Rabu, 30 Juli 2008

Perpisahan


Aku pergi untuk menyembunyikan lukaku. Bukan untuk meninggalkanmu seperti persangkaanmu padaku. Meski kemudian engkau menelfon memintaku untuk kembali.
“bulan di sini terang iyang. Kenapa engkau tak segera kembali. Tahukah kamu aku begitu kangen” ucapmu lewat telefon kala itu.

Dan aku kembali pada kebimbanganku apakah benar aku akan meninggalkanmu.

Kembali aku pada kenangan saat pertama kita bertemu.

Aku duduk pada sudut sofa biru yang warnanya sedikit memudar. Begitu juga dengan teman-temanku. Mereka bersandar sembari membaca termasuk aku, dan sebagian lagi bercerita. Terdengar salah satu kawan menceritakan perjalanannya ketika pulang. Maklum, kami anak perantauan yang sedang belajar di kota . Maka jika ada di antara kita pulang kampung cerita-cerita menarik dan lucu menghiasi perjumpaan.

Aku masih malu-malu waktu itu. Barangkali karena usiaku paling muda diantara mereka, selain perempuan satu-satunya. Tak jarang saling ejek pun tak terelakkan. Tak tahan karena mendengar cerita lucu salah satu kawanku tawa tak bisa aku tahan. Serta merta aku pun mengomentarinya.

Aku ingat betul, engkau tak berbasa-basi menertawakanku habis-habisan. Padahal di antara kita tak saling mengenal. Kau katakan logat jawaku membuatmu geli.
Aku tak biasa jika orang menertawakanku tanpa permisi, maka tak mau kalah aku ganti mengejekmu. Dan begitu selanjutnya. Hingga akhirnya aku menanyakan identitasmu pada temanku dan engkau sebaliknya.
Perjalanan demi perjalanan secara tak sengaja kita lalui bersama.
Dan rasa ingin tahu tentang dirimu lebih mendesak. Hari ke hari, bulan ke bulan selanjutnya adalah rasa melindungi dan menghargai. Hingga saatnya engkau menjengukku di kala aku sakit.

Kenangan memang menyebabkan luka. Dan jujur sering kali justru karena kenangan itu aku merasa tak mampu lagi melanjutkan perrjalanan.

“Iyang,, rumah seperti apa yang akan kita bangun,,,”

Air mata tak terasa menetes. Aku kembali tak memiliki daya untuk bersembunyi di balik luka.

Kata-katamu tak ada indikasi merayu atau membualiku. Aku tahu bahkan memahamimu melebihi tahumu tentangku.

Daeng,,

Mungkin engkau tak perlu tahu ternyata hingga saat ini aku masih menyimpan kenangan itu.

Minggu lalu aku berkunjung ke kotamu. Menemui jalan-jalan yang pernah kita lalui. Tak ada bekas,, aku tahu. Bahkan masjid tempat kita menunggu azan itu telah dipugar. Padahal kita bersepakat desain masjid itu begitu unik dan menarik.

Kemudian kususuri jalan menuju kampus tempatku belajar, tempat kita bertemu di akhir pekan seusai kelasku.

Aku tahu jalanku salah. Meninggalkanmu tanpa menemuimu. Sekadar ucapkan maaf. Kita tahu janji yang kita buat ternyata hanya menjadi pengingat.

Atau lebih baik kita tak pernah tahu bagaimana keadaan kita. Biarlah aku melumat kenangan itu bersama pahitnya.

Tidak ada komentar: