Selasa, 08 September 2015

Lebaran



*Oleh: Kustiah



Beberapa hari ini mata kananku sedikit berair dan kedutan. Menurut emak, kedutan di mata kanan tandanya akan bertemu kekasih atau orang yang kita sayangi. “Jika mata sebelah kanan kedutan, janganlah kamu terlalu khawatir. Karena itu pertanda baik,” kata Emak sewaktu masih hidup. “Khawatirlah jika yang kedutan itu mata kirimu. Segeralah ambil air wudhu dan berdoa agar peristiwa buruk tak terjadi. Hanya doa yang bisa menggagalkanya. Karena, jika yang kedutan mata sebelah kiri, itu pertanda akan ada bahaya datang. Pertanda kamu akan menangis,” lanjut Emak suatu kali.



Emak memang mahir dalam urusan mengartikan pertanda. Entah itu benar atau tidak kami tidak pernah mempermasalahkannya. Dan kami sebagai anak-anaknya selalu percaya. Di kemudian hari kami mengatakan yang sama kepada anak-anak kami. Meski kami dan anak kami berbeda cara pandang. Kalau dulu, saat Emak mengartikan pertanda dan mengatakannya kepada kami, kami percaya dan membenarkan dengan menghubung-hubungkan peristiwa yang telah ataupun yang akan terjadi. Sedangkan saat ini sungguh jauh berbedaa. Saat aku mencoba mengatakan hal yang sama kepada anak-anakku seperti yang Emak katakan kepada anak-anaknya, mereka segera berkata, “Ibu kuno, hari gini masih percaya mitos. Bisa jadi mata kedutan akibat kelilipan atau lelah. Ah, ibu mah percaya saja apa yang dikatakan orang jaman dulu” kata anak-anakku. Setelah itu, hanya sampai generasi kami saja yang percaya pada arti pertanda-pertanda itu. Sedang anak-anak kami tidak.



Begitupun dengan suara tokek yang sepanjang siang mengganggu istirahatku. Maka, Lastri yang akan mencari sapu ijuk bergagang panjang yang biasa digunakan membersihkan sawang untuk mengusir tokek itu. Kembali aku ingat kata Emak. Jika tokek bersuara di penuwun rumah pada siang hari, itu tandanya akan datang tamu agung. Aku mencoba mengingat-ingat, adakah seseorang yang aku tunggu hingga mata kananku terus bergerak-gerak. Atau siapakah gerangan tamu agung yang hendak berkunjung ke rumah nenek tua ini.



Tidak sia-sia Emak mewariskan ilmu menafsirkan tanda. Yang membuatku selalu merasa optimistis dan bertawakal. Ternyata, pun pertanda itu benar atau tidak, ia telah mengalirkan pengharapan pada tubuh tua ini.

Aku kemudian ingat anak-anak dan cucu-cucuku. Sebentar lagi lebaran datang. Pastilah yang akan datang dan menjadi tamu agung itu mereka. Setelah bulan puasa yang kutunggu-tunggu telah tiba, sekarang giliran hari lebaran yang kuharapkan segera datang.

Manusiwi bukan, jika hari yang ditunggu telah datang maka hari lain yang ditunggu lagi. Meskipun aku tahu, sebenarnya tidak ditunggu pun hari itu akan datang juga. Bukankah waktu terus merambat, merayap, dan mendekat.



Tapi entah kenapa aku begitu antusias menunggu lebaran datang. Kamar-kamar mulai aku bersihkan. Bunga-bunga aku sirami dan aku ganti potnya dengan yang baru. Dan seluruh dinding telah aku cat dengan warna bagus dan terang. Tak lupa, aku minta Lastri membantuku membuat kue kesukaan anak-anak dan cucu-cucuku. Ayam kampung peliharaanku juga telah aku siapkan. Mereka paling suka, jika pulang tersedia ayam kampung untuk dipanggang. Karena saya tahu, di tempat tinggalnya di kota sana tentu ayam kampung sulit dicari. Kalau pun ada, pasti jarang.



Selalu demikian tiap tahun menjelang lebaran. Aku menyambutnya dengan penuh sukacita sebagai seorang ibu, mertua,dan nenek bagi anak, mantu, dan cucu-cucuku. Aku ingin mereka tetap perpandangan baik terhadapku. Berusaha sebisa mungkin membuat mereka betah dan kerasan. Meski saat mereka datang, aku juga menyimpan sedih, karena itu artinya mereka juga akan secepat mungkin pergi. Jika begitu, aku harus ingat bahwa kebahagiaan tiada yang kekal. Apa yang aku tunggu-tunggu membuat perpisahan semakin mendekat.



Mungkinkah anak-anak dan cucu-cucuku berpikiran sama sepertiku. Menunggu waktu itu dan menganggapnya istimewa seperti yang aku rasakan. Dalam hati aku mengiyakan, “Pastilah mereka juga sama denganku. Menunggu hari lebaran datang. Bertemu neneknya dan bermain di halamn rumah kampung nan luas. Yang tentu tak dimiliki anak-anakku yang berumah di kota dengan halaman dan taman yang tak cukup buat berlarian hingga berkeringat.”. Juga bukan karena alasan hari-hari berpuasa akan segera usai, aku menggu lebaran datang. Aku mengharapkannya karena pada hari lebaranlah anak-anak beserta cucu-cucuku datang menjengukku. Menghangatkan rumah yang selama setahun sepi. Tak ada jeritan anak kecil atau derai tawa anak-anakku yang saling ejek.



Sejak berumah tangga, hanya setahun sekali saja mereka datang menjengukku. Karena selain jaraknya yang tidak dekat, ongkosnya banyak, biasanya alasan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.

Dan aku maklumi itu. Toh, sebagai orang tua aku tidak boleh manja dan menyusahkan anak-anakku. Bukankan lebih dari cukup mereka memperhatikanku. Setiap setahun sekali mereka menyisihkan waktu menjengukku. Dan setiap bulannya selalu mengirimiku uang atau paket tanpa aku minta. Mungkin sebagai penebus karena mereka tak bisa mendampingiku di saat usiaku telah senja. Atau itulah bentuk bakti anak-anakku yang semasa kecil kubesarkan, dan saat telah besar mereka ingin mencurahkan kasih sayangnya padaku.



Anak yang kulahirkan pertama kali beristrikan seorang perempuan Palembang. Karena pekerjaannya juga di sana, maka menetaplah ia di tanah seberang bersama keluarganya. Sedang anakku yang kedua bersuamikan lelaki Papua. Semenjak lulus sekolah menengah atas anak perempuanku ini ikut budhenya yang menjadi dosen di salah satu universitas di Papua. Dan saat ini anakku yang kedua mengajar juga di salah satu universitas di sana.



Kedua anakku telah meninggalkan tanah tempat lahirnya sejak mereka lulus SMA. Walhasil, aku dan suamiku saja yang menempati rumah besar ini. Suara anak-anak telah lama tak kami dengar. Jika kangen atau ingin tahu kabar, kami hanya bisa mendengar suaranya di ujung sana lewat telepon. Jadi, sebenarnya aku tidaklah kaget dengan kesendirian dan keheningan. Karena aku telah terbiasa mereka tidak hadir di rumah ini.



Empat tahun lalu aku tidak merasa kesepian karena ditemani suamiku yang seorang pensiunan guru. Meskipun kami sama-sama pensiunan guru, kami tidak pernah menganggur. Kegemaran membuat kue di waktu muda tak bisa membuatku diam. Sewaktu jadi guru, berangkat ke sekolah untuk mengajar aku tak lupa membawa kue kering untuk dititipkan di warung dekat sekolah dan kantin sekolah.



Dengan bantuan suamiku, di sore hari usai mengajar kami membuatnya bersama-sama. Dan tak terasa, aku memiliki tabungan dari hasil jualanku. Anak-anaku dibesarkan dan disekolahkan dari jerih payah pembuatan kue itu. Sebagai seorang guru gaji kami tak seberapa. Hanya cukup untuk pengobatan Emak ke dokter dan membeli gula non-kalori. Emak memiliki penyakit diabetes, maka pengobatan harus rutin agar penyakitnya tak mengganggu organ lain. Selebihnya, yang menopang kehidupan kami agar terus berjalan adalah berjualan kue.



Usai anak pertamaku dibaiat menjadi sarjana, Emak meninggal. Emak jatuh dari ranjang saat hendak bangun. Tiga tahun kemudian menyusul suamiku menghadap Yang Kuasa karena kecelakaan terserempet bus saat mengantar kue dagangan. Dan empat tahun sudah aku ditinggal orang-orang yang aku sayangi. Sebatangkara. Satu-satunya yang menjadi teman dan yang senantiasa menghiburku hanyalah Lastri. Lastrilah yang mengurusi semua keperluanku selama ditinggal anak-anak dan suamiku.

Sering anak-anakku memintaku tinggal bersama salah satu dari mereka. Agar aku tak kesepian. Selain sudah tua, anak-anakku ingin aku ada yang merawat. Tapi tawaran itu aku tolak karena aku tidak ingin menyusahkan mereka.



Itulah alasannya mengapa aku begitu bersemangat tatkala menyambut hari lebaran. Aku membayangkan seperti setahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Rumah ini begitu penuh orang. Kejaran anak-anak. Riuh tawa dan cerita.

Meski hanya setahun sekali anak-anak dan cucu-cucuku datang. Sungguhlah aku rela menunggui lebaran selanjutnya, karena pada saat itulah rinduku terobati.



Jakarta, 11 September

Tidak ada komentar: