Minggu, 03 Agustus 2008


Emas Hitam di Balik Bukit

Kustiah
kustiah@jurnas.com

Rakyat merasa terberkahi dengan adanya tambang minyak swadaya di daerahnya. Tak terbebani harga monopoli Pertamina.

Jalan terjal dengan udara panas mengiringi perjalanan menuju Wonocolo, sebuah desa di Kecamatan Kediwan Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Jauh dari perkotaan membuat
Wonocolo tak ubahnya desa-desa lain di kawasan perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur. Gersang, berdebu, kering, dan panas. Tak ada lagi gambaran desa yang teduh dan adem.

Tepatnya setelah pembalakan hutan secara besar-besaran di tahun 1998, hutan di kawasan Blora Jawa Tengah hingga Wonocolo dan sekitarnya mendadak gundul. Hanya beberapa pohon yang masih tampak kokoh. Usianya ratusan tahun. Biasanya pohon yang selamat dari penebangan liar ini berada di lokasi permakaman. Entah karena pohon itu dianggap keramat atau alasan lain.

Daerah Blora-Wonocolo pernah dikenal dengan kelebatan hutan jatinya. Tak heran jika warga menggantungkan hidup dari hutan. Pak Parjan misalnya. Lelaki 58 tahun ini setiap hari menghabiskan siang di hutan. Berbekal gantar (bambu panjang yang di ujungnya terselip sebilah arit atau pisau yang diikat tali), dia mengambil daun jati. Selanjutnya, di pagi buta, Pak Parjan memikul daun jati yang telah dimasukkan ke dalam karung, dan membawanya ke pasar kota yang jaraknya kurang lebih 12 kilometer.

Pekerjaan lain yang mengandalkan pohon jati di hutan adalah sebagai blandong. Pak Subakri, lelaki gempal berkulit hitam legam ini adalah seorang blandong yang mewarisi pekerjaan itu dari orang tuanya. Setiap siang, ia beserta rombongan mencari pohon jati yang usianya sudah puluhan tahun, lantas me-ngeret kulit pohon jati menggunakan bendo (golok besar).

Dari setiap pohon biasanya didapat dua atau tiga lembar kulit pohon sepanjang dua setengah meter, tergantung dari besar kecilnya pohon. Dalam sehari Pak Subakri biasanya me-ngeret tiga sampai empat pohon. Usai di-keret, kulit pohon dikeringkan, dan siap dijual. Kulit pohon kering tersebut biasa digunakan warga sebagai dinding rumah.

**
Kemakmuran hutan Wonocolo memang tinggal cerita. Perubahan peta politik di tahun 1998 meletupkan perilaku tak bertanggung jawab oknum Perum Perhutani KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang memangkas habis pohon-pohon jati Wonocolo. Akibatnya tinggal 10 persen dari masyarakat yang bisa terus bergantung hidup dari hutan sebagaimana Pak Parjan dan Pak Subakri.

Setelah pohon-pohon jati musnah dan hutan menjadi gersang, banyak warga kini beralih profesi. Yang memilih bertani, mereka memanfaatkan lahan gersang dengan menanami jagung. Hanya beberapa orang yang tetap bertahan mengandalkan hutan. Yang lainnya berpindah profesi, bergabung di pertambangan minyak tradisional sebagai kuli pikul.
Wonocolo tidaklah sulit dijangkau. Sekitar dua setengah jam dari Kota Cepu ke utara menempuh jalan beraspal sepanjang 30 meter, disambung jalan terjal berbatu 7 meter.
Dari jarak 500 meter sudah terdengar keramaian aktivitas sumur minyak. Setidaknya di daerah gersang berbukit itu ada lebih dari 25 sumur minyak beserta pengolahannya. Di masing-masing sumur terdapat satu mobil timba buatan Inggris atau biasa disebut truk tronton. Tronton tua tanpa roda tersebut dipergunakan mesinnya untuk menarik dan menceburkan suling yang telah dililiti tambang. Suling dari besi itu akan membawa minyak mentah atau biasa disebut dengan lentung ke permukaan.

Di setiap tempat pengambilan minyak ada empat sampai lima orang. Dua orang bertugas menggerakkan mesin tronton, satu orang menumpahkan minyak ke kubangan tanah, dan satu atau dua orang lainnya mengalirkan minyak dari kubangan atas ke kubangan bawah. Kubangan-kubangan itu dibuat untuk menyaring minyak.

Berbeda dengan tempat pengeboran minyak yang ramai, tempat pemasakan minyak yang berada di lembah justru tampak sepi. Hanya dua atau tiga orang yang bertugas di dapur pertambangan ini. Dua atau satu orang bertugas mengambil minyak mentah di tempat pengeboran, dan satu orang memasak minyak.

Perlu waktu sepuluh jam untuk membuat minyak itu siap digunakan. Delapan jam untuk memasaknya, dilanjutkan dua jam proses pendinginan. Mereka biasanya mulai memasak dari pukul 8 pagi hingga pukul 16. Selesai minyak mentah ini dimasak, didapatlah bensin, solar, dan bensin campur solar yang masing-masingnya ditampung dalam drum-drum (satu drum = 220 liter). Dalam sehari, didapat satu hingga dua drum minyak hasil olahan yang siap dijual.

**
Sumur-sumur yang usianya sudah ratusan tahun itu kini milik Pemkab Bojonegoro melalui badan pengelola yang dioperasikan dengan sistem sewa ke perorangan. Sedangkan para pekerjanya dibayar dengan sistem upah, rata-rata Rp15—25 ribu per hari. Hanya dengan menjadi pekerja tambang inilah anak-anak mereka bisa sekolah meski hanya sampai SD atau SMP. Pekerjaan ini pula yang membuat dapur mereka tetap mengepul.

Di tengah-tengah krisis ekonomi, minyak hasil jerih payah warga Wonocolo ini dirasakan betul manfaatnya, tidak hanya oleh warga setempat tetapi juga warga di kecamatan sekitarnya. Selain karena tak mengenal kehabisan stok, harga minyak Wonocolo murah meriah, jauh dari harga Pertamina.

Sebelum kenaikan harga BBM awal tahun lalu, saat Pertamina menjual bensin Rp4.200 per liter, harga bensin Wonocolo hanya Rp2.800 per liter. Solar dari Pertamina seharga Rp4.000 per liter, solar Wonocolo Rp2.200 per liter. Harga minyak Wonocolo juga berubah-ubah, mengikuti perubahan harga yang dipatok Pertamina.
Soal kualitas, jangan ditanya. Bensin-solar Wonocolo tak kalah mutunya. Bahkan sebagian petani lebih memilih bensin Wonocolo ketimbang bensin keluaran Pertamina. Pasalnya bensin Wonocolo mengandung solar, sehingga para petani tidak perlu mengeluarkan uang lebih banyak lagi membeli solar untuk mencampuri bensin sebagai bahan bakar traktor mereka.

Sekelumit kisah tentang Wonocolo memang bukan lagi menjadi rahasia perorangan saja. Menurut cerita para pekerja, di tahun 1879 saat pendudukan Belanda, sumur-sumur minyak di Wonocolo ini dikuasai secara turun-temurun oleh seorang saudagar kaya yang sekaligus menjabat sebagai Lurah Wonocolo.

Keadaan berubah setelah Indonesia merdeka. Memang awalnya sumur-sumur minyak ini sempat menjadi rebutan antara Pertamina dan warga sekitar. Tetapi setelah berlangsungnya negosiasi antara pihak Pertamina dengan warga setempat, sumur-sumur tersebut dibebaskan, dan diserahkan sepenuhnya kepada pengelola setempat. Meskipun tak lagi ada hutan lebat, masyarakat Wonocolo tetap bisa mengais rezeki dari sumur minyak yang entah sampai kapan dapat terus ditimba.

Tidak ada komentar: