Senin, 17 November 2008

Gerimis di Tepi Jendela

Aku menunggu pada tepi jendela yang sedikit terbuka. Gerimis pun tak kunjung reda meski telah mencurah berjam-jam lamanya. Lampu-lampu telah kunyalakan. Dan semua pintu telah aku tutup. Aku masih berdiri pada tepian jendela yang tak sepenuhnya aku buka. Aku khawatir pada petir yang terus menyambar.

“Semoga engkau baik-baik saja di mana pun berada”.

Seperti permintaan atau lebih tepatnya doa, aku memandangi pintu gerbang halaman dengan tak henti-hentinya mulutku berkomat-komit. Berharap pintu itu segera kau buka dan aku akan merasa lega.

Namun harapan itu kembali kosong. Sedang petang terus meredup. Awan ikut mewarnai gelap. Jam dinding berdentang enam kali. Aku keluar dari kamar menuju teras rumah. Biasanya engkau akan bahagia jika aku yang membukakan pintu.
Kutunggui beberapa menit dengan memperhatikan jatuhnya air pada pucuk-pucuk bunga.

Akhirnya aku menyerah pada dingin dan kembali kututup daun pintu menuju sofa.

Gemericik air mengantarkanku pada lamunan. Karena sendiri, aku lebih banyak berpikir jika tidak dikatakan melamun. Pikiran beranjak mundur. Dan perasaan bersalah mengaliri darah di seluruh tubuhku.

Bersalah telah mendiamkanmu karena rasa kesal yang tak bisa kutahan. Dan saat engkau pergi bekerja seperti sedianya.

Pertengkaran kecil itu membuatku tak nyaman. Meskipun engkau akan tetap memperlakukanku dengan baik. Seolah-olah tak terjadi apa-apa engkau akan mengawali pembicaraan dengan menceritakan aktivitasmu selama seharian penuh.

Mungkin itu kelebihanmu, pikirku. Bisa melupakan pertengkaran dengan segera.
Berbeda degan aku yang lebih sering memendam dan menyimpannya. Menunggu waktu yang tepat untuk segera mengatakannya. Tak jarang keluar protes dan marah.

Seperti kali ini. Karena seminggu ini Engkau tak pernah bertanya bagaimana kabarku.

“Pekerjaanmu lebih bisa menuntutmu ketimbang sekadar bertanya bagaimana keadaan istrimu. Dan tentu kau akan memilih kesenanganmu akan pekerjaan-pekerjaan itu.”

Tak kau jawab apa yang telah aku katakan. Dan kau kembali dengan muka masam.

“ Bukankah aku yang seharusnya marah dan bermuka masam,” tambahku. Kau masih juga tak menghiraukan.

Kali ini aku tak bisa merendahkan suaraku. Apa pun namanya, aku lebih tidak suka Engkau diam seribu kata.

“Baiklah, besok aku akan pergi mengunjungi seorang kawan. Akan kutinggalkan pekerjaanku untuk sementara waktu.”

Tak perlu menunggu lama. Sudah kupastikan kau akan mengatakan atau melakukan sesuatu.

“Pergi saja. Senangkan dirimu jika kau merasa tersiksa berada di rumah ini” katamu dingin.

Serta merta aku menuju kamar. Mengemasi kopor dan buku yang hendak aku bawa.

Kali ini aku benar-benar tak perlu merasa bersalah jika harus pergi.

Jendela ini menjadi saksi tiap datang sedihku. Dan aku akan berada di tepiannya membuang pandangan ke luar.

Pertemuan kita berakhir dengan rasa sakit yang kutanggung. Entah berapa lama.

Tapi selalu ada maaf, entah berapa banyak yang aku miliki. Hingga kita lupa pada pertengkaran lusa, dan lusa.

Medio Desember

Tidak ada komentar: