Selasa, 02 Februari 2010

Kenang-kenangan Terakhir


Tiga tangkai bunga layu tergolek di vas bunga di atas mejaku. Warnanya yang semula putih cerah dan kuning tajam telah berubah menjadi kehitaman sedikit membusuk karena lembab.

Bunga itu sebentar-sebentar saja kuperhatikan, jika hendak menuju dapur atau mau mengambil CD (compact disc).
Walau telah layu, bunga itu terasa spesial. Meski tak sespesial ketika pertama kali diletakkan.

**************
Pukul setengah enam pagi laki-laki yang tergolek di sampingku bangun dan tiba-tiba beranjak pergi keluar kamar. Sambil mengganti pakaian dan mencari peci, laki-laki yang tak lain suamiku mengatakan bahwa ia ingin ikut melepaskan jenazah Gus Dur, ulama yang dikaguminya itu menuju bandara untuk selanjutnya diterbangkan ke Jombang.

Saat itu mataku masih terpejam menikmati empuknya bantal dan terpaan semilir angin dari pintu kamar yang terbuka.

“Ya, pergilah. Kalo sudah selesai lekas pulang ya. Hati-hati di jalan.”

Tidak biasanya suamiku terbangun saat matahari masih tertidur. Lalu aku mengerti, bahwa kepergian sang idola telah membuatnya ikut berduka.

Pukul 10 kami janjian untuk bertemu di Stasiun Pasar Minggu, karena akulah yang membawa kunci rumah.

Kuperhatikan dari jauh tangan suamiku melambai. Lalu kudekati lambaian tangan itu. Kami duduk pada rel besi kereta yang telah didesain menjadi tempat duduk. Laki-laki ini meletakkan bungkusan Koran lalu membukanya, juga segebok beberapa Koran harian yang terbit hari itu.

Tiga tangkai bunga.
“Hari ini aku bersedih” katanya tenang.
“Hanya bunga inilah yang terakhir menjadi kenang-kenangan dari seorang Gus Dur. Juga berita Koran-koran yang mengabarkan kepergiannya”

Kulihat sudut matanya basah. Sampai hari ketujuh setelah kepergian orang yang dikaguminya itu, tak pernah kudengar suamiku tertawa. Sungguh kepergain Gus Dur membuat kami terasa amat berat melepaskannya. Kesederhanaan, keberanian, dan kejujurannya membuat kami kagum sekaligus bangga pernah memilikinya.

Tidak ada komentar: