Rabu, 07 Januari 2009

Menuju Stasiun

Oleh: Kustiah**

Pada sebuah jalan kulewati waktu siang dan malam. Gang sempit yang lebih banyak orang dan rumah saling berjejal ketimbang tanah atau jalan lapang.. Aku lebih memilih jalan ini meski lebih banyak bau, sering berpapasan, dan tak kurang saling bersenggolan. Terkadang pun aku harus menunggu odong-odong lewat terlebih dahulu, atau melewati riuhnya anak-anak bermain.

Jalan itu tak ada sisi kanan atau kiri. Aku selalu menyebutnya tengah jalan. Karena di tengahlah aku bisa berjalan.

Melewati gang sempit saat malam hari lebih menyenagkan ketimbang siang. Selain aku tak perlu membuka payungku, selalu saja ada yang menarik yang bisa aku amati di waktu malam.

Di sepanjang jalan ini kulihat gadis-gadis remaja bergandengan tangan, berbicara keras diselingi tawa lebar kadang berderai. Melangkah ke depan lagi kulihat sepasang mata melotot mengamati betis hingga paha melenggok,,tak lain milik gadis-gadis itu. Kulihat mereka masih seusia adik perempuanku yang sedang sekolah menengah atas, sekitar 17 tahunan.

Tapi mungkin saja aku salah. Di Jakarta, tubuh bisa mengelabui. Badan bongsor dengan dandanan centil belum tentu dikatakan remaja. Bisa saja mereka berusia 13-an tahun atau sedang sekolah menengah pertama. Yang kupersoalkan bukanlah umur, tapi lebih pada kepintaran mereka berdandan yang bisa membelalakkan mata laki-laki yang saat itu mungkin sedang stres atau kelelahan sepulang kerja. Aku tersenyum melihat bapak setengah tua itu masih melotot. Melangkah ke depan lagi kulihat seorang gadis muda, terkaanku sedang duduk di kelas satu menengah pertama. Sedang asyik menempelkan ponsel ke kuping yang di jepit dengan bahu kirinya. Tangannya kulihat sibuk memainkan sebuah kayu mengorek tanah. Bicaranya enteng, terdengar bahasa anak muda Jakarta, ”Lu, gue, dan kemudian centil Namur tampak serius”.

Jalanku memasuki gang sempit itu memang sengaja kupelankan. Aku merasa tidak sendiri. Mereka di sepanjang jalan itu seperti dekat dan kukenal. Mungkin karena aku melewatinya sepanjang hari. Dan selalu menebar senyum pada ibu-ibu yang selalu duduk-duduk di setiap sisi jalan setiap aku lewat.

Aku tak peduli dikatakan sok kenal. Bagiku mengatakan permisi dan senyum adalah tindakan yang membuat hati dan mukaku nyaman. Seolah mukaku yang kencang sedikit kendur. Mulutku yang tidak rata dengan pipiku terasa tenggelam dan enak. Jika mulutku tenggelam ke dalam aku lebih merasa hidungku tampak mancung. Kemudian merasa percaya diri bahwa aku tidaklah jelek amat Aku kembali tersenyum.

Langkah demi langkah tak terasa mendekati jembatan yang menghubungkan aku dengan stasiun. Tempat di mana aku harus segera bersiap-siap merasakan ketaknyamanan.
Tapi kurasa masih jauh. Paling tidak seratus langkah lagi untuk menjangkaunya. Dan aku masih menikmati gang sempit itu.

Semakin dekat terdengar suara riuh anak-anak, langkah lebih kupelankan. Mereka sedang asyik bermain lompat karet. Memenuhi jalan. Hampir tak ada sedikit pun sela bagiku untuk lewat. Karet yang ditali memanjang dibentangkan dipegang dua anak perempuan. Majulah satu per satu baik anak laki-laki maupun perempuan untuk melompaati tali karet itu. Jika ingin menang dan bisa terus melompat maka tali itu tak boleh tersentuh baik oleh kaki maupun tangan.

Langkahku terhenti. Sekadar lewat aku harus menunggu hingga mereka benar-benar sadar bahwa ada orang lain yang ingin lewat.
”Hoi,,biahrkan ibu lewat dulu. Minggir-minggir”, kudengar teriakan ibu-ibu tak jauh dari tempat anak-anak bermain. Dan melangkahlah kakiku. Dan aku kembali tersenyum pada anak-anak dan menyapa ibu-ibu. Menganggukkan kepala tanda terima kasih telah mengingatkan mereka.

Kutengokkan kepalaku ke kanan dan kekiri. Awas akan kondisi gang sekitar. Saat kepalaku kutengokkan ke kiri, masih kulihat seperti hari-hari lainnya, seorang kakek tua dengan baju sama seperti kemarin sedang tertunduk lesu. Tubuhnya kecil. Di perutnya dibenamkan entah apa ditutupi bajunya yang longgar. Sehingga tampaklah perutnya membuncit. Suatu kali aku pernah memergoki lelaki tua itu membuka baju longgarnya yang lusuh. Dan di keluarkanlah sesuatu dari balik bajunya. Seperti kain yang dililit-lilit membentuk ikatan tali tampak seperti tambang dek yang biasa digunakan di kapal.

Rambut kakek itu putih, panjang sebahu. Mukanya penuh kerutan. Kulit tua tapi tak muncul sedikit pun raut kesedihan. Mulutnya datar dengan kumis dan janggut panjang tak terurus. “Tentulah bapak ini tampan waktu mudanya” aku membatin. Tak ada alasan aku takut dengannya. Meski tatapannya kosong. Lebih sibuk dengan gelang-gelang yang melingkar di tangannya. Sesekali senyum-senyum sendiri. Aku tetap minta permisi kepadaanya. Aku tahu ada yang salah. Entah kakek tua itu paham atau tidak, tapi aku telah berhasil untuk tidak takut dan lari darinya. Kutinggalkan kakek itu.

Sepuluh meter melangkah, kali ini kulewati laki-laki kira-kira berumur 40-an. Pandangannya menerawang. Meski aku tahu dia mengambil posisi enak dengan berbaring di sebuah kurs panjang. Kubuyarkan lamunanya,,”Permisi pak”, kataku.

“O ya,ya,,silakan bu,” jawabnya kaget. Kembali aku tersenyum. Kali ini aku sudah berada di ujung gang. Tepat di balik pintu besi yang biasa ditutup saat tengah malam. Di balik pintu besi itu pula ada warung rokok milik seorang nenek tua. Buru-buru kulangkahkan kakiku. Khawatir jika ada motor melintas. Karena pada ujung gang itu ada kelokan jalan. Juga tempat di mana tukang ojek mangkal. Maka aku tak ingin nasibku sial dengan menyerahkan tubuhku untuk disenggol motor.

Tiba di ujung gang berarti aku sudah melewati jembatan yang menghubungkan aku dengan stasiun. Begitu sampai di jembatan ini biasanya suamiku mengingatkan. ”Lebih baik setiap hari engkau lewat jalan gang tadi. Nyawamu tidak terancam dari serempetan bus atau motor”, pintanya yang berkali-kali diulang dan diulang.

Bagiku gang ini tidak sekadar jalan sempit yang kumuh. Melainkan jalan tengah yang memberikan kenyamanan ketimbang melewati trotoar jalan umum yang lumayan lebar. Aku tak perlu ketakutan jika tiba-tiba ada motor di belakangku. Biasanya di gang ini pengendara akan lebih pelan dan menunggu pejalan kaki memberinya jalan. Berbeda dengan trotoar jalan besar itu. Meski telah berada di trotoar tempat pejalan kaki berjalan, tidak jarang ada motor meraung-raung di belakangku. Atau saat aku melompat menghindari lubang selokan menganga, aku merasa seperti ada mulut ular di dalamnya siap menelan kaki dan mengunyah kakiku dengan lahap.

”Ngungggg,,ngungg”. Bunyi kereta lebih jelas terdengar. Dan tinggal lima puluh langkah lagi kakiku segera menjejak stasiun tempat kereta kutunggu. Biasanya aku harus bersiap-siap menutup hidung. Meski tak ada bau menyengat seperti gang yang kulewati belum lama ini. Aku merasa mual. Bukan ada bau busuk truk tempat sampah yang mangkal di samping stasiun itu. Tapi asap rokok yang mengepul. Di antara jari mereka. terjepit rokok dengan berbagia aroma.

Jika begini rasanya aku ingin kembali ke kantor tempatku bekerja melewati gang-gang sepit yang kumuh menyapa mereka. Atau segera aku ingin sampai di rumahku yang sepi dan lengang. Tapi tak mungkin kuhindari asap itu kecuali menutup hidungku rapat-rapat. Menahan sesak lebih baik ketimbang berpikir tidak realistis. Karena bagaimana pun juga tubuhku butuh istirahat. Jiwaku butuh imaji. Pikiranku butuh kejernihan. Lalu kuhempaskan napasku jauh-jauh. Menunggu kereta dan menyiapkan diri berjejal dengan berbagai ukuran tubuh dan aroma. Aku telah terlatih karenanya. Hingga tak kurasakan lagi mana yang kusebut wajar dan tidak. Bagiku bedesakan di dalam kereta sama halnya bekejaran dengan motor yang tak terkendali di jalan itu. Bahkan aku merasa lebih aman di dalam kereta meski tanpa penerangan. Itulah yang kusebut ketidakwajaran.

Sementara bermotor aku bisa leluasa bernapas, di dalam kereta jangan kira aku bisa berdiri tenang. Untuk bernapas aku harus mencari celah yang biasa aku dapatkan dari ketiak manusia menjulang tinggi dengan tangan panjang terangkat ke atas pepegang pada gelang-gelang kereta. Aku mencoba menghirup napas meski bercampur bau keringat.
Aku terdiam.

Antara air mata dan keringat saling mendahului. Maka menangis tak ada gunanya. Aku hanya bisa bertahan hingga kereta ini berhenti di stasiun ke-16.

Tidak ada komentar: