Kamis, 29 Januari 2009

Kematian

Kustiah**

Mati atau tidak bernyawa. Tapi lebih tepatnya wafat untuk mengabarkan berita buruk atas kecelakaan maut yang terjadi di dekat tempatku bekerja sore itu. Manusia datang, berkerumun. Satunya berkomentar, lainnya mengintip dengan telapak tangan yang ditutupkan di mukanya.

Sore menjelang malam. Bahkan sore sudah serupa dengan warna aspal, gelap. Kerumunan manusia semakin melebar dan keramaian tak terelakkan.

Tak mampu menahan rasa penasaran, aku segera melompat menuju kerumunan.
Kulihat tubuh terkulai di atas tanah tanpa alas apa pun. Rambut sebahu telah bercampur tanah. Muka pucat. Mata terpejam dengan kedua tangan tersedekap di atas perut. Separuh tubuhnya tak bisa kulihat dengan jelas. Sebatas perut hingga kaki telah tertutupi koran. Hanya ujung jari-jari kakinya yang tampak. Tak jauh dari tubuhnya, sendal tergolek tanpa pasangan.

Polisi sibuk mengeja, mengabari, berdesas-desus. Manusia berkerumun terpaku, gelisah. Hatiku tak kalah gelisahnya. Ingin kutanyakan kepada siapa pun, apa yang terjadi?, bagaimana bisa terjadi?, bagaimana selanjutnya?

Aku mundur. Lalu kembali pada sebuah tubuh yang tak kukenal. Kupandangi, sisanya lagi hatiku bergetar.

Tubuh itu kini sendiri. tanpa nyawa yang menggerakkannya. Tak ada keinginan atau kemarahan, apalagi penyesalan. Tubuh itu kini pasrah. Sendiri bersama alam yang diam.

Wajahnya kulihat sunyi. Usianya mungkin tak jauh dari usia ibuku. Yang hidupnya sedang bergulat untuk anak-anaknya. Mungkin dia sendiri tak ingin meninggalkan anak-anaknya di rumah dengan jerit tangis tak rela. Atau melihat suaminya terkejut dengan kepergiannya yang mendadak, tanpa pamit dan kecupan manis.

Aku menunggui. Hingga akhirnya mobil ambulans datang menjemput. Mengangkatnya dan entah akan membawa tubuh itu ke mana. Kulihat tanah bekas perempuan tadi terbaring. Darah kental meluber. Segera laki-laki datang dengan membawa pasir dan menumpahkannya ke atas darah kental. Di ujung aspal, darah masih terlihat berkilauan. Merah bercampur hitam aspal.

Oh Tuhan. Tenangkanlah raga tubuh yang baru saja Kau ambil Ruhnya. Tenangkan pula Ruhnya. Tabahkan hati anak-anak dan suaminya. Saudara-saudara dan orang-orang yang mengenalnya. Mungkin kepergian ini tak ia kehendaki, dengan pedih dan sakit yang ia rengguk di pinggir jalan ini.

Aku percaya. Engkau senantiasa memberikan yang terbaik bagi hamba-hamba-Mu. Maka tak ada kesalahan dan yang disalahkan. Jika semua telah Kau kehendaki,,maka aku hanyalah menjadi penonton-Mu saja.

Biarlah jalan ini menjadi saksi atas ketidakberdayaan tubuh menahan sakit. Ketakberdayaan manusia yang pada akhirnya memang akan kembali kepada-Mu. Biarlah aku mengingat kenangan pahit ini tiap memijak jalan yang telah menjadi saksi nyawa hamba-Mu terenggut. Yang bisa jadi tanpa dampingan siapa-siapa, tanpa air putih terteguk, atau air mata menetes, nyawa pergi meninggalkan tubuh. Semua telah terjadi.

Tidak ada komentar: