Minggu, 03 Agustus 2008

Kegelisahan Seorang Cendekiawan

Judul : Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik
Penulis : Mansour Faqih
Penerbit : INSISTPress dan Pustaka Pelajar, Yogyakata
Cetakan I : September 2002
Tebal : xxiv + 364 halaman
--------


Lembaga-lembaga finansial internasional (IFIs) yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Global (WTO). Globalisasi tidak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan rakyat ataupun keadilan sosial di negara-negara dunia ketiga, melainkan lebih didorong motif kepentingan pertumbuhan dan akumulasi kapital berskala global. Korban dari proses globalisasi tersebut adalah rakyat miskin negara-negara dunia ketiga yang tidak memiliki modal.

Dengan suara kritis, ia mengkritik intelektual Indonesia yang mendukung terhadap proses dehumanisasi. Para cendekiawan yang dulu sekolahnya disubsidi oleh keringat rakyat, justru kini memihak pada privatisasi dan penghapusan subsidi para rakyat miskin, serta sibuk mencari argumen untuk pembenaran terhadap proses penyingkiran rakyat. Para ekonom dan sosiolog menjadi juru bicara yang fasih paham neoliberal dan mendesakkan kebijakan kepada pemerintah yang berakibat pada marginalisasi orang miskin kota dan desa.

Hanya sedikit intelektual yang "berontak" dari pemikiran mainstream yang sedang mengancam kehidupan manusia dan melakukan proses dehumanisasi secara terbuka, untuk kemudian merenungkan dan merefleksikannya. Mansour Faqih, penulis buku ini adalah salah satu jenis intelektual yang sedikit itu.

Tulisan pertama pada bagian pertama, misalnya yang berjudul "Kelas: Teori yang Banyak Disalahpahami" merupakan kajian pembuka yang mendudukkan teori kelas sebagai urat nadi dari teori-teori dan analisis aliran Marxisme secara proporsional. Ia tidak hanya berhenti pada Marxisme klasik yang mendasarkan analisis kelas pada determinisme ekonomi yang membagi masyarakat dalam dua kelas yakni kelas borjuis (majikan) dan kelas proletar (buruh).

Dengan meminjam analisis pascastrukturalisnya Althusser, Mansour Faqih menguraikan kelemahan-kelemahan Marxisme klasik/tradisional yang melihat kelas dari "determinisme ekonomi" dan yang mereduksi kelas ke dalam persoalan sempit sebagai "basis" ekonomi dalam suatu mode production. Dalam analisisnya lebih jauh, ia melihat bahwa teori kelas bukan hanya sekadar relasi eksploitatif antara buruh-majikan, tapi juga proses eksploitasi yang melibatkan negara dan sektor non buruh lainnya. Yang menikmati surplus value bukan saja kapitalis (majikan), tapi juga didistribusikan kepada semua sektor masyarakat melalui pajak ke negara, bunga bank, dan gaji para manajer dan lain sebagainya (hal. 26).

Dengan demikian cita-cita masyarakat tanpa kelas dalam perspektif kelas, bukan tidak adanya kepemilikan harta pribadi, tapi masyarakat tanpa eksploitasi atau sistem sosial tanpa "pencurian" struktural. Untuk menciptakan sistem sosial yang adil, Mansour memberikan resep bahwa tidak cukup hanya melakukan perubahan hubungan mode of production saja, tetapi diperlukan transformasi sosial yang lebih luas lagi terhadap sistem sosial yang tergantung pada surplus value tersebut.

Karena itu, agenda gerakan sosial yang mencita-citakan keadilan sosial, pasca runtuhnya rezim Orde Baru menghadapi ujian berat: apakah gerakan-gerakan yang mereka lakukan itu mampu mentransformasikan relasi sosial politik untuk menjadi relasi yang lebih adil dan berwatak emansipatoris ataukah lebih berupa reformasi sosial.
Setiap agenda perubahan semestinya, selain melihat pada kebutuhan praktis maupun strategis kaum miskin dan pinggiran dalam masyarakat, juga selayaknya memfokuskan diri pada reformasi kebijakan yang menyangkut nasib kaum miskin dalam masyarakat sekaligus transformasi terhadap sistem dan struktur sosial (hal. 43-44).

Mansour Faqih juga mengulas tentang "Pengetahuan yang Memberdayakan dan Membebaskan" (hal. 49-70). Ia menilai ilmu-ilmu sosial yang menjadi rujukan dalam proses transformasi sosial yang dihasilkan oleh negara-negara Barat yang dominan dan dikirimkan kepada rakyat dunia ketiga pada dasarnya bukanlah pengetahuan yang netral dan bebas nilai. Pengetahuan pembangunan, yang lahir bersamaan dengan berdirinya Orde Baru, tidak hanya didasarkan pada ideologi Barat yang positivistik, tetapi juga didasarkan pada hasrat untuk mengendalikan dan menguasai.

Karena itu, proses transformasi sosial seharusnya tidak menelan mentah-mentah konsep dan teori sosial Barat yang positivistik dan cenderung kapitalistik. Karena itu, dalam proses transformasi yang diperlukan adalah memahami setiap adat dan tradisi, melakukan pemberdayaan terhadap nilai-nilai yang sudah adil, dan melakukan transformasi budaya di dalamnya. Dalam proses transformasi budaya ini memungkinkan kita memiliki pluralisme budaya dan memberikan ruang untuk setiap masyarakat adat menciptakan sejarah mereka sendiri. Hanya dengan strategi transformasilah bisa terjamin terjadinya proses demokratisasi baik antar relasi di dalam masyarakat adat sendiri maupun hubungan antara masyarakat adat dengan dunia luar mereka (hal. 67-68).
Di bagian kedua, penulis buku ini mengulas gagasan pemikiran tokoh-tokoh kritis seperti Paulo Freire, Antonious Gramsi, Michael Faucoult dan Muammar Khadafi. Gagasan besar para tokoh tersebut dijelaskan dengan bahasa yang sederhana, dan mencoba dikontekstualkan dalam konstalasi politik ekonomi Indonesia yang carut marut.

Dengan perspektif kritis, ideologis, dan dekonstruktif, Mansour Faqih membongkar selubung-selubung hegemonik ilmu pengetahuan, teori-teori sosial, dan berbagai konsep pembangunan yang menindas rakyat. Kritiknya yang tajam terhadap kapitalisme dengan berbagai metamorfosanya, tersebar di hampir setiap tulisan. Ia memberikan cara baca kritis terhadap realitas sosial yang timpang.

Catatan kegelisahan seorang intelektual organik ini sangat bermanfaat bagi mereka yang aktif terlibat dalam mewujudkan sistem sosial yang lebih demokratis, adil, dan egaliter. (Kustiah Mahasiswi Bahasa Inggris IKIP PGRI Semarang). (Pikiran Rakyat, 2002)

Tidak ada komentar: