Kamis, 18 Desember 2008

Kini Aku Mengerti

Kini aku mengerti..
Mengapa sendiri lebih menyenangkan
Meski terkadang menunggumu juga melelahkan

Kini aku mengerti..
Mengapa tiap kali kita berbicara tidak pernah ketemu
Karena ternyata kita menyebut diri aku dan kamu

Kini aku mengerti ..
Kenapa menangis menyenangkan
Karena aku tidak selalu bisa mengerti tentangmu

Biarlah mimpi ada di depan mata
Dan aku kejar entah sampai sejauh apa..

Senin, 17 November 2008

Di Suatu Hari nan Indah

Tak ada yang istimewa pada pertemuan kali itu. Hanya senyum simpul dan tatapan redup yang sebentar tertunduk dan sebentar tenggelam dalam diam. Lelaki itu datang pada awal tahun tepat saat aku mengharapkan kedatangannya.
Yang kuingat dari hari itu adalah matanya yang bulat seperti bulan tenggelam dalam air kali di samping rumahku.

11 September.. entah di tahun ke berapa kita pergi mendaki bukit yang tak terjal amat. Ada beberapa kawan yang menyertai pertemuan kita. Berhenti pada bebatuan bukit dan berbicara di sana.

“Tentu engkau tak keberatan aku ajak bicara di sini,” ucapmu.

Lalu kita memulai dengan berbicara antara aku dan kamu.

Kadang diam-diam kupandangi wajahmu. Dan jantungku hampir berhenti saat aku kau pergoki telah mencuri pandang.

Tak lain karena aku tak memiliki keberanian menatap tajamnya matamu. Engkau tak akan melepaskannya.


“Biarkan aku mencari keyakinanku Nggi. Aku tak yakin kau mampu meyakinkanku”
Perjalanan telah lama aku tempuh. Namun berkali-kali kandas.

“Mengapa tak kau lanjutkan kejaran cintamu dengan perempuan yang kau idamkan.”

Kemudian aku diam. Memberi jeda. Tak lama kau merespons apa yang aku katakan.

“Aku telah mengenalmu lama. Meski tak pernah berhasil menemukan wajahmu, aku telah tahu sinar dan kedalaman hatimu. Percayalah. Aku bisa kau percaya untuk meyakinkanmu.
Dan benar. Aku menemukanmu persis seperti yang aku bayangkan dan kutemui dalam mimpiku.”

Angin sore berembus tipis. Kulihat kabut mulai beranjak merapat menuju kaki bukit.

Dan kita turuni jenjang bukit menuju pos terakhir rombongan kita. Meski pertemuan bukanlah awal, dan perpisahan bukanlah yang terakhir. Aku menghendaki perpisahan. Karena pada saat itulah harapan tumbuh untuk bertemu denganmu di suatu hari nan indah.

Dirimu, Diriku

Diam-diam aku menyimpan rindu. Pada hijaunya sawah dan perawannya jalan yang sering kulewati. Bersama ketiga sahabatku,,dengan ribuan semangat bersaudara.
Canda tawa tak pernah lepas. Sedih pun luruh jika bersama mereka.
Tidak jarang bahkan, kami bolos kuliah hanya untuk bertandang ke kos teman yang lain. Tapi yang lain boleh iri jika kita selalu membuat takjub teman sekelas karena presentasi mata kuliah. Tentu bersama mereka.

Sore ini kangen terhadap mereka berkelindan tak menentu. Membicarakan hal yang ringan bersama mereka menjadi serius dan berat.
Kami telah berpisah terhitung sepuluh tahun. Dan barangkali Shinta telah menyekolahkan anak pertamanya ke Sekolah Dasar. Dan Lia, tentulah anaknya akan masuk sebuah Taman Kanak-kanak. Aat, sahabatku yang hitam manis itu. Ia sangat perfeksionis untuk seorang laki-laki. Tak sembarang memilih orang menjadi teman hidupnya. Aku sendiri heran dibuatnya. Yang dipilihnya memang sederhana seperti yang ada dalam pikiranku..cerdas, baik, dan pengertian. Tak perlu ganteng, hanya cakap dan berkepribadian tentunya.
Sulit memang. Tak semudah teorinya Eric Fromm atau Lutfi,,ternyata sampai usia kepala tiga lebih pun kami sulit menemukannya.

Beberapa sore ini aku sering menghabiskan waktuku di beranda. Membacai kata-kata yang pernah kugoreskan pada berlembar-lembar kertas. Tersenyum dan kadang lebih banyak mengernyitkan dahi.
Dan kenangan tak tinggal diam dalam sebuah kertas. Ia mengajakku berkelana mengunjungi masa lalu yang telah beranjak.
Tentulah aku takkan menjadi perempuan yang menyedihkan begini jika aku menjalani hidup biasa-biasa saja.
Pekerjaan lebih banyak menyita waktuku dari pada kesenangan-kesenangan lainnya.
Tak sempat olehku memikirkan laki-laki dengan serius. Hati dan otak ini lebih banyak menilai dan membaca yang dekat denganku.
Betapa hidup telah kubuat seserius ini.
Teman-teman dengan anak-anak dalam pangkuannya sering menanyaiku soal yang mereka anggap keanehan itu.
“laki-laki seperti apa lagi yang hendak engkau terima Tia”.

Jika sudah begitu aku akan susah menjelaskan apa yang jadi kehendakku. Dan tak mungkin aku jelaskan panjang lebar mengenai pilihan-pilihanku. Karena pertanyaan itu tidak untuk mengetahui jawaban beserta penjelasannya. Yang dibutuhkan hanyalah aku mengikuti jejak mereka. Menikah yang penting berjenis kelamin laki-laki,ah...

Sungguh pedih. Hingga akhirnya harus mempertahankan ikatan pernikahan dengan sekam yang membara di dalamnya.

Selanjutnya tak kulanjutkan lagi membacai surat-surat lama yang tertimbun tumpukan buku tahunan lalu. Hanya membutuhkan komputer untuk menghilangkan penat dan rasa rindu pada sahabat-sahabatku itu.

Benar memang. Terasa hidup demikian sunyi tanpa sahabat yang dengan setia dan rela menghabiskan waktunya bersamaku.
Datanglah ingatanku pada laki-laki gondrong ceking dengan dandanan tak pernah necis.
Ketidaksengajaanlah pertemuan itu sebenarnya.

Memang awalnya datang dari satu mulut ke mulut lain. Hingga perjodohan sesama kawan dimulai.

Kemudian datanglah ia mencegatku untuk berbicara lebih banyak dan dekat. Tepatnya di sebuah pertemuan perwakilan mahasiswa se-nusantara.

“Bolehkah aku mengundangmu untuk ngobrol malam ini di depan pendopo,” ia memulai.

Dan tak bisa kutolak karena aku memang tak bisa mengatakan tidak untuk hal baik. Dan ku iyakan saja ajakan itu.

“Sebanyak ini kau ajak kawan-kawanmu sekadar menemuiku”

“Iya. Mereka tak percaya padaku bahwa aku juga sanggup berkenalan dengan seorang perempuan. Sepertimu.”

Mulailah perbincangan yang dibuka dengan perkenalan. Dan diskusi tak bisa dihindarkan lagi. Karena kami sama-sama memiliki kebiasaan, kesukaan, dan semangat yang sama. Hingga kami tak merasai bahwa pagi telah mengirim embun dan angin dingin.

Setelah perbincangan di tengah malam laki-laki gondrong itu seperti telah mengiisap shabu. Ketagihan dan ketagihan. Dan di malam-malam seterusnya kami berdiskusi hingga mata tak mampu membelalak lagi.
Di hari lainnya kami menghabiskan waktu tidak di dalam Simposium tapi di beberapa narasumber. Kami keranjingan untuk menemui dan mewancarai. Hanya diperlukan kesabaran untuk mendengarkan cerita, kisah kebesaran yang telah lalu. Dan kami berdua dengan satu kawannya kembali menuju wisma tempat kami bertemu awalnya.

Ah,,betapa aku telah merasa mengenalnya lebih setelah jabatan tangan kala itu.

Entah berapa kilo jalan yang telah kita susuri. Dan entah berapa ribu kata yang telah kita untai dan rangkai bersama. Bertemu denganmu seperti tak habis topik pembicaraan. Tak pernah bosan mendengar dan mengucap. Itulah yang kurasakan selama dekat denganmu.
Selalu kutemukan semangat baru dan kudapat energi baru....dan akhirnya tak ada lagi kata pencarian. Yang ada adalah membangun dan mengerti,,,

Gerimis di Tepi Jendela

Aku menunggu pada tepi jendela yang sedikit terbuka. Gerimis pun tak kunjung reda meski telah mencurah berjam-jam lamanya. Lampu-lampu telah kunyalakan. Dan semua pintu telah aku tutup. Aku masih berdiri pada tepian jendela yang tak sepenuhnya aku buka. Aku khawatir pada petir yang terus menyambar.

“Semoga engkau baik-baik saja di mana pun berada”.

Seperti permintaan atau lebih tepatnya doa, aku memandangi pintu gerbang halaman dengan tak henti-hentinya mulutku berkomat-komit. Berharap pintu itu segera kau buka dan aku akan merasa lega.

Namun harapan itu kembali kosong. Sedang petang terus meredup. Awan ikut mewarnai gelap. Jam dinding berdentang enam kali. Aku keluar dari kamar menuju teras rumah. Biasanya engkau akan bahagia jika aku yang membukakan pintu.
Kutunggui beberapa menit dengan memperhatikan jatuhnya air pada pucuk-pucuk bunga.

Akhirnya aku menyerah pada dingin dan kembali kututup daun pintu menuju sofa.

Gemericik air mengantarkanku pada lamunan. Karena sendiri, aku lebih banyak berpikir jika tidak dikatakan melamun. Pikiran beranjak mundur. Dan perasaan bersalah mengaliri darah di seluruh tubuhku.

Bersalah telah mendiamkanmu karena rasa kesal yang tak bisa kutahan. Dan saat engkau pergi bekerja seperti sedianya.

Pertengkaran kecil itu membuatku tak nyaman. Meskipun engkau akan tetap memperlakukanku dengan baik. Seolah-olah tak terjadi apa-apa engkau akan mengawali pembicaraan dengan menceritakan aktivitasmu selama seharian penuh.

Mungkin itu kelebihanmu, pikirku. Bisa melupakan pertengkaran dengan segera.
Berbeda degan aku yang lebih sering memendam dan menyimpannya. Menunggu waktu yang tepat untuk segera mengatakannya. Tak jarang keluar protes dan marah.

Seperti kali ini. Karena seminggu ini Engkau tak pernah bertanya bagaimana kabarku.

“Pekerjaanmu lebih bisa menuntutmu ketimbang sekadar bertanya bagaimana keadaan istrimu. Dan tentu kau akan memilih kesenanganmu akan pekerjaan-pekerjaan itu.”

Tak kau jawab apa yang telah aku katakan. Dan kau kembali dengan muka masam.

“ Bukankah aku yang seharusnya marah dan bermuka masam,” tambahku. Kau masih juga tak menghiraukan.

Kali ini aku tak bisa merendahkan suaraku. Apa pun namanya, aku lebih tidak suka Engkau diam seribu kata.

“Baiklah, besok aku akan pergi mengunjungi seorang kawan. Akan kutinggalkan pekerjaanku untuk sementara waktu.”

Tak perlu menunggu lama. Sudah kupastikan kau akan mengatakan atau melakukan sesuatu.

“Pergi saja. Senangkan dirimu jika kau merasa tersiksa berada di rumah ini” katamu dingin.

Serta merta aku menuju kamar. Mengemasi kopor dan buku yang hendak aku bawa.

Kali ini aku benar-benar tak perlu merasa bersalah jika harus pergi.

Jendela ini menjadi saksi tiap datang sedihku. Dan aku akan berada di tepiannya membuang pandangan ke luar.

Pertemuan kita berakhir dengan rasa sakit yang kutanggung. Entah berapa lama.

Tapi selalu ada maaf, entah berapa banyak yang aku miliki. Hingga kita lupa pada pertengkaran lusa, dan lusa.

Medio Desember

Rabu, 22 Oktober 2008


POPPY DHARSONO:

BERPOLITIK KARENA PANGGILAN HATI

SETELAH mengenyam asam-garam dunia desain dan fashion yang telah membesarkan namanya, saat ini Poppy Dharsono mulai memasuiki dunia politik. Perempuan ayu usia baya yang awet muda ini tidak tanggung-tanggung memasuki panggung politik.

Salah satu pemrakarsa Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) ini sebelumnya ikut pencalonan pilkada kepala daerah Jawa Tengah melalui partai, meski akhirnya gagal di tingkat Komisi Pemilihan Umum. Tahun depan Poppy berencana mengikuti hajatan politik mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Daerah Jawa Tengah.

Apa yang melatarbelakangi Poppy terjun ke dunia politik? Seberapa jauh kesiapannya? Berikut wawancara Kustiah dengan perempuan kelahiran Garut, 57 tahun lalu ini di sela-sela acara pembukaan sebuah galeri di Jakarta Selatan beberapa pekan lalu.

1. Apa yang membuat Anda tertarik terjun ke dunia politik?

Mungkin lebih karena panggilan hati. Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang serius untuk membesarkan bangsanya. Memang political will dari pemerintah sudah ada, hanya saja masih ada hambatan. Soal skill dan sumber daya manusia. Di negara kita ini banyak politisi, tapi jarang yang benar-benar berbuat konkret untuk masyarakat. Semua mengatasnamakan rakyat, tapi ujung-ujungnya lebih mementingkan kepentingan pribadi.

Saya berniat membantu masyarakat lemah. Selain dengan perbuatan nyata, ada kebijakan yang lebih memihak kehidupan mereka. Khususnya pemberdayaan orang-orang lemah, membantu orang-orang yang secara ekonomi dan sosial belum terbantu. Misalkan saja usaha industri kecil. Saat ini belum banyak yang mengelola.

2. Apakah untuk tujuan itu harus melalui dunia politik?

Saya ingin memberikan sumbangsih bagi bangsa ini. Membantu secara langsung. Sebenarnya apa yang saya lakukan saat ini adalah melanjutkan apa yang sudah saya lakukan kemarin-kemarin. Mendirikan usaha kecil untuk masyarakat yang memiliki skill dan (merupakan) sumber daya masyarakat yang bagus tapi, tidak ada yang mewadahinya. Mengembangkan usaha-usaha kecil. Kebetulan saya kan terlibat di Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia yang sudah melakukan pendampingan terhadap usaha-usaha industri kecil. Ada 150 orang anggota lebih yang melanjutkan program ini. Dan sudah berjalan dengan baik.

3. Bagaimana respons keluarga dan teman-teman Anda saat mengetahui Anda terjun ke politik?

Mereka sangat mendukung. Salah satunya membantu mempersiapkan buku dan peluncurannya. Sharing tentang bagaimana usaha-usaha kecil bisa berkembang dan membantu mengerjakannya. Mereka sangat men-support.

4. Persiapan apa saja yang sudah Anda lakukan untuk rencana pencalonan Anda di DPD tahun depan?

Yang pertama fokus dengan buku. Saya ingin mendokumentasikan perjalanan 30 tahun berkarya sebagai desainer. Buku saya lebih banyak bercerita tentang sejarah kain-kain Nusantara. Kain yang kita olah ternyata masih up to date dengan fashion-fashion yang sedang ngetren saat ini. Tiga Desember nanti akan di-launch.

Selain tetap mempersiapkan kampanye. Satu tahun mengurusi persiapan pilkada yang gagal tahun lalu cukup membuat saya terbantu. Meski gagal, saya masih bisa melanjutkan network yang saat itu sudah saya bangun, konstituen-konstituen juga masih intens. Kami sudah mempersiapkan semuanya.

5. Berapa banyak dana yang Anda gunakan untuk pendaftaran calon kepala daerah tahun lalu dan persiapan pencalonan DPD tahun depan?

Untuk pencalonan pilkada tahun lalu saya habis banyak. Cost politic memang tidak sedikit. Kurang lebih saya habis satu miliar. Ini untuk cost politic lho, bukan money politic. Tidak ada pelican-pelicin. Yang begitu-begitu lebih baik saya tidak usah aja deh. Ya namanya juga berpolitik. Kalau untuk pencalonan DPD ini saya baru habis 400 juta (Rupiah). Untuk ongkos pergi ke daerah bersama teman-teman. Saya kan perginya tidak sendiri. Ada teman-teman pendukung yang menemani.

6. Apa penyebab Anda gagal di pilkada Jawa Tengah tahun lalu?

Wah, saya sebenarnya ingin cerita. Tapi of the record aja ya …. Biasa, politik itu kan selalu identik dengan biaya mahal. Nah, ini yang membuat saya lebih baik tidak melanjutkan saja. Kalau untuk kebutuhan konkret membantu masyarakat mungkin saya masih toleransi, ini sudah lain ceritanya. Kalau secara kualifikasi saya tidak ada masalah. Ya karena faktor lainnya itu, yang bagi saya bermasalah.

7. Apa saja aktivitas Anda selain bergiat di dunia politik?

Masih seputar persiapan peluncuran buku Redifining Heritage. Ada rencana buku ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia agar mudah diakses. Judul dalam bahasa Indonesia “Memakna Ulang Pusaka Budaya”. Saat ini saya kan banyak waktu. Kalau dulu bekerja perlu waktu panjang, sekarang sudah tidak lagi. Apalagi waktu yang saya habiskan tidak sedikit, 30 tahun. Masak (saya) masih tetap membutuhkan waktu 12 jam untuk bekerja.

Dunia desain bagi saya adalah profesi karena hobi. Saat ini saya melakukannya di waktu-waktu sela. Kan tidak perlu waktu lama. Kalau ada waktu 12 jam saya hanya membutuhkan waktu enam jam untuk menyelesaikannya. Kalau teman-teman selesai bekerja waktunya digunakan untuk bermain golf, saya menggunakannya untuk bekerja. Sekarang kebalikannya.

8. Program apa saja yang sudah Anda siapkan jika Anda terpilih di DPD nanti?

Mengembangkan industri kecil. Pasca-gempa di Yogyakarta dan Klaten beberapa tahun lalu membuat industri kecil kain pertenunan di Klaten terpuruk. Saya sudah memulainya dengan membantu industri usaha ini agar bisa bergerak kembali. Yang kedua, saya ingin menerapkan program Grameen Bank. Di Indonesia program ini sangat dibutuhkan.

Saya sudah memulai di Jawa Barat yang teman-teman namakan “Kawan Cempaka”. Yang kami bantu kebanyakan perempuan semua. Di Subang hampir 2.000 perempuan yang sudah menerima pinjaman model Grameen Bank ini. Membantu orang kan tidak melihat daerah. Meski saya pencalonanya nanti di Jawa Tengah, saya melihat di daerah Subang banyak sekali masyarakat yang membutuhkan. Rencananya nanti akan diperluas. Industri usaha kecil di Klaten kan sudah mulai bergerak. Tinggal nanti kita lihat daerah lainnya lagi yang membutuhkan bantuan. Sebenarnya di Indonesia banyak banget SDM yang sudah memiliki skill bagus. Hanya pemberdayaannya saja yang belum maksimal.

9. Pendapat Anda tentang keterlibatan perempuan dalam dunia politik dewasa ini?

Penting sekali. Nasib sebuah bangsa tidak akan baik jika mengabaikan kaum perempuan. Saat ini banyak kok perempuan Indonesia yang memiliki skill bagus. Tingkat pemahaman dan pendidikan terhadap politik juga tak kalah dengan laki-laki. Kalau ada kesempatan kenapa tidak diambil. Perempuan di Indonesia jika diberdayakan dan diberi kesempatan yang sama seperti laki-laki, (maka) saya yakin persoalan bangsa tidak akan (jadi) sepelik ini.

Kita perlu dukung kemauan dan upaya pemerintah untuk bangkit dari keterpurukan. Caranya, pendidikan politik terhadap kaum perempuan harus digalakkan. Pengelolaan usaha industri kecil ditingkatkan. Umpamanya begini, kalau ingin membuat hancur sebuah bangsa caranya gampang, timpangkan saja kaum perempuannya. Artinya, betapa pentingnya keterlibatan perempuan. Bangsa ini tidak akan pernah berhenti ditimpa masalah dan krisis jika para perempuannya tidak ikut terlibat menyelesaikannya.

Nama: Poppy Dharsono

Tempat/Tanggal Lahir: Garut, 8 Juli, 1951

Pendidikan: Akademi Sinematografi, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) Ecole Superieur de la Mode (ESMOD), Guarre-Lavigne, Paris, Prancis.

Karier: Designer Poppy Dharsono Studio (1977). Direktur dan Pemilik of Poppy Dharsono Fashion Studio (1977 - sekarang). Komisaris PT Panin Nusamas (1980 - Sekarang). Presiden Komisaris PT Rana Sankara (1986 - sekarang). Presiden Direktur PT Poppy Dharsono Cosmetics (1989 - sekarang). Presiden Komisaris PT Prima Garis Moda (1998 - sekarang). Presiden Komisaris PT Indotex LaSalle International College (1999 - sekarang). Presiden Komisaris Indonesia International Fashion Institute (2004 - sekarang).

Organisasi: Vice President Indonesian Apparel Manufacturers Association (1987 - 1991) Chairperson of the Compartement of Small Scale Businessman and Industry,
The Indonesia Chamber of Commerce and Industry (1988 - 1998). Anggota Dewan Pertimbangan - Federation of Citizen Entrepreneurs of Indonesia (1988 - 1955). Ketua - Indonesia House Foundation (1990 - sekarang). Ketua - Society of International Development (SID) (1990 - sekarang). Ketua - Asosiasi Fashion Desainer Indonesia (1993 - sekarang). Chairperson of the Indonesian Garments & Accessories Suppliers Association (1995 - sekarang). Koordinator Tourism and Trade Development, Indonesia Chamber of Commerce and Industry US Committee (1995 - sekarang). Vice Presiden The Indonesian Chamber of Commerce & Industry, Coordinating Social Welfare Affairs (1998 - sekarang).

Penghargaan: Penghargaan oleh Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran Guru Kejuruan. Penghargaan oleh Lembaga Kerja sama Ekonomi Sosial & Budaya Indonesia-China untuk kontrisbusinya. Penghargaan oleh Surabaya Stock Exchange atas kontribusinya sebagai pembicara di ‘Stock Market & Venture’ Seminar. Adikarya Wisata penghargaan oleh Departement Pariwisata, Jakarta atas dedikasinya sebagai fashion desainer. Penghargaan oleh Metropolitan Mal Bekasi Management atas kontribusinya dalam Eksebisi Industri Kecil. Penghargaan oleh DPP Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia atas kontribusinya dan dedikasinya sebagai entrepreneur. Penghargaan oleh KADIN atas kontribusi dan komitmen-nya dalam bisnis. (dimuat di Jurnas/Jumat,17 Oktober 2008)

Senin, 15 September 2008



Sawah

*Oleh: Kustiah

Sawah mengingatkanku pada masa kecil dan remaja. Kebahagiaan saat mengantar makanan untuk bapak. Bermain layang-layang. Dan mencari belut kala sore.
Telah lama aku tak merasakan bau tanah sawah saat diguyur hujan. Bau segar khas alam perdesaan. Hamparan hijau padi dan beningnya bulir-bulir embun di atas daunnya. Aku begitu menikmati masa kecil dan remajaku yang menyenangkan. Sayang, perjalananku menjadi petani kecil hanya sampai kelas tiga sekolah menengah pertama.

***
Waktu itu umurku delapan tahun. Dan baru saja ibuku memberiku seorang adik perempuan mungil. Menjadi anak pertama laki-laki tentulah aku yang menjadi andalan bagi kedua orang tuaku. Maka, tak jarang aku yang menyelesaikan pekerjaan rumah jika ibuku meminta.

Masa kecilku meninggalkan kenangan indah. Yag mungkin tak dirasakan anak-anak jaman sekarang. Menaiki kerbau milik bapak sudah hampir menjadi kebiasaan rutin saat ikut bapak ngluku. Dan aku bangga melakukannya. Apalagi ada bapak yang menjagaiku dari belakang. Jadi aku tak perlu takut jatuh atau terbawa lari oleh kerbau.

Sebenarnya aku tak akan diizinkan bapakku menaiki punggung kerbau. Selain bahaya, pekerjaan bapakku akan terganggu. Tapi aku tak kurang akal. Melihatku membawa rantang dari rumah dan mendengar rengekanku, bapak tak tega.

Pekerjaan wajibku sepulang dari sekolah memang mengantarkan makanan untuk bapak di sawah. Karena tak ada orang lain lagi yang disuruh mengantarkannya. Apalagi bapak orang rajin. Jika pekerjaannya belum selesai, tak akan ditinggal meski perut keroncongan. Walhasil, ibu memintaku mengirim nasi setiap kali bapak bekerja di sawah..

***
Anakku hanya mendengar cerita saja tentang masa kecilku yang bahagia. Mereka sesekali menanyakan bagaimana rasanya berada di punggung kerbau atau apakah kerbaunya masih hidup?

Maklum, kami tinggal di kota. Di perumahan yang berjubel. Hampir tak ada lahan persawahan atau bunyi suara kerbau di lingkungan rumah kami. Tentulah anak-anakku penasaran. Dan mereka bisa merasakan apa yang aku rasakan waktu kecil hanya saat berlibur ke rumah kakek neneknya di kampung.

**
Aku meninggalkan kampung halaman saat hendak memasuki kelas satu sekolah menengah atas. Bapak mengirimku ke sebuah pondok pesantren untuk sekolah dan belajar mengaji. Meski bukan keluarga santri, keluargaku dibesarkan dari orang-orang yang paham agama. Maka ketika anak-anakya telah lulus SMP, segera mereka mengirimnya ke sebuah pondok pesantren.

Ratusan kilo dari rumah, membuatku tak mungkin sering pulang dan bermain di sawah bersama bapak. Apalagi kegiatan sekolahku berjubel. Setelah pulang sekolah-kami menyebutnya sekolah umum—aku harus mengikuti sekolah mengaji. Kalau pun ada libur aku pulang sehari atau dua hari saja, selebihnya hari liburku aku gunakan untuk menyelesaikan hafalan mengaji. Begitu seterusnya hingga tiga tahun.

Lulus SMA aku melampiaskan waktu liburanku di rumah dan membantu bapak di sawah. Meski hanya sebentar-karena harus mempersiapkan kuliah—aku benar-benar tak ingin kehilangan kenanganku. Aku pergi ke sawah menyusul bapak. Sekarang bapak tidak dengan kerbaunya, melainkan dengan mesin traktor. Saat kutanya kemana kerbaunya, bapak menjawab, ” Kerbau bapak jual saat kamu berangkat ke pesantren. Karena tak lagi ada yang mengambilkan rumput dan merawatnya.”

Kami memiliki dua kerbau. Setiap sore aku mengambilkan rumput buat mereka. Tentu bapak akan kewalahan jika harus juga mengurusi kerbau. Untuk ngluku bapak menggantinya dengan tenaga traktor. Yang menurut bapak tak perlu repot mengurusnya.

Meski sebenarnya bapak menyesal telah menjual kerbau itu. Pasalnya, pakai traktor bapak harus merogoh kantong lebih dalam untuk biaya solar dan onderdil jika ada yang rusak.

”Praktis sih praktis, uangnya itu loh yang nggak praktis,” kata bapak. ”Coba kalau kerbaunya tidak bapak jual, mungkin bapak sudah memiliki banyak tabungan,” kata bapak terkekeh.

Wajar jika bapak berkata demikian. Selesai SMA bapak masih ingin melanjutkanku ke jenjang lebih tinggi. ”Meski bapak tidak kaya, kamu tetap harus sekolah,” kata bapak saat itu. Dan berangkatlah aku ke Jakarta setelah seminggu berada di rumah. Di Jakarta aku numpang pada pamanku, adik bapak yang sedang dinas di kejaksaan Jakarta. Karena menumpang, aku tidak ingin merepotkan dan mengecewakan mereka. Setiap pagi sebelum berangkat kuliah, aku membersihkan rumah terlebih dahulu meski tanpa diminta. Aku merasa sudah beruntung bisa ikut tinggal di rumah sewaan itu.

Sering merasa tidak enak dengan istri paman, aku meminta izin untuk pindah ke asrama mahasiswa. Tentu alasanku bukan karena tidak betah, tapi karena kuliah semakin padat dan aku banyak tugas. Dan pamanku mengizinkan.


Setiap bulan aku tidak pernah absen menerima kiriman dari bapak di kampung. Meski tidak banyak, uang itu cukup untuk makan dan fotokopi. Bapak memang seorang petani ulet. Hampir seluruh waktunya hanya untuk sawah. Tidak ada acara ngopi sembari ngobrol di warung seperti orang-orang di kampung kebanyakan. Sepulang dari sawah bapak langsung menuju surau depan rumah kami. Setelah itu istirahat siang. Dan sore harinya pekerjaan di sawah masih menunggu. Juga tidak heran jika tengah malam tiba, bapak tak ada di rumah. Sumur di sawah perlu pengawasan saat pengairan. Jadi kami sudah terbiasa mendengar bapak terbangun dan siap-siap pergi ke sawah.

Itulah sebabnya mengapa aku begitu bangga memiliki seorang bapak yang tak kenal lelah. Bahkan sekali pun aku tak pernah mendengar bapak mengeluh.

Hidup kami sangat sederhana. Meski sebenarnya kami juga tidak kekurangan. Bapak sebenarnya mampu membeli motor baru. Membeli televisi besar dan mengeramik lantai rumah kami seperti tetangga-tetangga lainnya.Tapi semua itu tidak bapak lakukan.

Di rumah kami hanya ada motor butut yang dibeli saat aku berumur sembilan tahun dan televisi hitam putih empat belas inci.Motor butut itu bapak beli untuk keperluan ibu. Seminggu sekali ibu harus belanja ke kota untuk mengisi warung kecil di depan rumah kami. Dan satu-satunya hiburan dan barang istimewa setelah motor butut adalah kotak hitam itu.

Rumah kami juga tidak mewah. Dindingnya dari papan jati dengan lantai bata merah yang diplester. Sewaktu aku kecil, lantai rumah kami sering di penuhi padi atau tumpukan kacang tanah. Jika musim panen padi atau kacang tanah, siang hari sepulang sekolah biasanya ibu memintaku menjemur padi di halaman.

Keluarga kami memang jauh dari mewah. Tapi semangat bapak agar anak-anaknya mengenyam bangku sekolah lebih tinggi dibandingkan siapa pun. Di kampung kami, bisa lulus sekolah menengah atas itu sudah kebanggaan. Bukan apa-apa, kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anak masih rendah.
”Sekolah tinggi-tinggi, toh nanti juga nganggur. Buat apa menghabiskan uang,” kata Lek Sukir tetangga kami. Teman-teman seangkatanku lebih memilih merantau ke Jakarta untuk menjadi buruh bangunan karena tidak bisa melanjutkan sekolah. Sebagian lagi memilih tetap tinggal di kampung membantu bapak ibunya bertani. Bukan berarti ongkos yang dikeluarkan untuk biaya hidup lebih kecil. Mereka –anak-anak-itu harus dibelikan motor sebagai ganti agar mereka mau tetap tinggal.

Tidak jarang, sawah yang menjadi ladang hidup mereka harus dikorbankan untuk ditukarkan dengan motor. Yang lainnya lagi, siang malam bekerja di sawah. Setelah panen mereka harus setor ke perkreditan motor.

Sekali lagi aku bersyukur memiliki bapak yang cara berpikirnya lebih maju dari siapa pun. Selain tak mau bermewah-mewah, bapak lebih memilih memiliki tabungan untuk anak-anaknya sekolah dibanding memiliki barang yang sebenarnya tak membantu banyak itu. Perjuangan bapak benar-benar tidak sedikit. Sampai saatnya aku selesai kuliah.

Gelar sarjanaku berasal dari hasil keringat bapakku berpanas-panasan di sawah. Bapakku tak sedikit pun takut menjadi petani, karena dianggap miskin. Toh aku lulus kuliah juga.
Bahkan dari hasil tani itu, saat ini aku bisa bekerja sebagai dosen di salah satu universitas di kota. Jika saat kuliah empat bulan sekali aku dikirimi uang, sekarang giliranku mengirimi uang untuk bapak dan ibu di kampung. Selama aku kuliah tak satu pun sawah terjual. Bahkan bapak bisa menyisihkan tabungan dari hasil panen.

Maka, sebenarnya tak ada pekerjaan yang lebih indah selain menjadi petani di kampung. Memiliki sawah yang membentang hijau, kandang yang diisi sapi untuk ngluku, dan anak-anakku menaiki punggung sapi dengan tawa ceria.

Aku mengusulkan itu pada istriku untuk kembali ke kampung. Merawat anak-anak, mengajar dan bertani. Apalagi istriku yang juga seorang pengajar, tentulah ia bisa mengabdikan hidupnya untuk masyarakat kampung.


Jakarta 14 September

Minggu, 14 September 2008

Lebaran



*Oleh: Kustiah



Beberapa hari ini mata kananku sedikit berair dan kedutan. Menurut emak, kedutan di mata kanan tandanya akan bertemu kekasih atau orang yang kita sayangi. “Jika mata sebelah kanan kedutan, janganlah kamu terlalu khawatir. Karena itu pertanda baik,” kata Emak sewaktu masih hidup. “Khawatirlah jika yang kedutan itu mata kirimu. Segeralah ambil air wudhu dan berdoa agar peristiwa buruk tak terjadi. Hanya doa yang bisa menggagalkanya. Karena, jika yang kedutan mata sebelah kiri, itu pertanda akan ada bahaya datang. Pertanda kamu akan menangis,” lanjut Emak suatu kali.



Emak memang mahir dalam urusan mengartikan pertanda. Entah itu benar atau tidak kami tidak pernah mempermasalahkannya. Dan kami sebagai anak-anaknya selalu percaya. Di kemudian hari kami mengatakan yang sama kepada anak-anak kami. Meski kami dan anak kami berbeda cara pandang. Kalau dulu, saat Emak mengartikan pertanda dan mengatakannya kepada kami, kami percaya dan membenarkan dengan menghubung-hubungkan peristiwa yang telah ataupun yang akan terjadi. Sedangkan saat ini sungguh jauh berbedaa. Saat aku mencoba mengatakan hal yang sama kepada anak-anakku seperti yang Emak katakan kepada anak-anaknya, mereka segera berkata, “Ibu kuno, hari gini masih percaya mitos. Bisa jadi mata kedutan akibat kelilipan atau lelah. Ah, ibu mah percaya saja apa yang dikatakan orang jaman dulu” kata anak-anakku. Setelah itu, hanya sampai generasi kami saja yang percaya pada arti pertanda-pertanda itu. Sedang anak-anak kami tidak.



Begitupun dengan suara tokek yang sepanjang siang mengganggu istirahatku. Maka, Lastri yang akan mencari sapu ijuk bergagang panjang yang biasa digunakan membersihkan sawang untuk mengusir tokek itu. Kembali aku ingat kata Emak. Jika tokek bersuara di penuwun rumah pada siang hari, itu tandanya akan datang tamu agung. Aku mencoba mengingat-ingat, adakah seseorang yang aku tunggu hingga mata kananku terus bergerak-gerak. Atau siapakah gerangan tamu agung yang hendak berkunjung ke rumah nenek tua ini.



Tidak sia-sia Emak mewariskan ilmu menafsirkan tanda. Yang membuatku selalu merasa optimistis dan bertawakal. Ternyata, pun pertanda itu benar atau tidak, ia telah mengalirkan pengharapan pada tubuh tua ini.

Aku kemudian ingat anak-anak dan cucu-cucuku. Sebentar lagi lebaran datang. Pastilah yang akan datang dan menjadi tamu agung itu mereka. Setelah bulan puasa yang kutunggu-tunggu telah tiba, sekarang giliran hari lebaran yang kuharapkan segera datang.

Manusiwi bukan, jika hari yang ditunggu telah datang maka hari lain yang ditunggu lagi. Meskipun aku tahu, sebenarnya tidak ditunggu pun hari itu akan datang juga. Bukankah waktu terus merambat, merayap, dan mendekat.



Tapi entah kenapa aku begitu antusias menunggu lebaran datang. Kamar-kamar mulai aku bersihkan. Bunga-bunga aku sirami dan aku ganti potnya dengan yang baru. Dan seluruh dinding telah aku cat dengan warna bagus dan terang. Tak lupa, aku minta Lastri membantuku membuat kue kesukaan anak-anak dan cucu-cucuku. Ayam kampung peliharaanku juga telah aku siapkan. Mereka paling suka, jika pulang tersedia ayam kampung untuk dipanggang. Karena saya tahu, di tempat tinggalnya di kota sana tentu ayam kampung sulit dicari. Kalau pun ada, pasti jarang.



Selalu demikian tiap tahun menjelang lebaran. Aku menyambutnya dengan penuh sukacita sebagai seorang ibu, mertua,dan nenek bagi anak, mantu, dan cucu-cucuku. Aku ingin mereka tetap perpandangan baik terhadapku. Berusaha sebisa mungkin membuat mereka betah dan kerasan. Meski saat mereka datang, aku juga menyimpan sedih, karena itu artinya mereka juga akan secepat mungkin pergi. Jika begitu, aku harus ingat bahwa kebahagiaan tiada yang kekal. Apa yang aku tunggu-tunggu membuat perpisahan semakin mendekat.



Mungkinkah anak-anak dan cucu-cucuku berpikiran sama sepertiku. Menunggu waktu itu dan menganggapnya istimewa seperti yang aku rasakan. Dalam hati aku mengiyakan, “Pastilah mereka juga sama denganku. Menunggu hari lebaran datang. Bertemu neneknya dan bermain di halamn rumah kampung nan luas. Yang tentu tak dimiliki anak-anakku yang berumah di kota dengan halaman dan taman yang tak cukup buat berlarian hingga berkeringat.”. Juga bukan karena alasan hari-hari berpuasa akan segera usai, aku menggu lebaran datang. Aku mengharapkannya karena pada hari lebaranlah anak-anak beserta cucu-cucuku datang menjengukku. Menghangatkan rumah yang selama setahun sepi. Tak ada jeritan anak kecil atau derai tawa anak-anakku yang saling ejek.



Sejak berumah tangga, hanya setahun sekali saja mereka datang menjengukku. Karena selain jaraknya yang tidak dekat, ongkosnya banyak, biasanya alasan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.

Dan aku maklumi itu. Toh, sebagai orang tua aku tidak boleh manja dan menyusahkan anak-anakku. Bukankan lebih dari cukup mereka memperhatikanku. Setiap setahun sekali mereka menyisihkan waktu menjengukku. Dan setiap bulannya selalu mengirimiku uang atau paket tanpa aku minta. Mungkin sebagai penebus karena mereka tak bisa mendampingiku di saat usiaku telah senja. Atau itulah bentuk bakti anak-anakku yang semasa kecil kubesarkan, dan saat telah besar mereka ingin mencurahkan kasih sayangnya padaku.



Anak yang kulahirkan pertama kali beristrikan seorang perempuan Palembang. Karena pekerjaannya juga di sana, maka menetaplah ia di tanah seberang bersama keluarganya. Sedang anakku yang kedua bersuamikan lelaki Papua. Semenjak lulus sekolah menengah atas anak perempuanku ini ikut budhenya yang menjadi dosen di salah satu universitas di Papua. Dan saat ini anakku yang kedua mengajar juga di salah satu universitas di sana.



Kedua anakku telah meninggalkan tanah tempat lahirnya sejak mereka lulus SMA. Walhasil, aku dan suamiku saja yang menempati rumah besar ini. Suara anak-anak telah lama tak kami dengar. Jika kangen atau ingin tahu kabar, kami hanya bisa mendengar suaranya di ujung sana lewat telepon. Jadi, sebenarnya aku tidaklah kaget dengan kesendirian dan keheningan. Karena aku telah terbiasa mereka tidak hadir di rumah ini.



Empat tahun lalu aku tidak merasa kesepian karena ditemani suamiku yang seorang pensiunan guru. Meskipun kami sama-sama pensiunan guru, kami tidak pernah menganggur. Kegemaran membuat kue di waktu muda tak bisa membuatku diam. Sewaktu jadi guru, berangkat ke sekolah untuk mengajar aku tak lupa membawa kue kering untuk dititipkan di warung dekat sekolah dan kantin sekolah.



Dengan bantuan suamiku, di sore hari usai mengajar kami membuatnya bersama-sama. Dan tak terasa, aku memiliki tabungan dari hasil jualanku. Anak-anaku dibesarkan dan disekolahkan dari jerih payah pembuatan kue itu. Sebagai seorang guru gaji kami tak seberapa. Hanya cukup untuk pengobatan Emak ke dokter dan membeli gula non-kalori. Emak memiliki penyakit diabetes, maka pengobatan harus rutin agar penyakitnya tak mengganggu organ lain. Selebihnya, yang menopang kehidupan kami agar terus berjalan adalah berjualan kue.



Usai anak pertamaku dibaiat menjadi sarjana, Emak meninggal. Emak jatuh dari ranjang saat hendak bangun. Tiga tahun kemudian menyusul suamiku menghadap Yang Kuasa karena kecelakaan terserempet bus saat mengantar kue dagangan. Dan empat tahun sudah aku ditinggal orang-orang yang aku sayangi. Sebatangkara. Satu-satunya yang menjadi teman dan yang senantiasa menghiburku hanyalah Lastri. Lastrilah yang mengurusi semua keperluanku selama ditinggal anak-anak dan suamiku.

Sering anak-anakku memintaku tinggal bersama salah satu dari mereka. Agar aku tak kesepian. Selain sudah tua, anak-anakku ingin aku ada yang merawat. Tapi tawaran itu aku tolak karena aku tidak ingin menyusahkan mereka.



Itulah alasannya mengapa aku begitu bersemangat tatkala menyambut hari lebaran. Aku membayangkan seperti setahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Rumah ini begitu penuh orang. Kejaran anak-anak. Riuh tawa dan cerita.

Meski hanya setahun sekali anak-anak dan cucu-cucuku datang. Sungguhlah aku rela menunggui lebaran selanjutnya, karena pada saat itulah rinduku terobati.



Jakarta, 11 September
Nasibku Malang di Keretaku Sayang



Siapa sih yang tidak kenal kereta? Hampir semua lapisan masyarakat tahu dan pernah naik “ular besi” ini atau sekadar tahu bentuk kereta. Moda transportasi ini cenderung menjadi pilihan saat bepergian, alasannya selain kereta tidak kenal macet ongkosnya juga murah meriah. Dibanding dengan alat transportasi lainnya kereta memang dikenal paling bisa dijangkau oleh kalangan kelas bawah. Maka tak salah jika penumpang kereta tidak pernah pindah ke lain pengangkut.

Tapi sayangnya, pilihan masyarakat penumpang untuk tidak meninggalkan kereta tidak bersambut manis. Jumlah penduduk yang semakin bertambah (yang asumsinya penumpang kereta juga semakin bertambah) membuat kereta menjadi alat transportasi yang tidak bersahabat bagi penumpang. Tak jarang jumlah penumpang yang melebihi kapasitas gerbong membuat kenyamanan dan keamanan terabaikan.

Memang telah ada penambahan gerbong oleh PT Kereta Api Indonesia. Namun penambahan itu dirasa kurang karena tetap saja tidak sebanding dengan banyaknya jumlah penumpang. Selain keamanan dan kenyaman, yang sering menjadi persoalan calon penumpang adalah para calo yang bergentayangan di sekitar stasiun. Meski PT KAI telah menyediakan penjualan tiket secara online, tetap saja tiket cetakan PT KAI ini beredar di tangan calo.

Hari-hari menjelang lebaran membuat penjualan tiket di stasiun Gambir bertambah ramai. Dan menurut pengamatan tak ada perbaikan pelayanan. Dari tahun ke tahun selalu sama. Antre, tertipu, dan nelangsa tatkala berada di atas kereta. Pemandangan klasik masih saja terlihat. Para calon penumpang yang telah berjam-jam mengantre ular-ularan sepanjang 500 meter, di lain waktu bisa lebih panjang. Kadang, bahkan lebih sering mereka harus menelan pil pahit. Mereka harus bubar dari antrean karena tiket telah habis. Jika begini para calo segera merapat. Menawarkan tiket ke calon penumpang yang kecewa karena tidak bisa mendapatkan tiket. Ada sebagian yang rela mengeluarkan ongkos dua kali lipat lebih mahal, lainnya memilih membeli tiket di atas kereta.



Yang memilih beli tiket di atas kereta jangan harap bisa masuk ke dalam kereta. Di sana ada beberapa petugas yang siap menanyai tiket kereta. Tentu setelah itu kita digiring ke petugas kereta api yang melayani penjualan tiket secara ilegal. Meski yang ditawarkan adalah tiket ilegal tanpa tempat duduk, tetap saja kita harus membayar dengan harga tiket yang legal. Jika digambarkan tiket ilegal ini serupa dengan tiket parkir yang di keluarkan oleh Pemda DKI. Tak ada stempel, tanggal atau logo PT KAI. Yang ada hanya coretan tangan tergesa-gesa. Di tempat pelayanan ini tak ada meja atau perkakas apa pun. Dua petugas laki-laki berdiri dan dikitari tiga sampai empat petugas. Di sinilah orang yang tidak beruntung mendapatkan tiket berkerumun membeli tiket. Kurang lebih sekitar 30-an orang selam tiga sesi. Setibanya di dalam kereta api, para calon penumpang ini bersiap-siap menyiapkan koran untuk sekadar duduk atau meringkuk.



Di sinilah kejanggalan pelayanan kereta api kembali tampak. Di satu sisi puluhan orang telah rela mengantre berjam-jam tapi tanpa hasil karena tiket habis. Sementara itu, banyak sekali para calon penumpang baru tiba-tiba menempati kursi kosong di dalam kereta api. Ternyata usut-punya usut, penjualan tiket kereta api dilaksanakan kembali saat lima menit sebelum kereta berangkat. Kami pun menyimpulkan bahwa PT KAI telah berlaku curang. Kami mengira bahwa penjualan itu dilakukan karena tiket yang di jual para calo tidak laku, maka diserahkan kembali ke petugas penjualan kereta api.



Perlu dipertanyakan kembali, dengan buruknya pelayanan PT KAI apakah kereta masih akan menjadi pilihan masyarakat? Dilihat dari banyaknya penumpang kereta api, sebenarnya tak relevan jika PT KAI mengalami kebangkrutan. Maka evaluasi di pihak internal PT KAI sendiri patut dilakukan

Minggu, 03 Agustus 2008

Kegelisahan Seorang Cendekiawan

Judul : Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik
Penulis : Mansour Faqih
Penerbit : INSISTPress dan Pustaka Pelajar, Yogyakata
Cetakan I : September 2002
Tebal : xxiv + 364 halaman
--------


Lembaga-lembaga finansial internasional (IFIs) yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Global (WTO). Globalisasi tidak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan rakyat ataupun keadilan sosial di negara-negara dunia ketiga, melainkan lebih didorong motif kepentingan pertumbuhan dan akumulasi kapital berskala global. Korban dari proses globalisasi tersebut adalah rakyat miskin negara-negara dunia ketiga yang tidak memiliki modal.

Dengan suara kritis, ia mengkritik intelektual Indonesia yang mendukung terhadap proses dehumanisasi. Para cendekiawan yang dulu sekolahnya disubsidi oleh keringat rakyat, justru kini memihak pada privatisasi dan penghapusan subsidi para rakyat miskin, serta sibuk mencari argumen untuk pembenaran terhadap proses penyingkiran rakyat. Para ekonom dan sosiolog menjadi juru bicara yang fasih paham neoliberal dan mendesakkan kebijakan kepada pemerintah yang berakibat pada marginalisasi orang miskin kota dan desa.

Hanya sedikit intelektual yang "berontak" dari pemikiran mainstream yang sedang mengancam kehidupan manusia dan melakukan proses dehumanisasi secara terbuka, untuk kemudian merenungkan dan merefleksikannya. Mansour Faqih, penulis buku ini adalah salah satu jenis intelektual yang sedikit itu.

Tulisan pertama pada bagian pertama, misalnya yang berjudul "Kelas: Teori yang Banyak Disalahpahami" merupakan kajian pembuka yang mendudukkan teori kelas sebagai urat nadi dari teori-teori dan analisis aliran Marxisme secara proporsional. Ia tidak hanya berhenti pada Marxisme klasik yang mendasarkan analisis kelas pada determinisme ekonomi yang membagi masyarakat dalam dua kelas yakni kelas borjuis (majikan) dan kelas proletar (buruh).

Dengan meminjam analisis pascastrukturalisnya Althusser, Mansour Faqih menguraikan kelemahan-kelemahan Marxisme klasik/tradisional yang melihat kelas dari "determinisme ekonomi" dan yang mereduksi kelas ke dalam persoalan sempit sebagai "basis" ekonomi dalam suatu mode production. Dalam analisisnya lebih jauh, ia melihat bahwa teori kelas bukan hanya sekadar relasi eksploitatif antara buruh-majikan, tapi juga proses eksploitasi yang melibatkan negara dan sektor non buruh lainnya. Yang menikmati surplus value bukan saja kapitalis (majikan), tapi juga didistribusikan kepada semua sektor masyarakat melalui pajak ke negara, bunga bank, dan gaji para manajer dan lain sebagainya (hal. 26).

Dengan demikian cita-cita masyarakat tanpa kelas dalam perspektif kelas, bukan tidak adanya kepemilikan harta pribadi, tapi masyarakat tanpa eksploitasi atau sistem sosial tanpa "pencurian" struktural. Untuk menciptakan sistem sosial yang adil, Mansour memberikan resep bahwa tidak cukup hanya melakukan perubahan hubungan mode of production saja, tetapi diperlukan transformasi sosial yang lebih luas lagi terhadap sistem sosial yang tergantung pada surplus value tersebut.

Karena itu, agenda gerakan sosial yang mencita-citakan keadilan sosial, pasca runtuhnya rezim Orde Baru menghadapi ujian berat: apakah gerakan-gerakan yang mereka lakukan itu mampu mentransformasikan relasi sosial politik untuk menjadi relasi yang lebih adil dan berwatak emansipatoris ataukah lebih berupa reformasi sosial.
Setiap agenda perubahan semestinya, selain melihat pada kebutuhan praktis maupun strategis kaum miskin dan pinggiran dalam masyarakat, juga selayaknya memfokuskan diri pada reformasi kebijakan yang menyangkut nasib kaum miskin dalam masyarakat sekaligus transformasi terhadap sistem dan struktur sosial (hal. 43-44).

Mansour Faqih juga mengulas tentang "Pengetahuan yang Memberdayakan dan Membebaskan" (hal. 49-70). Ia menilai ilmu-ilmu sosial yang menjadi rujukan dalam proses transformasi sosial yang dihasilkan oleh negara-negara Barat yang dominan dan dikirimkan kepada rakyat dunia ketiga pada dasarnya bukanlah pengetahuan yang netral dan bebas nilai. Pengetahuan pembangunan, yang lahir bersamaan dengan berdirinya Orde Baru, tidak hanya didasarkan pada ideologi Barat yang positivistik, tetapi juga didasarkan pada hasrat untuk mengendalikan dan menguasai.

Karena itu, proses transformasi sosial seharusnya tidak menelan mentah-mentah konsep dan teori sosial Barat yang positivistik dan cenderung kapitalistik. Karena itu, dalam proses transformasi yang diperlukan adalah memahami setiap adat dan tradisi, melakukan pemberdayaan terhadap nilai-nilai yang sudah adil, dan melakukan transformasi budaya di dalamnya. Dalam proses transformasi budaya ini memungkinkan kita memiliki pluralisme budaya dan memberikan ruang untuk setiap masyarakat adat menciptakan sejarah mereka sendiri. Hanya dengan strategi transformasilah bisa terjamin terjadinya proses demokratisasi baik antar relasi di dalam masyarakat adat sendiri maupun hubungan antara masyarakat adat dengan dunia luar mereka (hal. 67-68).
Di bagian kedua, penulis buku ini mengulas gagasan pemikiran tokoh-tokoh kritis seperti Paulo Freire, Antonious Gramsi, Michael Faucoult dan Muammar Khadafi. Gagasan besar para tokoh tersebut dijelaskan dengan bahasa yang sederhana, dan mencoba dikontekstualkan dalam konstalasi politik ekonomi Indonesia yang carut marut.

Dengan perspektif kritis, ideologis, dan dekonstruktif, Mansour Faqih membongkar selubung-selubung hegemonik ilmu pengetahuan, teori-teori sosial, dan berbagai konsep pembangunan yang menindas rakyat. Kritiknya yang tajam terhadap kapitalisme dengan berbagai metamorfosanya, tersebar di hampir setiap tulisan. Ia memberikan cara baca kritis terhadap realitas sosial yang timpang.

Catatan kegelisahan seorang intelektual organik ini sangat bermanfaat bagi mereka yang aktif terlibat dalam mewujudkan sistem sosial yang lebih demokratis, adil, dan egaliter. (Kustiah Mahasiswi Bahasa Inggris IKIP PGRI Semarang). (Pikiran Rakyat, 2002)

Emas Hitam di Balik Bukit

Kustiah
kustiah@jurnas.com

Rakyat merasa terberkahi dengan adanya tambang minyak swadaya di daerahnya. Tak terbebani harga monopoli Pertamina.

Jalan terjal dengan udara panas mengiringi perjalanan menuju Wonocolo, sebuah desa di Kecamatan Kediwan Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Jauh dari perkotaan membuat
Wonocolo tak ubahnya desa-desa lain di kawasan perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur. Gersang, berdebu, kering, dan panas. Tak ada lagi gambaran desa yang teduh dan adem.

Tepatnya setelah pembalakan hutan secara besar-besaran di tahun 1998, hutan di kawasan Blora Jawa Tengah hingga Wonocolo dan sekitarnya mendadak gundul. Hanya beberapa pohon yang masih tampak kokoh. Usianya ratusan tahun. Biasanya pohon yang selamat dari penebangan liar ini berada di lokasi permakaman. Entah karena pohon itu dianggap keramat atau alasan lain.

Daerah Blora-Wonocolo pernah dikenal dengan kelebatan hutan jatinya. Tak heran jika warga menggantungkan hidup dari hutan. Pak Parjan misalnya. Lelaki 58 tahun ini setiap hari menghabiskan siang di hutan. Berbekal gantar (bambu panjang yang di ujungnya terselip sebilah arit atau pisau yang diikat tali), dia mengambil daun jati. Selanjutnya, di pagi buta, Pak Parjan memikul daun jati yang telah dimasukkan ke dalam karung, dan membawanya ke pasar kota yang jaraknya kurang lebih 12 kilometer.

Pekerjaan lain yang mengandalkan pohon jati di hutan adalah sebagai blandong. Pak Subakri, lelaki gempal berkulit hitam legam ini adalah seorang blandong yang mewarisi pekerjaan itu dari orang tuanya. Setiap siang, ia beserta rombongan mencari pohon jati yang usianya sudah puluhan tahun, lantas me-ngeret kulit pohon jati menggunakan bendo (golok besar).

Dari setiap pohon biasanya didapat dua atau tiga lembar kulit pohon sepanjang dua setengah meter, tergantung dari besar kecilnya pohon. Dalam sehari Pak Subakri biasanya me-ngeret tiga sampai empat pohon. Usai di-keret, kulit pohon dikeringkan, dan siap dijual. Kulit pohon kering tersebut biasa digunakan warga sebagai dinding rumah.

**
Kemakmuran hutan Wonocolo memang tinggal cerita. Perubahan peta politik di tahun 1998 meletupkan perilaku tak bertanggung jawab oknum Perum Perhutani KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang memangkas habis pohon-pohon jati Wonocolo. Akibatnya tinggal 10 persen dari masyarakat yang bisa terus bergantung hidup dari hutan sebagaimana Pak Parjan dan Pak Subakri.

Setelah pohon-pohon jati musnah dan hutan menjadi gersang, banyak warga kini beralih profesi. Yang memilih bertani, mereka memanfaatkan lahan gersang dengan menanami jagung. Hanya beberapa orang yang tetap bertahan mengandalkan hutan. Yang lainnya berpindah profesi, bergabung di pertambangan minyak tradisional sebagai kuli pikul.
Wonocolo tidaklah sulit dijangkau. Sekitar dua setengah jam dari Kota Cepu ke utara menempuh jalan beraspal sepanjang 30 meter, disambung jalan terjal berbatu 7 meter.
Dari jarak 500 meter sudah terdengar keramaian aktivitas sumur minyak. Setidaknya di daerah gersang berbukit itu ada lebih dari 25 sumur minyak beserta pengolahannya. Di masing-masing sumur terdapat satu mobil timba buatan Inggris atau biasa disebut truk tronton. Tronton tua tanpa roda tersebut dipergunakan mesinnya untuk menarik dan menceburkan suling yang telah dililiti tambang. Suling dari besi itu akan membawa minyak mentah atau biasa disebut dengan lentung ke permukaan.

Di setiap tempat pengambilan minyak ada empat sampai lima orang. Dua orang bertugas menggerakkan mesin tronton, satu orang menumpahkan minyak ke kubangan tanah, dan satu atau dua orang lainnya mengalirkan minyak dari kubangan atas ke kubangan bawah. Kubangan-kubangan itu dibuat untuk menyaring minyak.

Berbeda dengan tempat pengeboran minyak yang ramai, tempat pemasakan minyak yang berada di lembah justru tampak sepi. Hanya dua atau tiga orang yang bertugas di dapur pertambangan ini. Dua atau satu orang bertugas mengambil minyak mentah di tempat pengeboran, dan satu orang memasak minyak.

Perlu waktu sepuluh jam untuk membuat minyak itu siap digunakan. Delapan jam untuk memasaknya, dilanjutkan dua jam proses pendinginan. Mereka biasanya mulai memasak dari pukul 8 pagi hingga pukul 16. Selesai minyak mentah ini dimasak, didapatlah bensin, solar, dan bensin campur solar yang masing-masingnya ditampung dalam drum-drum (satu drum = 220 liter). Dalam sehari, didapat satu hingga dua drum minyak hasil olahan yang siap dijual.

**
Sumur-sumur yang usianya sudah ratusan tahun itu kini milik Pemkab Bojonegoro melalui badan pengelola yang dioperasikan dengan sistem sewa ke perorangan. Sedangkan para pekerjanya dibayar dengan sistem upah, rata-rata Rp15—25 ribu per hari. Hanya dengan menjadi pekerja tambang inilah anak-anak mereka bisa sekolah meski hanya sampai SD atau SMP. Pekerjaan ini pula yang membuat dapur mereka tetap mengepul.

Di tengah-tengah krisis ekonomi, minyak hasil jerih payah warga Wonocolo ini dirasakan betul manfaatnya, tidak hanya oleh warga setempat tetapi juga warga di kecamatan sekitarnya. Selain karena tak mengenal kehabisan stok, harga minyak Wonocolo murah meriah, jauh dari harga Pertamina.

Sebelum kenaikan harga BBM awal tahun lalu, saat Pertamina menjual bensin Rp4.200 per liter, harga bensin Wonocolo hanya Rp2.800 per liter. Solar dari Pertamina seharga Rp4.000 per liter, solar Wonocolo Rp2.200 per liter. Harga minyak Wonocolo juga berubah-ubah, mengikuti perubahan harga yang dipatok Pertamina.
Soal kualitas, jangan ditanya. Bensin-solar Wonocolo tak kalah mutunya. Bahkan sebagian petani lebih memilih bensin Wonocolo ketimbang bensin keluaran Pertamina. Pasalnya bensin Wonocolo mengandung solar, sehingga para petani tidak perlu mengeluarkan uang lebih banyak lagi membeli solar untuk mencampuri bensin sebagai bahan bakar traktor mereka.

Sekelumit kisah tentang Wonocolo memang bukan lagi menjadi rahasia perorangan saja. Menurut cerita para pekerja, di tahun 1879 saat pendudukan Belanda, sumur-sumur minyak di Wonocolo ini dikuasai secara turun-temurun oleh seorang saudagar kaya yang sekaligus menjabat sebagai Lurah Wonocolo.

Keadaan berubah setelah Indonesia merdeka. Memang awalnya sumur-sumur minyak ini sempat menjadi rebutan antara Pertamina dan warga sekitar. Tetapi setelah berlangsungnya negosiasi antara pihak Pertamina dengan warga setempat, sumur-sumur tersebut dibebaskan, dan diserahkan sepenuhnya kepada pengelola setempat. Meskipun tak lagi ada hutan lebat, masyarakat Wonocolo tetap bisa mengais rezeki dari sumur minyak yang entah sampai kapan dapat terus ditimba.

Rabu, 30 Juli 2008

Perpisahan


Aku pergi untuk menyembunyikan lukaku. Bukan untuk meninggalkanmu seperti persangkaanmu padaku. Meski kemudian engkau menelfon memintaku untuk kembali.
“bulan di sini terang iyang. Kenapa engkau tak segera kembali. Tahukah kamu aku begitu kangen” ucapmu lewat telefon kala itu.

Dan aku kembali pada kebimbanganku apakah benar aku akan meninggalkanmu.

Kembali aku pada kenangan saat pertama kita bertemu.

Aku duduk pada sudut sofa biru yang warnanya sedikit memudar. Begitu juga dengan teman-temanku. Mereka bersandar sembari membaca termasuk aku, dan sebagian lagi bercerita. Terdengar salah satu kawan menceritakan perjalanannya ketika pulang. Maklum, kami anak perantauan yang sedang belajar di kota . Maka jika ada di antara kita pulang kampung cerita-cerita menarik dan lucu menghiasi perjumpaan.

Aku masih malu-malu waktu itu. Barangkali karena usiaku paling muda diantara mereka, selain perempuan satu-satunya. Tak jarang saling ejek pun tak terelakkan. Tak tahan karena mendengar cerita lucu salah satu kawanku tawa tak bisa aku tahan. Serta merta aku pun mengomentarinya.

Aku ingat betul, engkau tak berbasa-basi menertawakanku habis-habisan. Padahal di antara kita tak saling mengenal. Kau katakan logat jawaku membuatmu geli.
Aku tak biasa jika orang menertawakanku tanpa permisi, maka tak mau kalah aku ganti mengejekmu. Dan begitu selanjutnya. Hingga akhirnya aku menanyakan identitasmu pada temanku dan engkau sebaliknya.
Perjalanan demi perjalanan secara tak sengaja kita lalui bersama.
Dan rasa ingin tahu tentang dirimu lebih mendesak. Hari ke hari, bulan ke bulan selanjutnya adalah rasa melindungi dan menghargai. Hingga saatnya engkau menjengukku di kala aku sakit.

Kenangan memang menyebabkan luka. Dan jujur sering kali justru karena kenangan itu aku merasa tak mampu lagi melanjutkan perrjalanan.

“Iyang,, rumah seperti apa yang akan kita bangun,,,”

Air mata tak terasa menetes. Aku kembali tak memiliki daya untuk bersembunyi di balik luka.

Kata-katamu tak ada indikasi merayu atau membualiku. Aku tahu bahkan memahamimu melebihi tahumu tentangku.

Daeng,,

Mungkin engkau tak perlu tahu ternyata hingga saat ini aku masih menyimpan kenangan itu.

Minggu lalu aku berkunjung ke kotamu. Menemui jalan-jalan yang pernah kita lalui. Tak ada bekas,, aku tahu. Bahkan masjid tempat kita menunggu azan itu telah dipugar. Padahal kita bersepakat desain masjid itu begitu unik dan menarik.

Kemudian kususuri jalan menuju kampus tempatku belajar, tempat kita bertemu di akhir pekan seusai kelasku.

Aku tahu jalanku salah. Meninggalkanmu tanpa menemuimu. Sekadar ucapkan maaf. Kita tahu janji yang kita buat ternyata hanya menjadi pengingat.

Atau lebih baik kita tak pernah tahu bagaimana keadaan kita. Biarlah aku melumat kenangan itu bersama pahitnya.
Pertemuan

Kita pernah bertemu sebelumnya. Saat itu kulihat engkau sedang duduk menikmati bukumu di bawah rimbunnya pohon.

Dan kemudian aku lupa-lupa ingat bahwa aku telah mengenalmu lebih dari seorang sahabat. Pernah bersama duduk di bawah pohon yang sama yang pernah kau duduki.

Bulan Mei kudatangi kembali tempat pertemuan kita kali pertama. Papan panjang yang dinaungi pohon itu telah ditumbuhi jamur. Di bawahnya daun-daun kering berserak seolah hendak tak ingin berpisah.

Aku mengisak. Bahkan pohonnya tak sekuat ketika kita melempar pandang kepenatan. Kita sama-sama tak sengaja saling melihat. Bahkan juga tak pernah terpikir bahwa engkau akan menjadi sumber bahagia dan deritaku.

Kusesali adanya pohon, bangku, dan pertemuan di sore itu.

Kamis, 24 Juli 2008

Buku adalah Temanku

Buku-buku menjadi temanku dan pastilah (penjara) ini merupakan tempat tenang untuk belajar....Selama aku memiliki buku, aku dapat tinggal di mana saja. (Muhammad Hatta-dalam suratnya dari Oven Digul 1934)

Minggu, 20 Juli 2008

Ketenaran Penari Tayub
Oleh HENDRIYO WIDI/Kompas

Kartono, pelatih tari tayub, segera menyelinap masuk ke gubuk Sri setelah Jayem, ayah Sri, pergi mencari rumput. Kemudian terdengar suara Kartono membangunkan Sri, si penari tayub kondang.

Setelah Kartono dan Sri berdialog beberapa saat, terdengar suara Sri, ”Aku kangen,
Mas... Aku kangen....” Ucapan itu segera disusul dengan suara amben atau tempat tidur kayu ambruk, ”Gedubrak!”


Tak beberapa lama, Sri keluar sembari membenahi pakaian dan menyeka gincu yang belepotan di pipi kanannya. Di belakangnya, Kartono keluar sembari menyeka keringat di sekujur tubuhnya.

Demikian salah satu cuplikan pentas teater kampung ”Ledhek Mendres”, Jumat (4/7) sore, di Desa Mberan, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Lakon yang merefleksikan kisah ketenaran penari tayub itu merupakan ujian penciptaan gelar pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dari dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Subayono, warga Desa Dluwangan, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora.

Lakon itu mengambil tempat di halaman gubuk seorang warga Desa Mberan. Nuansa pedesaan menjadi sangat kentara ketika di sekitar gubuk itu terdapat jerami, lincak atau kursi panjang terbuat dari bambu, sabit, beronjong, kambing, dan sepeda onthel.
Untuk memperkuat simbol penari tayub, jarit, selendang tari, dan pakaian Sri, disampirkan di memean atau tempat jemuran terbuat dari tali yang melintang dari batang pohon sampai tiang penyangga gubuk. Tak lupa pula, suara radio yang memutar tembang-tembang Jawa terkadang terdengar sayup-sayup.

Dalam pementasan itu, Subayono didukung sejumlah dosen ISI Surakarta dan warga Blora yang terbiasa menyambangi pergelaran tayub. Ia juga meminta penari tayub Blora Sri Katon untuk menjadi pemeran utama ”Ledhek Mendres”.
Sekitar satu setengah jam, para penonton disuguhi dialog-dialog Jawa khas pedesaan Blora. Sketsa-sketsa erotisme, seks, kekuasaan, kritik-kritik sosial, dan dagelan atau senda gurau pedesaan, menjadi alur apik teater kampung atau rakyat itu.
Transformasi tayub

Adalah Sri, anak petani miskin bertransformasi diri menjadi penari tayub kondang Desa Mberan. Ia hidup bergelimang harta benda. Derajatnya sebagai bocah ndeso seketika itu juga naik menjadi penari pujaan para lelaki berpangkat maupun tak berpangkat.
Berkat kelimpahan harta dan derajatnya yang terangkat, Sri mempunyai kekuasaan terhadap ayah dan tiga lelaki yang mendekatinya. Jayem, sang ayah, acap kali mengeluh lantaran Sri sering membantah nasihat-nasihatnya.

”Di kepenakke anak kok gak gelem, leh! Aku ki wis kerja ben keluarga ki kecukupan. Direwangi sikil nggo ndas, ndas nggo sikil! (Disejahterakan anaknya kok tidak mau! Saya ini sudah bekerja keras supaya keluarga kecukupan! Sampai-sampai kaki untuk kepala dan kepala untuk kaki!),” kata Sri ketika berdialog dengan Jayem.
Nasib yang sama dialami Joko, pacar Sri. Pria tegap berbadan besar dan sangar itu tunduk ketika Sri meminta apa saja. Joko juga selalu menerima uang saku ratusan ribu rupiah dari Sri. Tak mengherankan jika lelaki yang ditakuti kaumnya itu justru takut kepada Sri.

”Yen kowe digoda, aku mesti nesu. Toh-tohane nyawaku! (Kalau kamu digoda, saya pasti marah. Taruhannya adalah nyawa saya!),” kata Joko kepada Sri.
Subayono mengatakan, penari tayub itu adalah perempuan perkasa. Ia bukan simbol seks saja, melainkan tulang punggung keluarga. Ia menghidupi orangtua, sanak saudara, suami, dan anak-anaknya melalui menari.

Para penari tayub yang terlahir sebagai bocah ndeso, semula selalu gelisah menginginkan perasaan cinta, ingin kaya, dan dihormati atau memiliki kedudukan dan derajat yang tinggi. Ambisi itu tidak lagi terbendung ketika mendapatkan kesempatan.
Menurut Subayono, untuk menjadi penari tayub, seorang gadis desa menempuh tiga proses. Awalnya, mereka ngenger atau ikut penari tayub yang sudah tenar dengan harapan mendapat limpahan rezeki.
”Laku nyelup”
Kemudian mereka nyantrik atau berlatih tari kepada pelatih tari perempuan atau kepada penari tayub tenar. Untuk menyempurnakan profesi, mereka nyelup atau berhubungan seks, terutama dengan orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi.
”Laku nyelup itu dipercaya dapat mengangkat derajat ledhek atau penari tayub menjadi seorang yang laris. Orang menyebut ledhek mendres,” kata Subayono.

Para penari itu, lanjut dia, bertransformasi menjadi perempuan yang memiliki kuasa. Kekuasaan itu dapat menjungkirbalikkan kekuasaan kaum lelaki. Buktinya, banyak pedagang beruang dan para pejabat tunduk dengan kecantikan dan pesona seorang ledhek begitu mereka ketiban sampur atau terjerat selendang penari tayub.
”Mereka mengubah citra perempuan sebagai kanca wingking yang selalu bekerja di dapur, sumur, tempat tidur, dan tidak boleh pulang malam, menjadi perempuan mandiri yang menentukan nasib sendiri,” kata Subayono.
Dosen penguji sekaligus pengajar metodologi penciptaan dan penelitian ISI Surakarta Prof Rustopo mengatakan, nilai lebih dari ”Ledhek Mendres” adalah kristalisasi pengalaman Subayono. Ia menjadi pengamat partisipan untuk membedah dan menceritakan kembali kehidupan para penari tayub.

”Fokus pertunjukan itu adalah realitas ketenaran seorang penari tayub dengan latar belakang kehidupan kampung yang semirip mungkin dengan aslinya,” kata dia.
Perubahan gaya hidup Sri, anak desa menjadi penari tayub, begitu kentara. Dengan uang dan pesonanya, ia bisa membeli apa pun, termasuk ”membeli” keluarga dan para lelaki pengagumnya.
Seks dan erotisme penari tayub, lanjut Rustopo, digarap Subayono tidak dengan cara blak-blakan atau terbuka. Meskipun begitu, para penonton sudah bisa membayangkan atau mengimajinasikan garapan itu.
Subayono sendiri mengakui penggarapan ”Ledhek Mendres” membutuhkan proses lama. Ia mulai mengadakan penelitian sejak tahun 1988 dan dua tahun terakhir ia mengangkat penelitian itu sebagai materi utama ujian penciptaan pascasarjana.
”Saya hanya ingin mengubah image masyarakat tentang ledhek atau penari tayub. Mereka sebenarnya adalah perempuan perkasa yang menjadi jenderal dan penopang hidup keluarga,” ujarnya.

Sabtu, 19 Juli 2008

Bulan di Ufuk Senja
Aku melihatmu dalam keremangan
Saat senja tak bisa kugapai

Sendiri adalah kenikmatan
Kala ramai tak bisa kumaknai

Mendekatlah
Kita bercerita tentang langit biru
Kita berbagi kesunyian

Di tempat ini tak lagi indah
Apalagi damai seperti pertama kita datang

Cukuplah, cukup,,,,,

Selasa, 15 Juli 2008


Untuk sahabatku Fajri dan istri

Menikah

Menikah adalah bersama-sama menjadi tua
Dan bersama-sama menjadi bijak

Menikah adalah bagaimana mengerti pasangannya
Dan bagaimana menerima pasangannya

Menikah adalah memberi yang terbaik

Menikah adalah memulai dan mengakhiri dalam bersamaan

Maka, menikah adalah indah

Semoga kalian menjadi sepasang cinta yang bisa menghadapi terpaan hidup bersama-sama

Rabu, 09 Juli 2008

Mendung

Mendung boleh menggulung langit
Menjadikannya percikan tangis
Mendulang nestapa bagi yang sedang lara

Aku masih berdiri
Di antara lelehan tawa
Dan ribuan kata
Yang lamat menjadi buih
Jakarta, 12 07;22.18

Sudut di Yogyakarta

Aku menunggumu pada ujung senja
Bersama dingin yang menyergapku

Kutunggu kau pada pojok lorong sebuah tikungan
Bersama gerimis

Mulai kubacai apa yang kubawa
Sesobek kertas coretanku

Mulai kuayunkan langkahku
Dengan dada gemetar dan gemuruh

Tak apa
Aku akan tetap menunggumu
Meski tidak lagi di sebuah tikungan jalan
Tempat kita menjanjikan kebersamaan dan pertemuan


Ya,
Kita mengawali dan mengakhirinya di sini
Ketika hujan rintik dan kemudian reda

Selasa, 08 Juli 2008



Kampung Naga nan Eksotis


Tidak ada salahnya Anda rehat sejenak. Memanjakan mata menikmati pemandangan alam. Pepohonan rindang, hijau yang menawarkan ketenteraman. Gemericik air kali, serta keheningan alam yang akan membawa kita merasa kembali ke kampung halaman. Tentu semua yang ditawarkan alam tersebut tidak ada di daerah perkotaan. Kalaupun ada pastilah itu tidak alami, alias rekaan.

Suasana nyaman tersebut hanya bisa Anda temui salah satunya di Kampung Naga. Kampung ini bukan tempat huni naga. Melainkan sebuah kampung yang terletak antara perbatasan Kota Garut dan Tasikmalaya. Tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Jika ditempuh dengan bus, dari Jakarta hanya memakan waktu sekitar empat sampai lima jam. Atau 90 kilometer dari Kota Bandung.

Memasuki kampung ini terlebih dahulu Anda harus melewati ratusan undakan tangga. Menuju perkampungan, di sepanjang perjalanan Anda hanya akan menemukan sawah dan kolam yang berada di sebelah kanan dan kiri. Dan pemandangan alam yang teduh.



Berada di lembah subur, kampung ini dibatasi hutan keramat tempat para leluhur Kampung Naga disemayamkan-yang berada tepat di sebelah barat. Dan di sebelah selatan sawah-sawah penduduk terhampar luas.
Sedangkan sebelah utara dan timur dibatasi Sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray daerah Garut.

Yang membedakan Kampung Naga dengan perkampungan lain adalah tradisi yang dipegang teguh oleh warga. Masyarakatnya secara turun-temurun hanya akan mengikuti adat istiadat yang diwariskan leluhurnya. Tanpa berusaha menyimpangkan ataupun menggantinya. Misalnya, warga Kampung Naga tidak akan mengganti daun kelapa atau aren sebagai atap rumah menjadi genteng.

Meski zaman semakin modern, masyarakat Kampung Naga sama sekali tidak tertarik untuk mengikutinya. Saat berkunjung ke Kampung Naga tidak satu pun saya temukan televisi atau sepeda motor di rumah penduduk. Jauh berbeda dengan kampung lain yang menganggap dua benda tersebut adalah penting. Alasannya, televisi untuk mendapatkan informasi sedangkan motor adalah alat transportasi. Meski tanpa dua benda itu atau barang-barang modern lainnya, masyarakat Kampung Naga tampaknya tetap mampu berkreasi.

Sawah yang membentang itulah yang menghidupinya. Hampir semua warga bekerja sebagai petani. Selebihnya mereka memanfaatkan waktu luangnya menggarap kerajinan tangan untuk dijual kepada pengunjung yang berwisata ke kampungnya. Tidak perempuan tidak laki-laki bagi mereka adalah pekerjaan untuk dikerjakan bersama-sama. Semisal, ibu akan pergi ke sawah mencabut rumput yang tumbuh di sela tanaman padi sementara bapak mencangkul. Atau, para bapak akan ikut mengerjakan kerajinan tangan jika pekerjaan di sawah telah usai. Begitu arifnya masyarakat Kampung Naga sampai-sampai tidak pernah terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

Keistimewaan lainnya dari daerah yang hanya seluas 4 hektare ini adalah pada bentuk bangunan yang kesemuanya sama. Mulai dari masjid, rumah, ataupun balai pertemuan. Semuanya menghadap ke selatan atau ke utara.
Barangkali ada benarnya bahwa adat istiadat itu harus tetap dipegang teguh. Agar pembedaan kelas tidak terjadi dan kehidupan bisa berjalan harmonis.


Dengan letak kampung yang strategis--- tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan Kota Garut dan Tasikmalaya-- Anda tentunya tak perlu menunda-nunda lagi untuk segera ke sana. Dan Anda dijamin tidak akan rugi mengunjunginya.

Senin, 07 Juli 2008


Pulang


Akhirnya aku pulang.

Pada tanah yang menghendakiku tinggal

Pada halaman yang menghamparkan rumput hijau

Dan pada ladang yang menanti kedatanganku

Sunyi itu membangunkanku dari kegelisahan malam

Gelap dengan harap yang hampir pudar

Aku kembali teringat

Di mana ibu menetekiku pada susu yang kering

Dengan peluh dan cemas

Takut jika esok aku tak mampu merasainya lagi

Oh, perempuan perkasa itu

Betapa halus sungguh nuranimu

Dengan sayangmu aku merasa memang terlahir untukmu

Tanpa pemungkiran apa pun

Kini kupandangi Engkau layu

Dengan keriput yang tak bisa kau hindari

Mata lelah dengan pesan sederhana

Ah,, Ibu

Aku mulai merasa sendiri jika begitu

Masih memandangimu yang berada di bingkai

Diam

Aku hendak mengingatmu

Dalam senyap dan gelap

Meski wajahmu hanya membayang

Aku mampu menyentuhmu lebih dari cukup

Datanglah sekali lagi

Kita berbincang tentang gerimis malam

Yang menelan sunyi dan resah hati

Saat diam tak lagi indah

Minggu, 06 Juli 2008


MENJADI KAPITALIS RINGAN TANGAN

Judul Buku: Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis

Penulis: Danah Zohar & Ian Marshall

Penerjemah: Helmi Mustofa

Penerbit: Mizan, Bandung

Cetakan: I, Agustus 2005

Tebal: 254 halaman

Peresensi: Kustiah

Bisnis biasanya diidentikkan dengan pendapatan dan keuntungan –kalau bisa sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya. Sejalan dengan itu, para pebisnis digambarkan sebagai orang-orang yang mementingkan diri sendiri, serakah, egoistis, oportunistis, berpikir jangka pendek, dan sejenisnya.

Namun, dalam kenyataannya, tidak semua pelaku bisnis memiliki sikap-sikap tersebut. Dalam buku Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, Danah Zahar dan Ian Marshall, menceritakan kisah “lain” seorang pelaku bisnis bernama Mats Lederhuasen. Ia adalah Chief Executive McDonald’s Swedia. Dalam usia 30-an, ia sudah berada di puncak karir, memiliki keluarga yang harmonis, dan berlimpang uang, tapi ia tidak bahagia. Ia bimbang dengan pilihan hidupnya.

Mats sangat prihatin dengan keadaan dunia, khususnya tentang krisis lingkungan yang mendera dunia dan tentang runtuhnya masyarakat. Kata Mats, “Perusahaan-perusahaan besar seperti McDonal’s tidak cukup banyak melakukan sesuatu untuk semua itu.” Lebih lanjut ia mengatakan, “Saya hanya mencari uang. Saya habiskan sepuluh hingga dua belas jam setiap hari untuk bekerja pada McDonal’s, dan saya tidak mengabdikan diri untuk hal-hal yang sangat saya pentingkan. Saya ingin memiliki arti. Namun, saya tidak tahu bagaimana caranya. Saya hanya tahu bahwa saya ingin menjadi bagian dari solusi, bukannya menjadi bagian dari masalah” (hlm. 111).

Dalam kebimbangan itu, Mats menetapkan tiga opsi. Yakni tetap bekerja di McDonald’s, meninggalkan McDonald’s untuk menjadi konsultan independen, atau pergi ke biara di Tibet untuk bermeditasi. Pilihan Mats jatuh pada opsi yang pertama, yakni tetap bekerja di McDonald’s. Lalu Mats menulis surat ke Jack Greenburh, CEO McDonald’s, untuk menyatakan keprihatinannya.

Yang mengejutkan, Mats diundang ke Chicago untuk berdiskusi dan mendapatkan promosi yang tidak pernah ia bayangkan, menjadi Vice President Strategy yang bertanggung jawab untuk “mendongkrak perubahan”. Pada posisi itu Mats digaji sebagai “tukang kritik perusahaan”. Mats menjalankan upaya menentang organisme yang dimodifikasi secara genetik, kampanye untuk pembuatan kandang ayam yang lebih luas, dan komitraan dengan Conservation International untuk menanggulangi kerusakan ekosistem bumi dan merancang sumbangan McDonald’s dalam mewujudkan pertanian yang berkelanjutan (hlm. 128).

Kegelisahan yang dirasakan Mats, keprihatinannya, dan kebutuhannya yang mendalam untuk melakukan sesuatu guna menjadikan hidupnya melayani tujuan yang penuh makna itu, menurut Danah Zahar dan Ian Marshall, adalah tanda-tanda “kecerdasan spiritual (SQ)” yang tinggi.

Kecerdasan yang menyebabkan seseorang bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai makna dan nilai hidup, dan hal itu menjadikannya ingin melibatkan hidupnya dalam jenis-jenis pengabdian demi perkara yang lebih tinggi atau lebih dalam. Kecerdasan hati nurani yang memberi manusia akan moralitas dan kesadaran akan yang sakral, satu kesadaran bahwa hidup punya dimensi lebih dalam ketimbang semata-mata “mendapatkan dan menghabiskan” modal material.

Lewat buku ini, penulis buku best seller SQ ini menawarkan pandangan baru dalam dunia bisnis. Menurutnya, budaya kapitalis dan praktik bisnis yang beroperasi di dalamnya tengah berada dalam krisis. Keduanya melukiskan bisnis global sebagai “monster yang memangsa dirinya sendiri”. Hal ini terjadi lantaran etos dan asumsi-asumsi kapitalisme yang mendasarinya, dan banyak dari praktis bisnis yang berangkat dari etos dan asumsi-asumsi tersebut, tidaklah berkelanjutan. Para manajer dan eksekutif perusahaan umumnya digerakkan oleh motivasi-motivasi rendah seperti ketakutan (-4), keserakahan (-3), kemarahan (-2), dan penonjolan diri (-1) yang secara langsung ataupun tidak, mengorbankan kualitas hidup manusia. Dengan kata lain, jika kapitalisme dan bisnis –sebagaiman kita kenal– digerakkan oleh motivasi-motivasi itu, maka tak punya masa depan jangka panjang.

Padahal, bisnis yang berkelanjutan digerakkan oleh SQ yang tinggi, terutama hasratnya untuk memperjuangkan visi dan nilai-nilainya. SQ itu menyebabkan pergeseran dalam motivasi kerja pelaku bisnis dari -3, serakah (bekerja hanya untuk uang), ke paling tidak +3, kekuatan dari dalam. Danah Zahar dan Ian Marshall menempatkan Mats pada +6, pengabdian lebih tinggi –sebagai seorang kesatria. Selain itu, penulis juga mencatat bahwa spritualitas itu bukan masalah agama atau sistem kepercayaan apa pun. Spiritualitas menyangkut sesuatu yang universal, yaitu values, meaning, dan purpose dalam hidup manusia yang tidak tergantung agama apa pun yang dianut seseorang.

Bisnis tanpa SQ tidak berkelanjutan, karena terbukti menimbulkan krisis kepemimpinan pada perusahaan-perusahaan terkemuka di negara-negara maju. Para pengelola perusahaan kehilangan spirit atas apa yang dilakukan. Dalam bekerja mereka melakukan apa saja seperti menipu, bermain curang, manipulasi, memotong gaji buruh, membuat laporan palsu dan sebagainya yang tujuan utamanya untuk menumpuk uang. Tapi setelah uang diperoleh, mereka merasa hampa makna, hidup tidak berarti, dan hanya sebagai makhluk pemburu uang. Padahal, manusia sejatinya tidak sekadar “makhluk ekonomi”, tapi juga makhluk spiritual yang dahaganya membutuhkan siraman makna dan nilai yang dalam.

Buku ini menyarankan jika ingin mengembangkan bisnis yang berkelanjutan, maka para pemimpin perusahaan harus mengambil keputusan yang radikal. Yakni, kelompok inti di masa kini dan para pemimpin potensial perusahaan di masa depan bisa mendayagunakan kecerdasan spiritual mereka demi menciptakan modal spiritual (spiritual capital) dalam budaya organisasi mereka yang lebih luas, dan dengan begitu membuat budaya mereka lebih berkelanjutan. Tujuannya adalah sebuah kapitalisme yang di dalam dirinya sendiri berkelanjutan dan sebuah dunia yang di dalamnya kapitalisme berkelanjutan bisa menghimpun kekayaan yang dapat memenuhi semua kebutuhan kita (hlm. 23).

Transformasi kecerdasan spiritual bisa diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) berupa kepedulian terhadap lingkungan dan kehidupan manusia secara umum. Sebuah budaya perusahaan dan bisnis yang memanusiawikan karyawan, tidak merusak lingkungan, dan peduli terhadap kelompok-kelompok miskin. Perusahaan dan lembaga bisnis tidak hanya mengeruk keuntungan, tapi juga berbagi keuntungan dengan manusia lainnya. Bentuk tanggung jawab sosial ini tidak berupa amal sosial, tapi sebuah program yang berkelanjutan dan berdampak luas. Misalnya, Coca-Cola menggunakan jaringan distribusinya di India untuk melayani pemerintah India dalam mendistribusikan vaksin polio ke daerah perbatasan terpencil dan mendirikan klinik-klinik kesehatan di sepanjang pedalaman Tiongkok dan Asia Tenggara. Merck Phamrmaceutical menyediakan obat-obatan gratis untuk mencegah meluasnya kebutaan akibat parasit river blindness di Afrika.

Buku ini banyak mengkritik kapitalisme dan bisnis sebagaimana umumnya. Namun, buku ini tidaklah antikapitalis atau antibisnis, dan juga tidak menampik mekanisme ekonomi yang telah menghasilkan kekayaan yang belum pernah sebelumnya dihasilkan umat manusia. Penulis tidak bermaksud menolak kapitalisme, melainkan mengubahnya agar lebih manusiawi, berjangka panjang, dan berhati nurani. Karena, keduanya menyakini potensi yang besar dalam bisnis dan bidang-bidang lain untuk meningkatkan –dalam kerangka yang lebih luas– kekayaan dan nilai, yang sebagian bisa dipakai untuk kepentingan bersama umat manusia. []

Bekerja Keras dan Berkarya adalah Kuncinya



k
ALEX Komang bukan nama asing di dunia teater dan film Indonesia, tapi namanya kini nyaris tak terdengar. Ke mana gerangan Pemeran Utama Pria terbaik dalam film Doea Tanda Mata arahan sutradara Teguh Karya ini? Saat bertemu dalam sebuah acara pementasan teater di Rumah Teguh Karya (alm), lelaki yang memiliki nama asli Syaiful Nuha ini menceritakan aktivitas barunya. Peraih Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1985 ini tengah sibuk belajar filsafat. "Tidak untuk mengejar master, tapi untuk belajar lebih banyak hal," katanya serius.


Perbincangan dengannya pada malam itu di Teater Populer tak sebatas membeberkan kesukaannya, tapi juga berbicara tentang perkembangan dunia perfilman kontemporer. Menurut penggemar sastra dan teater ini, dunia perfilman harus diisi bukan hanya oleh popularitas dan tren saja, melainkan juga kematangan akting dan isi film itu sendiri.


Lelaki gondrong 47 tahun ini sedang serius belajar filsafat di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ketika ditanya kenapa mesti kuliah lagi? Ia menjawab, “Bagiku penting kapan pun mencari ilmu, agar tercerahkan dan tidak bodoh dalam membaca setiap persoalan. Saya tidak ingin jika ada seseorang atau suatu kelompok mengeluarkan pernyataan atau doktrin tentang suatu agama saya menelan mentah-mentah tanpa mengetahui kebenarannya atau kritis menyikapinya. Terlepas dari itu, saya memang lagi senang belajar”.



Selain bergelut dengan kesibukannya kuliah, ternyata Alex tidak lantas meninggalkan profesi yang telah membesarkan namanya. “Saya tidak meninggalkan aktivitas lama. Saya masih setia mengikuti perkembangan film. Setia dengan film tidak berarti harus ikut di dalamnya. Jika ditanya bagaimana perkembangan film saat ini saya bisa menjawabnya. Tapi, kini saya lagi senang belajar, maka jadilah saya masuk universitas,” katanya seraya tertawa berderai


Tidak hanya itu, Ia juga menyarankan kepada penonton film agar tidak melulu menilai film itu dari sisi negatifnya. “Kita harus optimistis. Ternyata di antara kekelaman dunia pertelevisian ada kemajuan pesat (di dunia perfilman-
Red). Muncul sineas-sineas muda. Sineas perempuan juga tak ikut ketinggalan. Ya, idealnya, baik semua, mendidik semua, tapi kenyataannya kan tidak bisa begitu. Saya tidak mengatakan dunia perfilman dan pertelevisian buruk semua. Cuma kita perlu melihat dengan cermat siapa saja yang akan bertahan lama dengan kemampuannya. Siapa yang berkualifikasi, maka dia yang tidak akan pernah tenggelam. Publik yang akan menilainya”.


Lalu bagaimana tanggapannya tentang kontroversi BPPN (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional-
Red)? Yang tahun lalu sempat ribut-ribut. Apalagi beberapa sineas muda (salah duanya Riri Reza, Mira Lesmana) menganggap BPPN tidak berkontribusi banyak bagi dunia perfilman. Alex dengan santai menjawab bahwa pada saat itu ia dapat telepon dari beberapa kawan sesama artis. “Saya pikir pemerintah tidak seharusnya mengintervensi kreativitas anak muda. Biarkan yang muda-muda belajar dan mengaktualisasikan gagasannya. Harus dipisahkan apa saja yang seharusnya di bawah pengawasan pemerintah dan apa yang tidak. Saya tahu di jajaran BPPN banyak senior-senior perfilman. Ada Bang Deddy Mizwar, ada Bang Slamet Raharjo dan banyak senior lainnya. Tapi ya itu, bagi saya, berkreasi tetap dilakukan tanpa harus merasa terganggu kebijakan ini dan itu. Seharusnya memang ada wilayah di mana kaum muda dibebaskan berkreativitas. Penilaian baik buruknya film itu sangat subyektif. Saya tidak yakin film si A bagus jika dilombakan dengan juri si A. Atau film si A jelek jika difestivalkan dengan juri si B.


Lalu benarkah
seorang juri perfilman itu banyak berpengaruh di luar bidang penjurian? “Benar. Tidak bebas nilai. Tidak hanya perfilman saja, apa pun lombanya lah. Pasti ada unsur X. Taruhlah film Ekskul yang sutradaranya banyak menuai cercaan. Yang katanya filmnya jelek kok menanglah, yang tidak bagus lah. Itu kan namanya pembunuhan karakter. Yang begitu itu yang sebenarnya tidak boleh. Mana ada sutradara atau pekerja film meminta-minta supaya imenangkan dalam festival film. Yang ada tuh bagaimana mereka bisa berkreasi. Tidak bisa kita melakukan penolakan atas hasil karya orang lain. Menang kalah itu kan biasa. Lebih baik terus berkarya. Jadilah aktor, aktris atau pekerja film yang baik. Tidak perlu meremehkan, mencerca apalagi melakukan penolakan terhadap karya orang lain. Meski itu juga merupakan pilihan sikap. Sama seperti saat saya memutuskan harus belajar filsafat dan kenapa mesti diambil di universitas itu. Semua pilhan tentunya punya alasan.”


Begitulah Alex Komang, aktor satu ini memang tidak pernah berpikir parsial dalam menanggapi berbagai persoalan. Semangat dan cara berpikirnya yang positif tidak menyurutkan niatnya untuk selalu berkreasi dan belajar. Dia
selalu menghargai siapa pun yang mau belajar. Memiliki keinginan untuk maju dengan bekerja keras. Menurutnya orang-orang seperti itulah biasanya yang akan dikenang masyarakat.

Ketika ditanya s
iapakah yang berandil besar dalam kesuksesannya. “Bapak saya. Figur pertama yang saya contoh dan berandil besar ya bapak saya. Tidak jauh-jauh. Yang lain-lainnya ya mendukung, menambah referensi hidup saya dalam menentukan pilihan. Meski pada awalnya pilihan saya ditentang keras, justru karena bapak saya tidak ingin anaknya salah jalan. Kustiah

9

Nama Syaiful Nuha/Alex Komang. Lahir di sebuah kampung di Jepara, Jawa Tengah, 17 September 1961.

Alamat Rumah: Pejaten Elite, Jl. Amil II/ 4,

Pejaten Barat, Jakarta Selatan.

Karier

_ Aktor teater, antara lain bersama Teater Koma dalam

lakon Opera Primadona (2000)

_ Aktor film di bawah arahan sutradara Teguh Karya,

antara lain Secangkir Kopi Pahit (1984), Doea Tanda

Mata (1985), Ibunda (1986), Pacar Ketinggalan Kereta

(1988)

_ Bermain sinetron, antara lain dalam Bila Esok Tiba

(1997), Bingkisan untuk Presiden (2000), Cinta

Terhalang Tembok (2002), dan lain-lain

Penghargaan

_ Piala Citra pada Festival Film Indonesia (FFI) 1985

sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik untuk film Doea

Tanda Mata dan lain-lainnya.


Bergerak

Ayo Bung,,,
zaman terus melaju
bergerak cepat dengan segala perubahannya
apa engkau akan tinggal diam
atau mengejar sejadi-jadinya

Ayo Bung,,,
kita berlari menggapai matari
melintasi harapan dan mimpi



Mari Menebar Kasih

Sama seperti anak kecil lainnya, Trevor (12) percaya bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki sifat baik. Dan seperti anak kecil lainnya pula, dia mengharapkan perubahan besar terjadi pada hidupnya, lalu datanglah keajaiban hidup yang didambakannya itu.

Sebagai seorang anak ia tak ingin melihat ibunya hidup dalam keterpurukan. Menjadi seorang pecandu minuman keras, memiliki masalah dengan ibunya, dan kesepian. Trevor diasuh tanpa seorang ayah, alias ibunya adalah single parent. Ide besar untuk mengubah hidup orang-orang di sekitarnya justru datang dari sang guru ilmu sosial. Mr. Simonet, guru Trevor meminta para muridnya memikirkan sebuah ide yang dapat mengubah dunia. Para murid juga diminta untuk mewujudkan idenya ke dalam tindakan nyata.

Berawal dari tugas itulah Trevor memperoleh ide “Pay It Forward” (bayar dimuka). Untuk mewujudkan ide besar itu ia hanya perlu mencari tiga orang untuk ditolong. Dan setiap orang yang ditolong harus menolong tiga orang lainnya, dan seterusnya. Tepat seperti usaha multi level marketing (MLM).

Melintaslah tiga orang yang akan menjadi bahan eksperimen. Mereka adalah seorang pemuda gembel pecandu narkoba bernama Jerry, Mr Simonet yang masih
hidup membujang, dan seorang teman sekelas yang selalu diganggu oleh sekelompok
anak-anak nakal bernama Adam.

Masalah sesungguhnya ada di depan mata. Trevor sering melihat ibunya sangat kesepian, tidak punya teman untuk diajak berbagi rasa, dan telah menjadi pecandu minuman keras. Kali ini Trevor berusaha menghentikan kecanduan ibunya dengan cara rajin mengosongkan isi botol minuman keras yang ada di rumah mereka, Trevor juga mengatur cara agar ibunya bisa berkencan dengan Mr Simonet, guru sekolah yang memberinya tugas itu.

Ide yang ia rancang mulai ia jalankan. Kali ini ia membantu Jerry. Trevor membelikannya baju, sepatu dan perlengkapan lain agar bisa bekerja serta meyadarkannya agar tidak terlibat narkoba. Kali ini Trevor mesti merelakan tabungannya untuk semua itu. Ketika Jerry berucap tarima kasi kepada Trevor, maka Treveor hanya menjawab ‘Pay It Forward”.

Ternyata Usaha Trevor tidak sia-sia. Jerry balas membantunya memperbaiki mobil milik Ibunya Trevor yang rusak tanpa diminta. Sang ibu melihat perhatian si anak yang begitu besar menjadi terharu, saat sang Ibu mengucapkan terima kasih, Trevor menjawab “Pay It Forward”

Terharu melihat perhatian anaknya, Ibu Trevor terdorong melakukan kebaikan dengan mengunjungi rumah ibunya (nenek Trevor). Sekian lama hubungan antara ibu dan anak ini renggang. Bahkan mereka tidak bertegur sapa selama bertahun-tahun. Melihat anak perempuannya datang dan meminta maaf, nenek Trevor menangis dan terharu. Mereka berniat memperbaiki hubungan ibu anak dan asling memaafkan. Saat nenek Trevor mengucapkan terima kasih, Ibu Trevor menjawab “Pay It Forward”.

Karena kebahagiaan yang lama ditunggunya datang, sang nenek meneruskan kebaikan tersebut dengan menolong seorang pemuda yang sedang ketakutan karena dikejar polisi untuk bersembunyi di mobil si nenek, ketika pemuda itu sudah aman, si pemuda mengucapkan terima kasih, si nenek menjawab dengan kata-kata : “Pay It Forward”.

Si pemuda yang terkesan dengan kebaikan si nenek, terdorong meneruskan kebaikan
tersebut dengan memberikan nomor antreannya di rumah sakit kepada seorang gadis
kecil yang sakit parah untuk lebih dulu mendapatkan perawatan, ayah si gadis
kecil begitu berterima kasih kepada si pemuda ini, dan dijawab oleh pemuda itu
dengan ucapan : “Pay It Forward”

Ayah si gadis kecil yang ternyata konglomerat terkesan dengan kebaikan si
pemuda. Orang kaya itupun terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan
memberikan mobilnya kepada seorang wartawan TV yang mobilnya mogok pada saat
sedang meliput suatu acara. Saat si wartawan berterima kasih karena mendapat
rezeki nomplok berupa mobil Jaguar, ayah si gadis menjawab: “Pay It Forward”

Sang wartawan yang begitu terkesan terhadap kebaikan ayah si gadis bertekad
untuk mencari tahu dari mana asal muasalnya istilah “Pay It Forward” tersebut.
Naluri Jurnalistiknya mendorong dia menelusuri mundur untuk mencari informasi
mulai dari ayah si gadis, pemuda yang memberi antrean nomor rumah sakit, nenek
yang memberikan melindungi pemuda, Ibunya Trevor yang memaafkan nenek Trevor,
sampai kepada si Trevor yang mempunyai ide tersebut. Dengan bantuan sang
wartawan, Trevor pun muncul di televisi.

Namun umur Trevor sangat singkat, dia ditusuk pisau saat hendak menolong teman
sekolahnya, Adam, yang selalu diganggu oleh para berandalan. Seusai pemakaman
Trevor, betapa terkejutnya sang ibu. Ribuan orang tidak henti-hentinya
datang dan berkumpul di halaman rumahnya sambil meletakkan bunga dan menyalakan
lilin tanda ikut berduka cita terhadap kematian Trevor.

Barangkali Trevor sendiri pun tidak pernah tahu jika apa yang dilakukannya memberikan dampak besar bagi orang lain. Tampaknya sang sutradara begitu tinggi menempatkan kasih ini ke dalam kehidupan.


Film ini memang bukan tergolong film baru lagi. Diproduksi tahun 2000, saat negeri ini mulai bangkit dari krisis. Namun isi film ini tak akan usang dimakan waktu. Karena pesan yang disampaikan film tersebut begitu relevan kapan pun diputar. Diperankan Haley Joel Osment sebagai Trevor McKinney) film yang disutradarai Mimi Leder begitu apik dan menyentuh. Tidak ada salahnya Anda menontonnya. Selain dijamin terharu, paling tidak Anda akan tergerak untuk meniru apa yang dilakukan Trevor.