Selasa, 06 April 2010

Semalam Bersamamu

Kustiah**
Bau tubuhmu masih tercium. Sepertinya baru lima menit yang lalu engkau pergi meninggalkanku dari ruangan ini. Sepertinya baru saja engkau melepaskan pelukanmu. Masih terasa matamu menatap mataku sambil mengatakan “aku akan selalu menyayangimu”.

Meski terdengar gombal, tetapi aku menyukainya. Hatiku mongkok dan tak ingin melakukan apa-apa selain tetap bersamamu jika sudah mendengar sloganmu itu.

Malam telah berganti pagi. Mataku diterpa sinar mentari yang menyelinap masuk dari tirai jendela yang sedikit tersingkap. Akhirnya, mau tak mau mataku harus membelalak. Segera aku menuju kamar kecil untuk membersihkan muka dan mulutku.

Kurasakan tanpa kehadiranmu hidupku sepi. Ruangan ini pun tampaknya sepakat denganku. Tak ada canda, tawa, dan kata-kata manjamu, kamar ini seperti mati. Seperti tak bergairah menghadapi hari esok.

Jika mampu berkata, bersamaku mereka akan berkata “Jangan pergi. Tinggalah terus bersamaku hingga ajal menjemput dan memisahkan kita”. Namun, sama sepertiku, ruangan ini lebih memilih membisu. Lidah kelu.

Hanya waktu malam saja bibir ini bisa berkata jujur. Saat wajahmu benar-benar berada dua senti dari wajahku. Saat matamu menghujam seluruh isi tubuh dan pikiranku. Tanganmu mendekap erat, dan kita seperti tak ingin berpisah walau sekejap.

Namun pagi itu, engkau tetap harus pergi. Entah kesibukan apa yang memaksakmu untuk buru-buru meninggalkanku, bersama seluruh isi ruangan ini.
“Apakah kau izinkan aku untuk menyelesaikan urusanku hari ini,” bisikmu sambil menempelkan bibirmu di telingaku.

Tentu aku tak akan mengatakan tidak atau menolak permintaanmu jika sudah begitu. Segera kukecup keningmu dan kusenyumi wajahmu yang cerah pagi itu.
“Ya. Pergi saja. Jaga diri baik-baik,” kataku.

Jika mendengar suaramu memelas , naluriku segera berubah menjadi seperti seorang ibu, seorang kakak, sahabat, atau siapa saja yang kau anggap mampu membuatmu nyaman. Lalu pergilah engkau dengan rangsel yang telah kau kemasi, sekelebat ditelan daun pintu.

Aku tahu, bahwa kepergianmu sebenarnya untuk menemui teman perempuanmu lainnya. Aku tahu dari pesan yang dikirimkannya untukmu malam tadi. Seperti air, perasaanku yang bening mudah berubah menjadi keruh, digelitiki ikan-ikan yang ada di dalamnya, dan benar-benar keruh, kemudian tenang untuk membuatnya bening kembali.

“Beginikah rasanya pilu?” aku bertanya pada diriku sendiri. Seperti baru kali ini kurasakan kembali hati yang tercabik-cabik. Cemburu. Kenyataannya demikian. Lalu di mana rasa sayangku kepadamu yang baru saja membuai-buai.

Aku diam di atas sofa dengan segelas air di tangan. Sambil menatap lukisan perempuan bali yang sedang menari. Kubayangkan perempuan itu kesepian. Dengan kesukaannya yang dielu-elukan penonton karena liukan tubuh, matanya yang gesit, dan tangannya yang terampil. Kulihat betapa perempuan itu tak memedulikan siapa pun kecuali gerakannya dan konsentrasinya pada tiap hentakan irama. Matanya seperti menatap kepastian hidup, dan yakin pada masa yang akan datang.

Lalu pikiranku kembali pada lelaki yang baru saja meninggalkanku.
Tak kurasakan lagi hati mongkok dan bening, sebening air gelas dalam genggamanku. Aku berusaha menyadar-sadarkan diri bahwa sesungguhnya yang mencintai adalah aku. Kebetulan yang memiliki raga dan jiwa adalah engkau.

Cintaku dan sayangku mungkin bukan apa-apa bagimu. Karena aku bukan perempuan yang memiliki tubuh seperti Luna Maya atau Aura Kasih. Aku hanya seorang perempuan yang membanggakan kelembutan dan kebaikan yang kumiliki. Kata orang-orang begitu. Aku terlalu keibuan dan memiliki hati yang lembut. Benar apa tidak aku sendiri tak tahu.

Kadang kupatut wajahku pada cermin. Kulihat mata, hidung, dan bibirku yang kuanggap lebih banyak mirip seperti wajahnya Kartini, bulat seperti bulan. Mataku juga seperti mata Kartini yang sendu namun keras kemauan. Hidungku, memang tak sebangir hidungnya Cornelis, pacar Minke. Namun aku bangga memilikinya.

Bibirku. Inilah salah satu indera tubuhku yang sering kututupi dengan tangan jika sedang bicara dengan lelaki yang membutaku jatuh cinta. Aku takut menggodanya. Juga aku takut melakukan tindakan yang tidak sopan dengan bibirku. Maka, kupilih menunduk jika bicara dengan orang yang kucintai.

Aku sadar, bahwa yang kubanggakan sebenarnya adalah sesuatu yang telah melekat pada tubuhku. Karena Tuhan yang menciptakannya. Di saat aku mematutkan wajahku, ada perasaan kecewa bergemuruh.

“Mungkin karena apa yang kumiliki inilah, engkau tak benar-benar mencintaiku”. Aku diombang-ambing perasaanku sendiri. Perasaan tak menentu karena menebak-nebak perasaanmu. Perasaanku yang diliputi kebimbangan.“Apakah benar yang kau katakan semalam? Ataukah aku saja yang sebenarnya mengharapkanmu mengatakan demikian. Pun tidak benar aku tetap akan senang mendengarnya.”

Entah apa pula yang menyebabkan sifatku kadang berubah kekanak-kanakan jika berada di depanmu. Tak biasanya aku bersikap demikian. Mungkinkah cinta telah mengubah yang rasional menjadi tidak rasional. Yang dewasa menjadi kanak-kanak. Dan mengubah siapa diriku yang sebenarnya, yang kadang tak kukenali.

“Baiklah. Aku tak akan membiarkan cinta ini liar mengejarmu. Sampai di sini saja.”
Kutemukan hatiku mengatakan penyerahannya sambil meratap. “Seruni tak ingin hidupnya tragis seperti Kenanga.”

Ya. Namaku Seruni. Seruni akan menyerah untuk kali ini saja. Untuk kecelakaan cinta karena telah mendarat tidak pada tempatnya. Kukatakan perpisahanku kepada seluruh isi ruangan. Untuk remang cahaya yang telah mengawasi setiap gerak dan gembiraku.
“Terima kasih. Katakan pada siapa saja yang datang mengunjungi kamar ini, untuk menyapamu lebih dahulu.” Agar kelak jika pergi tidak dengan hati yang kecewa sepertiku. Karena telah kauberkati pada waktu malamnya.

“Apakah aku semalam melupakanmu remang?”
“Apa aku hanya peduli pada lelaki yang ada di depanku, di pelukanku?,” ratapku menyesal karena telah mengabaikan keberadaanmu.

Kukemasi barang-barangku. Kukenakan switer untuk melindungi tubuhku dari terpaan udara pagi.

Jalan taman yang lurus dengan bunga yang tertata rapi menghiburku begitu aku menatapnya. Mereka menegurku dengan keramahan. “Jalanlah terus ke depan. Jangan kau tengok ke belakang,” kata bunga-bunga dan jalan yang telah berpasang-pasangan sehidup semati, membuatku iri.

Kulangkahkan kakiku tanpa menengok. Aku bersiap diri untuk meneguk pahit lebih banyak lagi. Sesekali kuhapus butiran kecil yang jatuh di pipi. Dan bunga menghibur hatiku yang terluka.

Pada akhirnya kembali kuingat puisi yang tiba-tiba menohok hatiku. Sapardi sepertinya memahami perasaanku pagi itu.

Aku Ingin

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada



1 komentar:

Ahmad Soleh mengatakan...

masih tetap yang dulu.....!