Senin, 17 November 2008

Di Suatu Hari nan Indah

Tak ada yang istimewa pada pertemuan kali itu. Hanya senyum simpul dan tatapan redup yang sebentar tertunduk dan sebentar tenggelam dalam diam. Lelaki itu datang pada awal tahun tepat saat aku mengharapkan kedatangannya.
Yang kuingat dari hari itu adalah matanya yang bulat seperti bulan tenggelam dalam air kali di samping rumahku.

11 September.. entah di tahun ke berapa kita pergi mendaki bukit yang tak terjal amat. Ada beberapa kawan yang menyertai pertemuan kita. Berhenti pada bebatuan bukit dan berbicara di sana.

“Tentu engkau tak keberatan aku ajak bicara di sini,” ucapmu.

Lalu kita memulai dengan berbicara antara aku dan kamu.

Kadang diam-diam kupandangi wajahmu. Dan jantungku hampir berhenti saat aku kau pergoki telah mencuri pandang.

Tak lain karena aku tak memiliki keberanian menatap tajamnya matamu. Engkau tak akan melepaskannya.


“Biarkan aku mencari keyakinanku Nggi. Aku tak yakin kau mampu meyakinkanku”
Perjalanan telah lama aku tempuh. Namun berkali-kali kandas.

“Mengapa tak kau lanjutkan kejaran cintamu dengan perempuan yang kau idamkan.”

Kemudian aku diam. Memberi jeda. Tak lama kau merespons apa yang aku katakan.

“Aku telah mengenalmu lama. Meski tak pernah berhasil menemukan wajahmu, aku telah tahu sinar dan kedalaman hatimu. Percayalah. Aku bisa kau percaya untuk meyakinkanmu.
Dan benar. Aku menemukanmu persis seperti yang aku bayangkan dan kutemui dalam mimpiku.”

Angin sore berembus tipis. Kulihat kabut mulai beranjak merapat menuju kaki bukit.

Dan kita turuni jenjang bukit menuju pos terakhir rombongan kita. Meski pertemuan bukanlah awal, dan perpisahan bukanlah yang terakhir. Aku menghendaki perpisahan. Karena pada saat itulah harapan tumbuh untuk bertemu denganmu di suatu hari nan indah.

Tidak ada komentar: