Selasa, 04 Mei 2010

Malam Tak Biasa

Cerpen Mei**

Malam Tak Biasa

Malam itu seperti malam-malam biasanya. Udara gelisah yang kadang ikut mempengaruhi hati dan pikiranku.

Kaki kulangkahkan pada stasiun tua.Tempatku menunggu kereta yang akan membawaku menyusuri ladang, sawah, dan pengalaman-pengalaman yang mungkin akan senantiasa membekas.

Menunggu adalah hal yang menjemukan. Maka kuputuskan untuk menikmati malam dengan teh manis hangat dan lontong sate yang rasanya tak bisa kutebak. Kupilih bangku yang tak terlampau dekat dengan lampu. Kuamati lingkungan di sekitar tempatku duduk. Tak ada yang aneh. Meski aku menyadari kekurangan di sana-sini. Tapi malam itu aku memaklumi segalanya.

Lalu pandanganku tertuju pada matamu yang terus mengamatiku.

“Ada yang salah?” tanyaku.

Tak ada jawaban. Senyummu sedikit mengembang dan menggeser alismu yang cukup tebal. Kukira aku tak memerlukan jawabanmu.
Lalu kuamati jalanan yang semakin lama semakin sesak oleh kendaraan roda dua dan mobil mengilap.

Teh manis hangat terhidang.

“Apa yang terjadi sebenarnya?” katamu. Seolah-olah antara mencoba menebak dan bertanya.

Aku pura-pura tak tahu apa yang coba kau maksudkan.

“Jujurlah. Aku ingin kita terbuka,” katamu mulai sedikit mendesak.

Aku masih bungkam. Kukira tak ada yang perlu kujelaskan.

“Biar aku tak salah dengan sangkaan dan pikiranku yang selama ini berkecamuk.”

Aku sedikit terpancing untuk berkata-kata. Namun aku berhasil mengurungkannya.
Kukira, tak perlu berbicara banyak denganmu malam itu. Karena aku tahu, semua itu akan saling melukai.

“Baiklah jika kau tak juga mau bicara,” katamu mulai sedikit menyerah.

Mataku sesekali menumbukkan pada kedalaman pandang matamu yang tajam. Sambil

perlahan tanganku bergerak mengaduk gula dalam gelas.

“Apa pentingnya engkau tahu apa yang kurasakan?”

“Tidak ada. Aku hanya ingin di antara kita saling terbuka.”

Kuaduk-aduk pikiranku seperti tanganku mengaduk gula dalam gelasku, mencoba menerka dan meraba apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan.

Perlahan kuhela napas berat dan panjang. Aku tak terbiasa berbohong. Denganmu sekalipun.

“Apa yang kau tangkap dari perasaanku selama ini?”

“Tidak. Aku tak akan mengatakan sekecil apa pun tentang yang kuketahui. Aku tak bisa menerka-nerka.”

“Lalu, apa pentingnya engkau mengetahui perasaanku?”

“Baiklah kalau engkau keberatan. Aku tak akan memaksamu.”

Akhirnya kita sibuk dengan makanan yang telah tersaji. Meski sebenarnya telah hilang selera makanku sejak mata dan bibirmu menyerang dan menghujaniku dengan banyak pertanyaan.

Engkau adalah lelaki yang penuh dengan semangat hidup. Padamu kutemukan kelembutan dan kebaikan yang kadang sulit kumengerti. Apakah hanya denganku engkau begitu, ataukah sebenarnya telah banyak perempuan yang juga merasakan perlakuan yang sama seperti yang kurasakan. Atau barangkali aku saja yang Gr.

Kurasa, dalam hati kecilku aku sedikit berharap agar malam tak segera berakhir. Biar bisa kuhabiskan malam yang malang ini dengan curahan embun.

Kutimbang-timbang. Sementara itu, kulihat matamu masih menyelidik dan mengharapkan suatu jawaban yang mungkin dapat membuatmu lega.

“Ya. Aku menempatkanmu di sudut hatiku.”

Kuamati wajahmu kembali. Bibirmu mengembang. Matamu sayu menatapku. Kukira engkau telah puas dengan apa yang kukatakan. Dan kurasa mungkin kelelakianmu telah bertambah, menjadi lebih merasa tampan dan lebih merasa memiliki daya pesona, sehingga tak sedikit perempuan akan mematutkan cintanya kepadamu. Kulihat tanganmu membenamkan topi yang perlahan menutupi wajahmu.

“Kamu puas?” tanyaku.

Aku merasa merdeka dari perasaan yang telah lama mengungkungku. Dari kecil orang tuaku selalu mengajarkanku untuk senantiasa berkata jujur meski akibatnya pahit, ketimbang menyimpannya dalam relung hati. Karena hati hanya memiliki ruang yang terbatas, tak seluas samudera yang siap menampung air dari segala penjuru.
Kutebak-tebak sikapmu atas jawaban yang telah kukatakan.

Engkau sedikit gugup mengambil eir jeruk hangat dalam gelas yang ada di depanmu.
Sunggingan senyummu masih belum hilang. Kudengar engkau sedikit tertawa seolah engkau telah memenangkan lotre.

“Terima kasih atas kejujuranmu.”

Dan kali ini tebakanku benar. Jawabanmu bahkan telah kuterka jauh sebelum engkau mengatakannya. Kudengar kata-katamu dengan sabar. Satu per satu meluncur seperti telah mendapatkan ilham setelah tertidur semalam suntuk.

Mulai dari ucapan terima kasih hingga perasaan dan pikiranmu yang selama ini gelisah berusaha menerka-nerka. Kuikuti semua dengan kedalaman hati yang entah mengharapkan timpalannya atau hanya sekadar menguapkannya.

Satu per satu kuperhatikan pengunjung warung tenda itu mulai pergi. Malam semakin larut. Sementara kita masih sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing.

“Aku merasa bahagia dengan kejujuran yang kau katakan kepadaku,” katamu.

Malam itu menjadi malam terakhir. Malam istimewa yan tak pernah kutemui lagi pada malam-malam setelahnya. Karena kita berpisah pada ujung jalan yang telah kita tentukan berbeda. Sesekali kulihat wajahmu dari kejauhan. Namun engkau terlalu jauh, hingga aku hanya menyenyumimu seorang diri.

Kulihat pula engkau merajut dengan tatapan dan sikap yang manja kepada kawan-kawan yang kau anggap menarik hatimu. Kukira cinta memang tak perlu dimengerti. Hingga ruang dan waktu tak memberikannya tempat untuk berkembang.

Kudapati diriku pada keadaan sadar, sesadar-sadarnya. Melumat rasa pahit dan menelannya dalam-dalam untuk kemudian memupuknya menjadi rasa pengertian yang besar akan makna hidup.

Malam terus menggulung gelap. Sementara kita terus berjalan menyusuri jalan berkelok yang sepi dan berpisah di ujung jalan. Lalu kuputuskan kembali ke stasiun. Menghabiskan sisa lembaran buku yang belum selesai. Melumat waktu yang tak lama lagi akan berganti terang.

Esok pagi sekali kereta akan mengantarkanku menuju kota tua yang cantik. Mengunjungi kerabat dan saudara yang telah lama kutinggalkan. Kembali menziarahi masa kanak-kanak yang menyenangkan dan menengok lembarannya satu per satu.

2 komentar:

Ahmad Soleh mengatakan...

Tulisan yang bagus....! aku menyukainya.. mengingatkanku pada masa di Garut dulu...!

Ahmad Soleh mengatakan...

bagus banget....!