Senin, 17 November 2008

Dirimu, Diriku

Diam-diam aku menyimpan rindu. Pada hijaunya sawah dan perawannya jalan yang sering kulewati. Bersama ketiga sahabatku,,dengan ribuan semangat bersaudara.
Canda tawa tak pernah lepas. Sedih pun luruh jika bersama mereka.
Tidak jarang bahkan, kami bolos kuliah hanya untuk bertandang ke kos teman yang lain. Tapi yang lain boleh iri jika kita selalu membuat takjub teman sekelas karena presentasi mata kuliah. Tentu bersama mereka.

Sore ini kangen terhadap mereka berkelindan tak menentu. Membicarakan hal yang ringan bersama mereka menjadi serius dan berat.
Kami telah berpisah terhitung sepuluh tahun. Dan barangkali Shinta telah menyekolahkan anak pertamanya ke Sekolah Dasar. Dan Lia, tentulah anaknya akan masuk sebuah Taman Kanak-kanak. Aat, sahabatku yang hitam manis itu. Ia sangat perfeksionis untuk seorang laki-laki. Tak sembarang memilih orang menjadi teman hidupnya. Aku sendiri heran dibuatnya. Yang dipilihnya memang sederhana seperti yang ada dalam pikiranku..cerdas, baik, dan pengertian. Tak perlu ganteng, hanya cakap dan berkepribadian tentunya.
Sulit memang. Tak semudah teorinya Eric Fromm atau Lutfi,,ternyata sampai usia kepala tiga lebih pun kami sulit menemukannya.

Beberapa sore ini aku sering menghabiskan waktuku di beranda. Membacai kata-kata yang pernah kugoreskan pada berlembar-lembar kertas. Tersenyum dan kadang lebih banyak mengernyitkan dahi.
Dan kenangan tak tinggal diam dalam sebuah kertas. Ia mengajakku berkelana mengunjungi masa lalu yang telah beranjak.
Tentulah aku takkan menjadi perempuan yang menyedihkan begini jika aku menjalani hidup biasa-biasa saja.
Pekerjaan lebih banyak menyita waktuku dari pada kesenangan-kesenangan lainnya.
Tak sempat olehku memikirkan laki-laki dengan serius. Hati dan otak ini lebih banyak menilai dan membaca yang dekat denganku.
Betapa hidup telah kubuat seserius ini.
Teman-teman dengan anak-anak dalam pangkuannya sering menanyaiku soal yang mereka anggap keanehan itu.
“laki-laki seperti apa lagi yang hendak engkau terima Tia”.

Jika sudah begitu aku akan susah menjelaskan apa yang jadi kehendakku. Dan tak mungkin aku jelaskan panjang lebar mengenai pilihan-pilihanku. Karena pertanyaan itu tidak untuk mengetahui jawaban beserta penjelasannya. Yang dibutuhkan hanyalah aku mengikuti jejak mereka. Menikah yang penting berjenis kelamin laki-laki,ah...

Sungguh pedih. Hingga akhirnya harus mempertahankan ikatan pernikahan dengan sekam yang membara di dalamnya.

Selanjutnya tak kulanjutkan lagi membacai surat-surat lama yang tertimbun tumpukan buku tahunan lalu. Hanya membutuhkan komputer untuk menghilangkan penat dan rasa rindu pada sahabat-sahabatku itu.

Benar memang. Terasa hidup demikian sunyi tanpa sahabat yang dengan setia dan rela menghabiskan waktunya bersamaku.
Datanglah ingatanku pada laki-laki gondrong ceking dengan dandanan tak pernah necis.
Ketidaksengajaanlah pertemuan itu sebenarnya.

Memang awalnya datang dari satu mulut ke mulut lain. Hingga perjodohan sesama kawan dimulai.

Kemudian datanglah ia mencegatku untuk berbicara lebih banyak dan dekat. Tepatnya di sebuah pertemuan perwakilan mahasiswa se-nusantara.

“Bolehkah aku mengundangmu untuk ngobrol malam ini di depan pendopo,” ia memulai.

Dan tak bisa kutolak karena aku memang tak bisa mengatakan tidak untuk hal baik. Dan ku iyakan saja ajakan itu.

“Sebanyak ini kau ajak kawan-kawanmu sekadar menemuiku”

“Iya. Mereka tak percaya padaku bahwa aku juga sanggup berkenalan dengan seorang perempuan. Sepertimu.”

Mulailah perbincangan yang dibuka dengan perkenalan. Dan diskusi tak bisa dihindarkan lagi. Karena kami sama-sama memiliki kebiasaan, kesukaan, dan semangat yang sama. Hingga kami tak merasai bahwa pagi telah mengirim embun dan angin dingin.

Setelah perbincangan di tengah malam laki-laki gondrong itu seperti telah mengiisap shabu. Ketagihan dan ketagihan. Dan di malam-malam seterusnya kami berdiskusi hingga mata tak mampu membelalak lagi.
Di hari lainnya kami menghabiskan waktu tidak di dalam Simposium tapi di beberapa narasumber. Kami keranjingan untuk menemui dan mewancarai. Hanya diperlukan kesabaran untuk mendengarkan cerita, kisah kebesaran yang telah lalu. Dan kami berdua dengan satu kawannya kembali menuju wisma tempat kami bertemu awalnya.

Ah,,betapa aku telah merasa mengenalnya lebih setelah jabatan tangan kala itu.

Entah berapa kilo jalan yang telah kita susuri. Dan entah berapa ribu kata yang telah kita untai dan rangkai bersama. Bertemu denganmu seperti tak habis topik pembicaraan. Tak pernah bosan mendengar dan mengucap. Itulah yang kurasakan selama dekat denganmu.
Selalu kutemukan semangat baru dan kudapat energi baru....dan akhirnya tak ada lagi kata pencarian. Yang ada adalah membangun dan mengerti,,,

Tidak ada komentar: