Selasa, 26 Mei 2009

Korban Intervensi Politik

Krisis Bank Sentral Islandia (Dimuat di Majalah Stabilitas, Edisi 39/Februari 2009)

Kustiah

Tahun-tahun sebelumnya Islandia adalah negara yang telah menikmati pertumbuhan ekonomi dan sistem perbankan yang berkembang pesat. Masyarakat hampir tak menemui kendala berarti.
Pada 2007, Islandia masuk urutan paling atas dalam Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Islandia juga dinobatkan sebagai salah satu dari 10 negara dengan indeks ekonomi terbaik oleh Fraser Institut dan Heritage Foundation. Cato Istitute, lembaga donor nirlaba yang ada di Washington DC bahkan memuji Islandia sebagai negara yang berhasil menerapkan swastanisasi perbankan, biaya cukai rendah bagi pemodal, pengurangan belanja negara, inflasi terkendalo, kebebasan bank sentral, dan kurs devisa bebas.

Islandia juga terkenal sebagai negara paling sukses dalam mengembangkan produk keuangan offshore dengan mengandalkan suku bunga tinggi dan regulasi yang yang longgar. Salah satu penggerak perekonomian Islandia adalah turisme. Turisme yang dikembangkan adalah kelautan dengan perburuan ikan paus dan lumba-lumba yang sangat terkenal. Padahal kegiatan ini sangat dilarang oleh dunia internasional maupun Eropa. Namun nampaknya Islandia, yang juga angggota Uni Eropa, tak menggubrisnya. “Untuk negara kecil, Islandia penuh dengan kontradiktif” tulis The Economist edisi 22 Januari 2009.

Tapi nampaknya krisis global membawa cerita lain tentang perekonomian negara yang baru merdeka dari Denmark pada 1944 ini. Kejayaan perekonomian dan perbankan Islandia tidak lagi berada di posisi puncak. Terpaan badai krisis ekonomi yang hampir melanda sebagian besar negara belahan dunia menyeret perekonomian Islandia ke jurang kehancuran. Longgarnya regulasi di sektor keuangan dan tingginya suku bunga bank membuat negara ini begitu ringkih dalam menghadang badai krisis. “
Islandia yang mempunyai penduduk sebesar 320 ribu ini adalah negara pertama yang menyatakan bangkrut selama krisis keuangan global 2008. Pemerintahannya gagal melakukan penyelamatan (bailout) terhadap tiga bank terkemuka miliknya. Ketiga bank tersebut memiliki utang luar negeri sebanyak USD60 miliar, enam kali lipat dari pengeluran tahunan Islandia.

Pemerintah meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) serta negara-negara lain sebesar USD10 miliar untuk mengurangi kepailitan tersebut. Namun sekalipun tak keberatan dengan jumlah itu, nampaknya IMF mempunyai pesan dibalik pinjaman itu. IMF, seperti yang ditulis The Telegraph.com 19 November 2008, meminta agar pemerintah Islandia menggabungkan bank sentral dengan otoritas keuangan. Beban warga Islandia semakin bertambah berat, pinjaman dalam euro dan dollar harus dikembalikan sementara mata uang nasional krona terjun bebas.

Sebelum krisis menghantam, kisruh kepemimpinan lebih dulu mengawali gonjang-ganjing Islandia. Geir Haarde, Perdana Menteri Islandia yang juga Ketua Partai Independen, akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya pada 1 Februari 2009. Perekonomian Islandia semakin tak menentu ketika David Oddsson, Gubernur Bank Sentral Islandia (Lansbanki) dipecat. Gubernur bank sentral yang juga merupakan mantan perdana menteri Islandia itu diduga menjadi salah satu pemain kunci yang membuat perekonomian Islandia terjungkal.

Sekadar mengingatkan sebelum menjabat sebagai perdana menteri menggantikan Halldor Asgrimsson tahun 2006 lalu, Haarde adalah seorang ekonom Bank Sentral. Sedang Odsson adalah mantan perdana menteri dan menteri luar negeri yang menjabat sebagai gubernur bank sentral.
Meski tak sepenuhnya benar, karena struktur perekonomian Islandia yang bersandar pada industri keuangan yang begitu tergantung pada pasar keuangan dunia, namun David Oddson dinilai punya peran penting dalam meliberalkan bank sentral. Bahkan saat di bawah kekuasaanyalah Bank Sentral Islandia menjadi begitu liberal dalam menentukan suku bunga. Hal ini terlihat dengan suku bunga bank sentral yang tidak pernah di bawah dua digit sejak April 2006.

Kebijakan moneter yang membiarkan suku bunga tinggi mendorong tingkat inflasi tinggi pula. Lihat saja angka inflasi Islandia yang sejak pertengahan 2004 selalau di atas angka target inflasi (2,2%). Sejak itu angka inflasi tersebut selalu membumbung naik terus. Sekalipun sempat mengalami penurunan pada pertengahan Juni 2007 mencapai 3% namun menanjak kembali dengan tajam hingga mencapai 16,7% pada November 2008.
Di Islandia jabatan gubernur bank sentral seperti menjadi “komoditi“ politik yang dinilai strategis. Pergantian gubernur bank sentral dan perdana menteri silih berganti. Jabatan gubernur bank sentral kerap diisi mantan perdana menteri begitu juga jabatan perdana menteri seringkali disi oleh mantan gubernur bank sentral. Gubernur bank sentral kerap diberhentikan oleh perdana menteri yang notabenenya sering orang separtai. Ini menandakan bahwa bank sentral menjadi komoditi politik penguasa. Akibatnya bank sentral tidak independen terhadap kepentingan pemerintah. Namun secara hukum hal ini dibenarkan karena peraturan (undang-undang) di Islandia memang membolehkan gubernur bank sentral diberhentikan oleh perdana menteri.

Berbagai laporan menunjukkan bahwa independensi bank sentral berkaitan dengan tingkat inflasi dan perekonomian bangsa. Nagara yang mempunyai bank sentral independen relitif lebih bisa mengkontrol inflasi dalam jangka panjang. Salah satu kajian yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Cukerman pada 2004. Menurutnya, secara teoritis tuntutan independensi bank sentral terkait dengan bias dalam menilai inflasi oleh pengendali moneter. Hal ini dikarenakan kebijakan moneter tidak berada di satu tangan. Selain secara teoritis Cukerman juga melihat secara empiris. Dalam kenyataanya kemelut politik sering berujung pada mundurnya (dimundurkan) gubernur bank sentral. Tugas-tugas pengendalian moneter dan harmonisasi kebijakan ekonomi dengan pemerintah pasti terganggu. Karenanya agar guncangan politik tak menggangu kinerja ekonomi maka salah satu caranya ada;ah dengan membuat bank sentral menjadi independen.

Dalam kaitan dengan Bank Sentral Islandia, pemecatan Oddson tak lepas dari intervensi politik Johanna Sigudardottir, Perdana Menteri Islandia pengganti Haarde. Dalam pernyataannya di televisi Islandia Rikisutvarpio (RUV) Oddsson menuding Perdana Menteri Johanna sengaja ingin menjatuhkan jabatannya demi kelangsungan kekuasaan Johanna. Menurut Oddsson, usahanya sudah maksimal dalam menjaga perekonomian islandia agar tidak terpuruk lebih dalam. Sebagai gubernur bank sentral ia telah memperingatkan pada akhir musim semi 2007 agar pemerintah dan bank komersial lain untuk mengerem hasrat bisnisnya dan menurunkan kebutuhan mereka sebanyak-banyaknya.

Jalan Panjang Landsbanki

Kustiah

Parlemen Islandia mengesahkan Undang-Undang Perbankan No 5 Tahun 2009 hasil amandemen dari Undang-Undang Perbankan No 36 Tahun 2001 bulan lalu (26/2). Undang-undang perbankan terbaru ini mengatur penunjukan satu gubernur bank sentral sementara dan satu deputi gubernur bank sentral sementara. Amandemen ini sebagai tindakan atas pemecatan David Oddsson dari jabatannya sebagai gubernur bank sentral Islandia. Keputusan kebijakan moneter bank sentral akan diambil alih oleh Komite Kebijakan Moneter. Namun ini masih menjadi perdebatan, versi lain menyebutkan direksi bank akan diambil oleh gubernur bank sentral.

Bulan Mei 2001, Undang-undang Perbankan dibuat. Isi utama yang terkandung dalam undang-undang baru ini adalah “Kebijakan moneter dilakukan hanya untuk membuat harga tetap stabil. Dengan persetujuan Perdana Menteri, bank sentral memiliki otoritas untuk mengadopsi target inflasi sebagai kerangka untuk melakukan kebijakan moneter. Inflasi ditargetkan terjadi di bulan Maret 27 tahun 2001 melalui deklarasi oleh bank sentral dengan pemerintah. Dengan Undang-undang, bank senntral akan mempromosikan program lainnya, seperti sebuah sistem keuangan yang aman dan efisien, termasuk sistem pembayaran, atau tugas lainnya yang berkaitan dengan bank sentral.

Otoritas membuat kebijakan moneter adalah hak dewan yang terdiri dari tiga gubernur bank sentral. Mereka akan ditunjuk oleh perdana menteri selama tujuh tahun dan kemungkinan akan dilakukan pengangkatan kembali untuk kedua kalinya.
Terlepas dari kontroversi di atas Undang-undang perbankan terbaru akan menghapus dewan gubernur bank sentral Islandia bersamaan dengan tiga dewan gubernur dan pimpinan dewan gubernur. Dalam Undang-undang terbaru juga menyatakan tentang penunjukan Svein Harald Oygard sebagi gubernur sementara dan ArnĂ³r Sighvatsson sebagai ketua ekonom bank sentral sementara.

Islandia memiliki sejarah panjang terkait kebanksentralannya. Perkembangan sistem keuangan Islandia tidak lepas dari evolusi ekonomi dan politik masyarakat miskin kota dari ketergantungan terhadap Danish Crown. Pemerintah berinisiatif mengembangkan perbankan Islandia. Bank pertama yang didirikan adalah Landsbanki Islands (Bank Nasional Islandia di tahun 1885. Bank mulai menerima pemodal dengan surat-surat berharga yang bebas ditukar ke Danish Crowns. Bank kedua, Islandsbanki (Bank Islandia) adalah perusahaan pribadi dengan Danish Crowns sebagai investornya.

Pengembangan bisnis bank dimulai tahun 1904 dan dioperasikan di bawah lembaga istimewa yang memperbolehkan pembayaran utang dengan emas. Setelah menjadi negara kedaulatan di tahun 1918, politikus menentang pinjaman bank ke luar negeri.
Kebijakan moneter tidak berjalan lancar setelah perang terjadi. Landsbanki menawarkan utang pada tahun 1927, sama halnya bank komersial dengan penguasaan pasar (market share) lebih dari separuh deposito di bank. Langkah penting yang diambil untuk mengubah situasi di tahun 1951 ketika pos-pos keuangan dibekukan dan dilikuidasi.

Tahun 1961 langkah akhir diambil untuk menentukan otonomisasi Landsbanki sebagai bank sentral. Pada tahun inilah perbankaan Islandia berkembang. Bank sentral Islandia didirikan di bawah Undang-undang Parlemen pada bulan April 1961.
Dengan hasil keputusan menunjuk dewan gubernur dengan tiga anggota untuk mengendalikan bnak sentral Islandia. Alpingi (parlemen Islandia) juga memilih tujuh dewan pengawas.

Meski secara formal independen bank sentral tetap membutuhkan payung hukum untuk mendukung kebijakan ekonomi.pemerintah. Hal ini dimaksudkan karena bank waktu itu tidak dapat keputusan untuk membuat perubahan penting seperti menurunkan suku bunga, yang biasanya dilakukan oleh pemerintah.

Selama enam puluh tahun tidak ada masalah berat yang muncul saat bank dan pemerintah berkoordinasi. Perubahan terjadi saat inflasi di tahun 70-an, dimulai dengan krisis minyak, dan kebijakan moneter semakin menambah ketegangan. Tingkat bunga, melalui kebijakan pemerintah, adalah upaya untuk menjaga inflasi yang berangsur turun.
Perubahan radikal dalam kebijakan moneter tidak diambil sampai 1981 ketika langkah pertama diambil untuk meregulasi suku bunga. Dua tahun kemudian,1986, Undang-undag Perbankan direvisi, menghilankan peran bank untuk melakukan regulasi suku bunga bank komersial dan bank tempat menabung. Undang-undang Perbankan tahun 1986 semakin menguatkan posisi Inpektorat Perbankan Bank Sentrla, departemen pengawas yang juga bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap institusi keuangan non-perbankan.

Tidak ada komentar: