Selasa, 02 Februari 2010

Pada sebuah malam tak bertuan


Pada sebuah malam tak bertuan di Stasiun Pasar Minggu. Musik bergantian berdentang. Suara beradu, mulai dari musik penjual CD sampai detak tubuh kereta yang sebentar datang, sebentar pergi.
Begitu pula pikiranku yang menerawang, kadang jauh, kadang pada anak-anak yang berlarian di depanku. Kuperhatikan anak kecil lain yang berdiri 10 meter dari tempatku duduk, bersandar pada tiang stasiun. Bajunya kumal, tampak dari kejauhan kulit mukanya yang kusam.
upandang anak itu lekat-lekat. Kakinya telanjang tanpa sandal apalagi celana panjang yang menghangatkannya. Kutatap matanya, kali ini dudukku kudekatkan pada tiang, tempat di mana anak itu berdiri. Matanya sayu, mengingatkan mataku semasa kecil.
Anak itu usianya sepantaran dengan keponakanku, kira-kita empat tahunan. Kuperhatikan matanya tak lepas kepada anak-anak yang berlarian dengan riang di depannya.
Kucari-cari, barangkali ada orang tuanya di sekitar anak itu. Yang kulihat hanyalah keramaian orang lalu lalang hendak naik kereta, kesibukan penjual minuman melayani pembelinya, dan anak itu sendiri terpaku.
Ingin aku berdiri, mendatangi dan memeluknya. Akan tetapi aku khawatir akan membuatnya takut. Hari ini banyak kasus penculikan anak, juga robot gedek yang gemar menyiksa dan menyodomi anak-anak. Kuurungkan niatku mendekati anak itu. Aku ingat berita dari Koran yang kubaca tempo hari. Ada anak sesusia 6 tahun yang dimutilasi. Kepalanya dibuang di bawah jembatan, sedang tubuhnya dipotong menjadi beberapa bagian. Polisi menemukan tanda-tanda anus anak itu disodomi dengan benda tumpul sebelum akhirnya anak malang itu dimutilasi.
Saat membaca berita itu air mata hatiku seperti luruh, darah dalam tubuh seperti luruh jatuh ke kaki, detak jantungku seperti tergesa-gesa mengejar napasku. Mataku merembes.
Anak malang yang dimutilasi itu ternyata anak jalanan yang biasa menginap di rumah laki-laki setengah baya yang memutilasi tubuhnya.
Napas hidungku terasa berat, seperti ada yang menghalangi. Ternyata ingusku sudah menyumbat rongga hidung.
Mataku masih melihat anak yang besandar di tiang itu. Kulihat matanya tampak lelah. Di waktu begini, anak-anak di kampungku biasanya telah terlelap tidur di samping orang tuanya. Pulas tergolek entah di amben atau di kasur empuk. Memimpikan bekejaran dengan teman-temannya atau bermimpi bermain bersama teman-temannya di sekolah. Anak yang bersandar di tiang di depanku pelan-pelan kuperhatikan duduk dan menyelonjorakan kakinya. Rambutnya semakin tampak olehku kusut dan seperti tak pernah dikeramas.
Ingin kutepuk pantat dan kuelus rambut anak itu. Tentunya kumadikan dan kukeramasi terlebih dulu. Kubaringkan anak itu lalu kuceritai yang indah-indah tentang kisah-kisah hebat, mimpi masa depan, dan cita-cita besar.
Musik dari tape tua dengan lagu-lagu tua timbul tenggelam menyayat-nyayat. Melengkapi pedihnya hatiku.
Kusenyumi anak itu saat matanya melihatku. Pikiranku merangkai-rangkai kata. Ingin kukatakan sesuatu yang membuatnya tenang dan nyaman. Anak itu diam, memainkan uang koin yang ada di tangannya. Kali ini tangannya menggoreskan koin itu di atas lantai bata yang berdebu.
Kepalanya menunduk, sesekali melihatku dengan cepat. Lekas-lekas kepalanya menunduk seraya tangannya tetap memainkan koin.
Mulutku masih membentuk simpul senyum, dan mukaku kucera hkan .
”Namanya siapa dik?”
“Bagas.” Kudengar suaranya lirih menjawab.
“Siapa dik?” kuulang pertanyaanku.
“Bagas”
“Ooo, Bagas!!!”
“Bagas tinggalmya di mana?”
Anak kecil itu terdiam.
Kudengar kereta yang kutunggu datang.
Membawa anak kecil itu bersamaku tentu tidak mungkin.
“Bisa disebut penculikan, atau bisa jadi orang tuanya akan mencari anak lelakinya, menangis dan bersedih karena anaknya tidak pulang” batinku.
Tapi hati dan pikiranku mendesak-desak untuk membawanya serta. Menyogoknya dengan uang puluhan ribu dan mengajaknya tinggal bersamaku.
Tidak mungkin aku melakukannya atau meninggalkannya seorang diri. Keduanya tak mungkin kulakukan. Kereta semakin mendekat. Kudekatkan mukaku ke mukanya.
“Besok kita ketemu lagi ya”.
Kupegang tangannya yang masih menggenggam koin. Lembaran uang kertas itu mungkin tak membantunya meraih masa depan yang baik. Tapi aku menginkannya esok dia kembali ke sini, meski aku tak tahu apakah akan menemukannya.Di mana dia akan tidur malam ini dan malam-malam berikutnya?
Bagaimana hidupnya? Berbagai pertanyaan berkelindan, saling mendesak dan membuat relung hatiku semakin sempit. Kereta membawaku pergi menjauhinya. Dan tubuhku kutenggelamkan pada lautan manusia dalam perut ular besi. Sampai kapan aku akan melihat anak-anak seperti yang malam ini kulihat? Kemiskinan, kemiskinan, kemiskinan dan banyaknya orang yang gemar korupsi dari hari-ke hari akan menambah jumlah anak yang seharusnya tak menanggung beratnya hidup. Seharusnya mereka tak ada di stasiun di tengah malam begini, tak ada di jalan-jalan yang asap dan motornya bekejaran. Juga tak menengadahkan tangannya untuk mengisi perutnya yang keroncongan, juga tak bermain di tempat-tempat berbahaya dan kotor. Ya Tuhan,, berapa lama lagi kau akan tenggelamkan bumi ini dengan kepedihan.

Tidak ada komentar: