Selasa, 02 Februari 2010

Jasa Keuangan Otoritas Siapa?

Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia tampaknya masih jauh dari panggang. Hal ini ditandai dengan masih adanya perdebatan penting atau tidaknya OJK sementara deadline pembentukan OJK sudah di depan mata yakni tahun 2010. Kebijakan pembentukan OJK sudah diputuskan berdasarkan UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Keputusan tersebut bukan tanpa landasan. Krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat sistem keuangan Indonesia limbung. Maka lahirlah kesepakatan pembentukan OJK yang menurut undang-undang tersebut harus terbentuk pada tahun 2002.
Namun sebagian kalangan sepertinya masih alergi jika OJK terbentuk. Faktanya di tahun 2002 draf pembentukan pun masih belum ada. Pada tahun 2004 akhirnya UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia tersebut direvisi, menjadi UU No 24 2004 yang menyatakan tugas BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Untuk mencapainya, BI melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan dengan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
OJK bukan sebuah kesepakatan di atas kertas. Apalagi deal-deal politik yang bisa ditarik jika menguntungkan dan diulur jika tidak menguntungkan. Lebih dari itu, OJK adalah sebuah cita-cita akan sebuah lembaga yang bisa melakukan pengawasan secara ketat seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi (UU No 24 2004 tentang Bank Indonesia). Maka lahirlah undang-undang tentang pembentukan OJK ini dengan harapan esok hari krisis keuangan tak kan terulang seperti tahun 1997-1998.
Dalam sebuah pertemuan antara bank sentral Asia di Nusa Dua tahun lalu penjabat Gubernur Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom mengeluarkan statemen perihal OJK. “Seharusnya pimpinan otoritas jasa keuangan (OJK) seharusnya dipegang oleh Gubernur Bank Indonesia. Alasannya, sistem keuangan dalam perekonomian Indonesia masih didominasi oleh perbankan,” katanya.
Miranda mencontohkan kepala otoritas jasa keuangan di Prancis dan Belanda dijabat gubernur bank sentralnya. Adapun posisi jabatan lain bisa berada dari luar bank sentral. Dengan komposisi ini, pasokan informasi ke bank sentral untuk pembuatan kebijakan moneter yang tepat bisa terjamin. "Yang penting kepalanya sama," kata Miranda di Nusa Dua, Bali, pada akhir pekan lalu. (Koran Tempo)
Masih menurut Miranda, keberadaan otoritas jasa keuangan bukan satu-satunya jaminan keberhasilan pengawasan. Kasus bangkrutnya Bank Northern Rock di Inggris akibat subprime mortgage di tahun 2008 sebagai salah satu contohnya.
Sementara itu menurut pendapat salah satu Pengamat Ekonomi Dr Tata Huberta dalam artikelnya yang berjudul “Debat Mengenai Pengawasan Intensif Bank-bank”, rencana pembentukan suatu lembaga pengawas bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada hakikatnya merupakan kecenderungan (trend) yang banyak terjadi di berbagai negara di dunia. Inggris, misalnya, mulai mengembangkan konsep ini dengan membentuk apa yang disebut Financial Services Authority (FSA). Jepang pun sama, mengembangkan apa yang disebut Japan FSA. Australia juga melakukan pendekatan sejenis dengan membentuk Australian Prudential Regulatory Authority (APRA). Sementara itu, masih banyak lagi negara-negara maju maupun berkembang yang sudah maupun ingin mengembangkan konsep seperti itu.
Tata beranggapan pembentukan OJK di Indonesia pada hakikatnya merupakan bagian dari "tuntutan zaman". Langkah ini dimaksudkan untuk dapat mengikuti perkembangan yang terjadi secara cepat pada sektor jasa keuangan, terutama dengan munculnya konglomerasi di sektor itu. Suatu bank misalnya, memiliki anak perusahaan berupa perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, perusahaan leasing, dan sebagainya. Dengan demikian, dalam keadaan terkonsolidasi, maka tali-temali antarperusahaan itu makin lama makin erat. Bahkan, di negara yang menganut konsep universal banking, hubungan antara berbagai kegiatan itu lebih erat lagi, karena dilakukan oleh suatu perusahaan atau bank yang sama. Dengan demikian, apa yang terjadi pada perusahaan sekuritas, akan dapat mempengaruhi kegiatan di bidang perbankan, begitu pula sebaliknya. Karena itu, pemisahan yang terkotak-kotak dari sisi pengawasannya akhirnya akan menimbulkan suatu in-efisiensi di bidang pengawasan maupun adanya risiko tidak tercakupnya pengawasan perusahaan jasa keuangan itu secara lebih menyeluruh.
Saat debat itu dimulai dalam pembahasan Undang-Undang Bank Indonesia tahun 1998 dan 1999, kenyataan itu agak terkaburkan dengan prioritas yang lebih tinggi, yaitu bagaimana dapat mengatasi krisis perbankan di Indonesia secara cepat. Dengan mulai terselesaikannya krisis itu, maka langkah berikutnya untuk membentuk lembaga itu menjadi lebih mendesak. Sementara itu, momentum yang ditimbulkan oleh perubahan di negara-negara lain pun akhirnya dapat mengilhami proses pembentukan lembaga itu di Indonesia.
Pembentukan "Financial Stability Wing"
Sementara itu, ada pula perkembangan yang sejalan dengan proses pelepasan otoritas pengawasan bank-bank itu dari bank sentral. Dalam hal ini, konsep pembentukan Financial Services Authority di Inggris disertai reorganisasi di Bank Sentral melalui pembagian tugas Bank of England ke dalam dua bagian penting, Monetary Stability Wing dan Financial Stability Wing. Perkembangan ini juga terjadi di tempat-tempat lain.
Bank Sentral Swedia misalnya (atau dikenal dengan Riksbank), pada dasarnya memiliki lembaga pengawasan bank yang terpisah sudah puluhan tahun lamanya. Namun, dengan adanya krisis perbankan di negara itu pada awal tahun 1990-an, akhirnya ada suatu tekad dalam bank sentral negara itu untuk secara intensif mengikuti perkembangan bank-bank yang masuk dalam kategori bank-bank yang sistemik, yaitu bank-bank yang karena besarnya dapat menyebabkan guncangnya stabilitas seluruh sistem perbankan jika terjadi masalah dengan bank itu. Karena itu, dalam perkembangannya, Riksbank lalu membentuk apa yang disebut Financial Stability Wing.
Dalam konsepnya, Financial Stability Wing menangani dua tugas penting. Tugas pertama menyangkut pengawasan prasarana keuangan, yaitu Sistem Pembayaran seperti kliring antarbank, kliring elektronis, maupun juga sistem Real Time Gross Settlement system (RTGS) sebagaimana kini sudah dikembangkan Bank Indonesia sampai ke berbagai kota. Demikian juga kliring surat-surat berharga, seperti saham maupun surat utang Pemerintah. Kedua bentuk sarana kliring itu memiliki tali temali yang tinggi dan pada hakikatnya mengandung risiko sistemik yang amat tinggi.
Tugas kedua adalah menyangkut pengawasan bank-bank yang masuk kategori sistemik. Dalam hal ini ukurannya adalah berapa besar peranan bank itu dari keseluruhan total perbankan. Selain itu, mungkin juga ada bank yang meski kecil tetapi memiliki tingkat sistemik tinggi. Contohnya, jika bank itu menjadi settlement bank dari pasar modal. Meski kecil, jika bank itu bangkrut maka serta-merta transaksi pasar modal akan amat terpengaruh.
Karena itu, "trend" baru ini perlu dipahami bersama munculnya "trend" pembentukan lembaga semacam Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (“Debat Mengenai Pengawasan Intensif Bank-bank”, Tata Huberta).
FSA Inggris
Inggris disebut-sebut sebagai negara dengan kondisi perbankan yang sehat sebelum kasus bangkrutnya Bank Northern Rock. Hal tersebut tak terlepas dari keberadaan OJK, di mana FSA (Financial Supervision Authority) memiliki tugas mengawasi berbagai lembaga keuangan, termasuk bank, pialang saham, dan pengelolaan dana pensiun. Namun kesuksesan OJK tersebut tertepis setelah Northern Rock tak mampu diselamatkan. Selanjutnya kebangkrutan Bank Northern Rock disusul krisis keuangan yang melanda negeri Paman Sam yang berakibat pada krisis keuangan negara-negara lainnya di dunia..
Northern Rock adalah bank negara yang didirikan oleh pemerintah Inggris. Menurut laporan setebal 183 halaman yang disampaikan oleh pejabat Bank Northern Rock, regulator City telah gagal secara sistematis dan FSA Inggris dinyatakan tidak melakukan regulasi perbankan sebagaimana mestinya. Kasus ini telah mencoreng imej OJK Kerajaan Inggris yang mendapatkan julukan memiliki FSA terbaik dibanding negara-negara tetangganya.
Sebelum tahun 1990 FSA adalah sebuah badan hukum perusahaan asuransi yang kemudian menggabungkan diri dengan Badan Investasi dan Sekuritas (SIB) pada 7 Juni 1985 atas dorongan bendahara kerajaan. Bendahara kerajaan sendiri memiliki kewenangan menjual sejumlah perusahaan yang bermasalah sesuai dengan delegasi yang ditujukan untuknya. Pasca- kolapsnya Barings Bank di tahun 1990, UK berkeinginan membentuk jasa industri keuangan di bawah pengawasan regulator.
Terlepas dari berbagai kontroversi tentang OJK, undang-undang telah disepakati dan diketuk. Badan independen ini akan melakukan tugasnya sesuai yang termaktub dalam UU No 24 2004 tentang Bank Indonesia. Maka tidak ada jalan lain kecuali melanjutkan atau sekali lagi melskukan amandemen. Kustiah

1 komentar:

nismara mengatakan...

Apapun keputusan yang diambil oleh politisi senayan, saya yakin bukan untuk kepentingan bangsi yang lebih hakiki. mereka hanya punya kepentingan sesaat. Sebagaimana pengalaman di negara lain, pemisahan dan penggabungan fungsi pengawasan dari bank sentral hanyalah cermin dari ideologi politik belaka, siapa berkuasa mereka bersuara. (contoh mutakhir:inggris).
Cuma saya belum melihat ideologi yang pasti dari politisi senayan ini, jangan-jangan ideoligonya masih sama : UANG.