatu kali aku lupa membawa kantong plastik untuk bungkus dagangan. Dan sangat terpaksa aku harus mengeluarkan uang untuk membeli kantong plastik kembali. Padahal jika tidak lupa, uang yang aku keluarkan untuk beli kantung plastik bisa aku gunakan untuk membeli lauk dan ongkos sekolah.

Sungguh aku kesal karena lupa. Lupa telah banyak merugikanku. Di lain waktu aku lupa membawa payung. Alhasil aku harus menahan dingin sepanjang sore hingga tengah malam karena bajuku basah kuyup akibat kehujanan saat berangkat berdagang.

Itulah sebabnya aku membenci lupa. Tapi apa mau dikata. Antara keinginan untuk tidak lupa dengan ketidaksadaran saling mendahului. Maka aku harus lebih bersabar lagi menghadapi kepikunanku di saat aku masih muda.
Maka aku berpesan dalam hatiku. Jika tiba-tiba ingat sesuatu aku tak boleh menyia-nyiakannya. Harus segera melakukan jika tidak ingin menyesal.

Seperti malam lalu. Aku tanpa payung. Untungnya hanya gerimis. Air jatuh tak sebesar hari kemarin. Aku mencoba menaksir sisa dagangan. Kira-kira masih ada sepuluh bungkus lagi. Satu bungkus kacang seharga tiga ribu rupiah. Jika pembeli hanya meminta dua ribuan maka jumlahnya akan bertambah atau sekitar dua puluhan bungkus.

****************

Namaku Surni. Ibu biasa memanggilku Sur saja. Tanpa Ni di belakangnya. Aku tinggal bersama ibuku di sebuah desa nan dingin. Orang biasa menamai desa tempat tinggal kami desa hujan. Karena hampir bisa dipastikan desa kami diguyur hujan atau gerimis sepanjang hari. Kata orang-orang pintar itu karena desa kami berada di dataran tinggi dengan banyak pohon. Dan kata orang-orang pintar lagi itu karena desa kami sangat rimbun. Bahkan kami lebih sering merasakan kedinginan ketimbang panas. Maka tak heran jika banyak orang kota mulai banyak menempati lahan-lahan kosong di desa kami untuk tempat tinggal mereka. Saat aku tanya ke ibu dari mana mereka datang, ibu mengatakan bahwa mereka dari kota.

Setidaknya itulah cerita kecil yang aku ketahui tentang tetangga-tetangga baruku. Kata ibu lagi, mereka lebih suka tinggal di desa dingin dan rimbun seperti di desa kami. Di kota, tambah ibu menjelaskan udara panas dan pengap. Jalanan macet dan bau selokan di sepanjang jalan menyengat. Aku tidak tahu kapan ibu pergi ke kota sampai ia bisa menceritakan keadaan kota demikian detail. Aku pun tahu kota hanya dari koran-koran yang tidak sengaja aku baca. Biasanya para penumpang kereta melemparkannya begitu saja di dekatku lalu aku memungut dan membacanya.

Tapi yang membuatku bertanya-tanya dalam hati, mengapa tetanggaku tidak menyukai pohon. Bukankah mereka menyukai dingin dan rimbun?. Dulu sewaktu aku melewati jalan menuju rumah, pohon-pohon rindang seperti hantu raksasa. Saat malam hanya ada gelap dan jalan berkerikil yang aku lalui. Hanya sinar lampu dari rumahku samar-samar menerangi. Dan jika langkahku telah mendekati rumah, dengan segera aku berlari kencang karena takut. Aku merasa ada seseorang yang mengikutiku.

Berbeda lagi saat siang hari. Jika tidak gerimis, sepulang sekolah aku biasa jalan dengan teramat pelan. Karena aku makan mangga yang kuambil dari tegalan tetangga. Jika ketahuan ibu aku akan habis dimarahi. Maka dengan jalan pelan-pelan di bawah rimbun pohon nan sejuk aku bisa menghabiskan mangga hasil jerih payahku. Itulah salah satu kenangan tak terlupakan yang aku miliki.


Sayang, pohon-pohon itu telah tiada. Aku hanya bisa mengenangnya. Tak bisa lagi mengulang masa indah memahat cerita untuk esok. Tetanggaku telah menebangnya untuk dibangun rumah bergaya spanyol. Dengan hiasan pohon-pohon bonsai yang ditanam dalam sebuah pot plastik. Dan sekeliling halaman hanya ada keramik mengilat.

Saat aku tanya ibu tentang sebuah kotak putih dengan kabel besar bertuliskan LG yang menempel di dinding rumah tetangga, ibu bilang bahwa itu alat pendingin ruangan. “Jika kamu kegerahan kamu bisa menyalakannya. Tidur akan menjadi nyaman dan pulas,” kata ibu. Sayangnya lagi aku tidak bisa membayangkan apa yang telah ibu katakan. Berada di dalam rumah keramik berdinding tembok seluruhnya dengan udara dingin. Ah, pasti mereka tidak pernah keluar rumah. Merasakan udara luar yang dingin menusuk tulang. Apalagi harus ditambahi alat pendingin. Apa karena pintu mereka tidak pernah dibuka maka mereka kepanasan? Kataku membatin.

Tentu ibu tahu kotak putih menempel di dinding itu apa. Suatu hari tetangga baruku mengundang ibu datang ke rumah mereka. Kata ibu mereka meminta ibu membantu memasak untuk syukuran rumah baru mereka.

Jadilah sekarang aku tinggal bersebelahan dengan orang kaya yang bentuk rumahnya bergaya spanyolan. Yang warna keramik halamannya lebih bagus dari dinding rumahku. Tanaman dalam pot plastiknya pun tak pernah kulihat sebelumnya. Aneh-aneh. Ada yang berbentuk ayam. Rumput hijau yang tampak lembut pun memenuhi tanah yang menghampar. Semuanya kecil dan tampak indah dan cantik. Seperti selaras dengan model rumah.

Kalau dibandingkan dengan bentuk rumahku seperti langit dan bumi. Di depan rumahku berjajar pohon mangga. Di bawahnya ada bayam, kemangi, dan daun ubi jalar. Sedang di luar pagar menjulang pohon randu. Tapi memang benar kata ibu, rumah ini sebelumnya milik seorang duda yang ditinggal anak-anaknya ke kota. Dan diubahlah sedikit-sedikit di sana-sini oleh bapak.

Jarak rumahku dengan stasiun tempat aku berjualan sekitar tiga kali lebar lapangan sepak bola yang ada di desaku. Aku biasa menempuhinya dengan berjalan kaki. Kadang jika tidak ada pekerjaan membantu memasak di rumah tetangga ibu akan mengantarku ke stasiun. Daganganku setiap hari sepulang sekolah adalah lima kilo kacang tanah rebus. Setiap hari ibu membelanjakannya setiap pagi untukku. Mengayuh sepeda menuju pasar selepas mengantarku ke sekolah.

Kami tinggal berdua saja di rumah ujung jalan yang berdinding setengah bawah bata dan setengah atas kayu. Bapak yang membelikan untuk kami sebelum aku lahir. Aku sendiri belum pernah bertemu bapak hingga usiaku menginjak lima belas tahun. Suatu kali saat aku tanyakan perihal bapak, ibu menjawab bahwa bapak pergi mencari uang di pulau seberang. Dan aku percaya apa yang sudah ibu katakan. Meski aku pernah mendengar cerita lain dari tetanggaku bahwa bapak sudah menikah jauh sebelum menikahi ibuku. Dan ia kembali ke pangkuan anak istrinya.
Suatu kali aku mencoba menanyakan bapak sekali lagi. Dan ibu menjawabnya dengan linangan air mata. Kemudian menceritakannya padaku panjang lebar. Itulah keputusan besar ibu yang menceritakan sejarah hidupnya kepadaku. Mungkin karena aku dianggapnya telah cukup matang untuk mengetahui semuanya.

Saat itulah aku hanya menyayangi ibuku selain kakek tua yang berjualan lontong tahu di samping tempatku berjualan.

Kulihat jam yang menempel di dinding stasiun menunjukkan pukul 10. Malam bertambah dingin. Aku menggeserkan daganganku ke tembok agar lebih hangat. Sepiring lontong tahu pemberian kakek telah habis kukunyah. Kakek penjual sendiri pun telah pulang tadi setelah azan isya. Di stasiun tinggal para penjual buah dan aku saja. Karena gerimis penjaga stasiun yang bertugas menarik karcis hanya terlihat berdiri di samping pintu stasiun saja. Biasanya jika tak hujan atau gerimis ia akan berbincang denganku. Menunggu penumpang terakhir turun atau sekadar menemaniku sambil mengobrol.
Sama sepertiku, sama-sama menunggu penumpang kereta terakhir. Jika ia menunggu penumpang kereta terakhir turun untuk memeriksa karcis, aku menunggu penumpang kereta terakhir untuk daganganku. Barangkali sebelum memutuskan melangkahkan kaki menuju rumah masing-masing mereka ingin mengemil kacang. Membeli dagangan yang kugelar setelah zuhur tadi.

Kutunggu kereta terakhir datang. Jika tidak terlambat kereta akan sampai stasiun tempatku berjualan pukul sebelas malam. Menunggu hingga tengah malam datang menjemput.

Kamis, 01 Januari 2009