Minggu, 11 Januari 2009

Kangen

Oleh: Kustiah**


Kupandangi telepon yang hanya berada tiga meter di depanku. Sambil kusandarkan tubuhku di tembok kamar, mataku tertuju pada telepon genggam yang tergolek di atas meja.

”You become the meaning of my life”

Lagu milik Micheal Learn To Rock mengalun sayup-sayup dari laptop di atas kasur. Aku berdiri menuju ruang yang paling aku sukai di antara ruang-ruang lain di rumahku. Sebuah ruang kecil tanpa atap dan perkakas apa pun kecuali dua pot kembang dan batu koral. Di ruang ini aku merasa ada tempat yang menampung kesepianku. Bebas menghirup udara segar dan menatap awan tanpa terhalang atap.

Sambil menyucup air di gelas yang kupegang dengan kedua tanganku kulihat dua pot kembang. Satu pot kembang kantil yang tumbuh besar dan subur kudapat dari seorang teman kerja di kantor. Satu kembang yang kedua kuperoleh dari taman di kantor tempatku bekerja .

Kutinggalkan mengharap-harap telepon berbunyi. Satu jam lalu suamiku menelfonku, tapi entah kenapa aku masih menunggu suaranya di ujung sana. Sudah seminggu lebih ini dia berada di luar kota untuk menyelesaikan tugas akhirnya.

Perasaan gelisah saling mendesak di relung hati dan jiwa. Aku sulit mengendalikannya. Antara kangen, sepi, dan beberapa persoalan saling lompat dan tindih. Handuk kulingkarkan pada leherku karena baju yang kukenakan berkerah terlalu rendah.

Aku kembali mengingat di mana aku lebih sering sendiri. Menyulam sepi dan mengetik setiap kata di memori otak.

Baik di Garut, Semarang, Yogyakarta, maupun di Jakarta bagiku makna sepi tetap sama. Tak ada yang berubah. Sepi, air mata, dan janji.

Entah, apakah ada hubungannya antara kehadiran atau keberadaan. Terkadang dengan serampangan aku menerjemahkannya antara waktu menjelang menstruasi dengan keadaan jiwa yang memang benar-benar dirundung sepi. Tak ada penaklukan kecuali berdamai pada diri dan keadaan.

Menunggu juga bukan lebih baik. Tapi sangat berarti jika aku memaknainya sebagai pelaku yang menaklukkan waktu.

Wajah suamiku berkelindan. Ingat saat berdiskusi menjadi saat menyenangkan. Atau bangun tidur melihatnya tertatih menghampiriku di dapur dengan mata setengah terpejam.

”Masak apa Ma?”

Suara parau dan rambut tebal hitam yang tak teratur hanya mengenakan kaus dalam putih dan celana sebatas lutut menambah penampilannya seperti anak lima tahunan yang berlari mendekati ibunya yang sedang memasak.

Aku tersenyum.

Atau sebelum bangun, ia akan memanggil dan mencariku.

Suami, ibu, adik, simbah, dan semua orang yang ada di pikiranku menghampiri. Saling berganti dan memeras air mata. Semakin aku ingin bertemu semakin air mata ini berderai.

”Perasaan apakah ini?”

Aku mencoba memberi toleransi dengan menuliskannya di dalam laptopku.

Hanya harapan yang mampu menghidupiku dengan baik. Dengan sepi, air mata, dan janji aku yakin jiwaku baik-baik saja. Dengan ribuan janji dan untaian doa aku terus menanamkan benih kebaikan.

Tidak ada komentar: