Minggu, 04 Januari 2009

Penjual Kacang

Oleh: Kustiah**

Hujan rintik. Langit tergores hitam samar-samar. Mungkin gerimis belum cukup menerpa sore ini saja. Bisa jadi hingga larut malam.

Kututupi daganganku dengan lembaran plastik. Seperti malam lalu, aku akan menunggu hingga penumpang kereta terakhir datang untuk menghabiskan dagangan.
Kuusap mukaku dengan ujung lengan bajuku. Hari ini aku lupa membawa payung. Lupa telah menyusahkanku. Sering aku marah pada diri sendiri karena lupa.

Suatu kali aku lupa membawa kantong plastik untuk bungkus dagangan. Dan sangat terpaksa aku harus mengeluarkan uang untuk membeli kantong plastik kembali. Padahal jika tidak lupa, uang yang aku keluarkan untuk beli kantung plastik bisa aku gunakan untuk membeli lauk dan ongkos sekolah.

Sungguh aku kesal karena lupa. Lupa telah banyak merugikanku. Di lain waktu aku lupa membawa payung. Alhasil aku harus menahan dingin sepanjang sore hingga tengah malam karena bajuku basah kuyup akibat kehujanan saat berangkat berdagang.

Itulah sebabnya aku membenci lupa. Tapi apa mau dikata. Antara keinginan untuk tidak lupa dengan ketidaksadaran saling mendahului. Maka aku harus lebih bersabar lagi menghadapi kepikunanku di saat aku masih muda.
Maka aku berpesan dalam hatiku. Jika tiba-tiba ingat sesuatu aku tak boleh menyia-nyiakannya. Harus segera melakukan jika tidak ingin menyesal.

Seperti malam lalu. Aku tanpa payung. Untungnya hanya gerimis. Air jatuh tak sebesar hari kemarin. Aku mencoba menaksir sisa dagangan. Kira-kira masih ada sepuluh bungkus lagi. Satu bungkus kacang seharga tiga ribu rupiah. Jika pembeli hanya meminta dua ribuan maka jumlahnya akan bertambah atau sekitar dua puluhan bungkus.

****************

Namaku Surni. Ibu biasa memanggilku Sur saja. Tanpa Ni di belakangnya. Aku tinggal bersama ibuku di sebuah desa nan dingin. Orang biasa menamai desa tempat tinggal kami desa hujan. Karena hampir bisa dipastikan desa kami diguyur hujan atau gerimis sepanjang hari. Kata orang-orang pintar itu karena desa kami berada di dataran tinggi dengan banyak pohon. Dan kata orang-orang pintar lagi itu karena desa kami sangat rimbun. Bahkan kami lebih sering merasakan kedinginan ketimbang panas. Maka tak heran jika banyak orang kota mulai banyak menempati lahan-lahan kosong di desa kami untuk tempat tinggal mereka. Saat aku tanya ke ibu dari mana mereka datang, ibu mengatakan bahwa mereka dari kota.

Setidaknya itulah cerita kecil yang aku ketahui tentang tetangga-tetangga baruku. Kata ibu lagi, mereka lebih suka tinggal di desa dingin dan rimbun seperti di desa kami. Di kota, tambah ibu menjelaskan udara panas dan pengap. Jalanan macet dan bau selokan di sepanjang jalan menyengat. Aku tidak tahu kapan ibu pergi ke kota sampai ia bisa menceritakan keadaan kota demikian detail. Aku pun tahu kota hanya dari koran-koran yang tidak sengaja aku baca. Biasanya para penumpang kereta melemparkannya begitu saja di dekatku lalu aku memungut dan membacanya.

Tapi yang membuatku bertanya-tanya dalam hati, mengapa tetanggaku tidak menyukai pohon. Bukankah mereka menyukai dingin dan rimbun?. Dulu sewaktu aku melewati jalan menuju rumah, pohon-pohon rindang seperti hantu raksasa. Saat malam hanya ada gelap dan jalan berkerikil yang aku lalui. Hanya sinar lampu dari rumahku samar-samar menerangi. Dan jika langkahku telah mendekati rumah, dengan segera aku berlari kencang karena takut. Aku merasa ada seseorang yang mengikutiku.

Berbeda lagi saat siang hari. Jika tidak gerimis, sepulang sekolah aku biasa jalan dengan teramat pelan. Karena aku makan mangga yang kuambil dari tegalan tetangga. Jika ketahuan ibu aku akan habis dimarahi. Maka dengan jalan pelan-pelan di bawah rimbun pohon nan sejuk aku bisa menghabiskan mangga hasil jerih payahku. Itulah salah satu kenangan tak terlupakan yang aku miliki.


Sayang, pohon-pohon itu telah tiada. Aku hanya bisa mengenangnya. Tak bisa lagi mengulang masa indah memahat cerita untuk esok. Tetanggaku telah menebangnya untuk dibangun rumah bergaya spanyol. Dengan hiasan pohon-pohon bonsai yang ditanam dalam sebuah pot plastik. Dan sekeliling halaman hanya ada keramik mengilat.

Saat aku tanya ibu tentang sebuah kotak putih dengan kabel besar bertuliskan LG yang menempel di dinding rumah tetangga, ibu bilang bahwa itu alat pendingin ruangan. “Jika kamu kegerahan kamu bisa menyalakannya. Tidur akan menjadi nyaman dan pulas,” kata ibu. Sayangnya lagi aku tidak bisa membayangkan apa yang telah ibu katakan. Berada di dalam rumah keramik berdinding tembok seluruhnya dengan udara dingin. Ah, pasti mereka tidak pernah keluar rumah. Merasakan udara luar yang dingin menusuk tulang. Apalagi harus ditambahi alat pendingin. Apa karena pintu mereka tidak pernah dibuka maka mereka kepanasan? Kataku membatin.

Tentu ibu tahu kotak putih menempel di dinding itu apa. Suatu hari tetangga baruku mengundang ibu datang ke rumah mereka. Kata ibu mereka meminta ibu membantu memasak untuk syukuran rumah baru mereka.

Jadilah sekarang aku tinggal bersebelahan dengan orang kaya yang bentuk rumahnya bergaya spanyolan. Yang warna keramik halamannya lebih bagus dari dinding rumahku. Tanaman dalam pot plastiknya pun tak pernah kulihat sebelumnya. Aneh-aneh. Ada yang berbentuk ayam. Rumput hijau yang tampak lembut pun memenuhi tanah yang menghampar. Semuanya kecil dan tampak indah dan cantik. Seperti selaras dengan model rumah.

Kalau dibandingkan dengan bentuk rumahku seperti langit dan bumi. Di depan rumahku berjajar pohon mangga. Di bawahnya ada bayam, kemangi, dan daun ubi jalar. Sedang di luar pagar menjulang pohon randu. Tapi memang benar kata ibu, rumah ini sebelumnya milik seorang duda yang ditinggal anak-anaknya ke kota. Dan diubahlah sedikit-sedikit di sana-sini oleh bapak.

Jarak rumahku dengan stasiun tempat aku berjualan sekitar tiga kali lebar lapangan sepak bola yang ada di desaku. Aku biasa menempuhinya dengan berjalan kaki. Kadang jika tidak ada pekerjaan membantu memasak di rumah tetangga ibu akan mengantarku ke stasiun. Daganganku setiap hari sepulang sekolah adalah lima kilo kacang tanah rebus. Setiap hari ibu membelanjakannya setiap pagi untukku. Mengayuh sepeda menuju pasar selepas mengantarku ke sekolah.

Kami tinggal berdua saja di rumah ujung jalan yang berdinding setengah bawah bata dan setengah atas kayu. Bapak yang membelikan untuk kami sebelum aku lahir. Aku sendiri belum pernah bertemu bapak hingga usiaku menginjak lima belas tahun. Suatu kali saat aku tanyakan perihal bapak, ibu menjawab bahwa bapak pergi mencari uang di pulau seberang. Dan aku percaya apa yang sudah ibu katakan. Meski aku pernah mendengar cerita lain dari tetanggaku bahwa bapak sudah menikah jauh sebelum menikahi ibuku. Dan ia kembali ke pangkuan anak istrinya.
Suatu kali aku mencoba menanyakan bapak sekali lagi. Dan ibu menjawabnya dengan linangan air mata. Kemudian menceritakannya padaku panjang lebar. Itulah keputusan besar ibu yang menceritakan sejarah hidupnya kepadaku. Mungkin karena aku dianggapnya telah cukup matang untuk mengetahui semuanya.

Saat itulah aku hanya menyayangi ibuku selain kakek tua yang berjualan lontong tahu di samping tempatku berjualan.

Kulihat jam yang menempel di dinding stasiun menunjukkan pukul 10. Malam bertambah dingin. Aku menggeserkan daganganku ke tembok agar lebih hangat. Sepiring lontong tahu pemberian kakek telah habis kukunyah. Kakek penjual sendiri pun telah pulang tadi setelah azan isya. Di stasiun tinggal para penjual buah dan aku saja. Karena gerimis penjaga stasiun yang bertugas menarik karcis hanya terlihat berdiri di samping pintu stasiun saja. Biasanya jika tak hujan atau gerimis ia akan berbincang denganku. Menunggu penumpang terakhir turun atau sekadar menemaniku sambil mengobrol.
Sama sepertiku, sama-sama menunggu penumpang kereta terakhir. Jika ia menunggu penumpang kereta terakhir turun untuk memeriksa karcis, aku menunggu penumpang kereta terakhir untuk daganganku. Barangkali sebelum memutuskan melangkahkan kaki menuju rumah masing-masing mereka ingin mengemil kacang. Membeli dagangan yang kugelar setelah zuhur tadi.

Kutunggu kereta terakhir datang. Jika tidak terlambat kereta akan sampai stasiun tempatku berjualan pukul sebelas malam. Menunggu hingga tengah malam datang menjemput.

Tidak ada komentar: