Selasa, 02 Februari 2010

Surga untukmu Ibu

18.00 wib Jakarta, 14 Januari 2010

Semenjak tahu pentingnya berdoa, aku selalu meminta kepada Tuhan supaya dalam menjalani kehidupan senantiasa diberi kemudahan.
Kemudahan menyelesaikan sekolah, kemudahan mendapatkan pekerjaan, kemudahan menemukan jodoh, kemudahan mendapatkan keturunan, kemudahan jika sakaratul maut menjemput dan kemudahan-kemudahan lainnya.
Benar, beberapa kemudahan telah Tuhan berikan dengan cara dan jalan yang aneh, yang di kemudian hari aku mengerti bahwa Tuhan memberikan yang terbaik.

Namun malam ini aku diuji untuk kesekian kalinya. Tuhan sepertinya hendak menguji kesabaranku. Kemudahan belum sampai kepadaku.

Selepas magrib dokter menungguku. Tanda tangan harus kugoreskan di atas lembaran kertas yang menanyakan kesediaanku untuk ditangani. HSG.

Sehari setelah dokter kandungan menyatakan bahwa aku harus melakukan serangkaian pemeriksaan rahim, malam-malamku diwarnai gelisah dan ketakutan. Suami ikut sibuk mencarikan informasi apa itu HSG, efek samping dan apa saja rangkaian pemeriksaan-pemeriksaannya.

Meski telah berusaha untuk tenang, tangan dan perasaan sepertinya telah bekerja sama. Tangan meremas, menggenggam satu sama lain. Suara di ujung telepon telah mengingatkan jadwal pemeriksaan yang akan dilaksanakan.

Dan keputusan harus diambil.
Sebelum memasuki ruang radiologi, terlebih dahulu aku harus menebus obat dan segera meminum dua butir sekaligus.

“Ini obat mulas bu,” kata perempuan muda, asisten sang dokter.
Tanpa penolakan, pil sebesar jerawat itu pun kutelan. Tak lama perempuan itu pun kembali memberikan intruksi.

“Silakan ibu ganti baju,” katanya lembut sembari menyodorkan baju terusan berwarna biru.
Intruksi demi intruksi kuikuti. Ketegangan mampu kutepis meski tak sepenuhnya, dengan cara membuka percakapan dan perkenalan.
Perempuan muda ini tentulah sudah sangat mahir menangani tindakan medis yang akan dilakukannya.
Kutanyakan apakah perempuan itu tidak takut dengan dampak radiasi, mengingat setiap hari ia bersentuhan dengan alat ini.

“Tentu khawatir bu. Tapi kan ada safety-nya,” jawabnya.

Dipan yang berbentuk meja persegi panjang ditata. Lampu penyinaran dibenarkaan letaknya. Tubuhku digeser kekanan kekiri.

“Nanti ikuti aba-aba saya bu ya,” katanya.
Perempuan muda itu keluar. Pintu ditutup. Kudengar langkah cepat-cepat mendekat dan pintu dibuka.

“Tarik napas, lepaskan, tahan.”
Sekali lagi kuikuti perintahnya. Sepuluh menit berlalu.

Sang dokter memasuki ruangan dengan peralatannya. Kali ini kecemasan dan ketakutan tak bisa kusembunyikan. Berkali-kali aku meminta dokter bercerita. Tak puas dengan cerita singkat sang dokter yang semakin sibuk menyiapkan peralatan, kulemparkan pertanyaan-pertanyaan yang kira-kira akan membutuhkan jawaban panjang.

“Kaki diangkat pelan-pelan ya bu,” kata dokter.

Kaki kuletakkan pada penyangga dibantu asisten dokter. Dokter mengingatkanku untuk berdoa, supaya semua berjalan lancar dan baik-baik saja.

Kali ini aku ingat pada doa-doa yang biasa kupanjatkan.
Selang sebesar kabel headset sepanjang sepuluh sentimeter dimasukkan ke dalam saluran indung telur. Selang inilah yang nantinya menjadi penghantar obat yang akan disemprotkan ke indung telur.
Selang sedikit demi sedikit mulai menyentuh dinding-dinding rahim. Saat itu kurasakan betapa mulas bercampur ingin muntah tak tertahankan.

Beginikah rasanya menjadi perempuan. Tiba-tiba aku ingat pada perempuan setengah baya yang ada di kampung halaman. Ibuku.

“Dok, berapa lama lagi dok. Masih lamakah dok. Dokter punya anak berapa dok?”.

“Anak saya tiga bu.”

Dengan sigap dan cekatan tanpa intruksi asisten dokter menempatkan pegangan tangan yang terletak di pinggir dipan supaya tubuhku tetap tertahan pada tempatnya.

“Pegangan erat-erat bu ya. Dipan bagian kepala akan direndahkan,” kata sang dokter.

Dipan atas mulai diturunkan 90 derajat. Monitor dinyalakan, lampu sinar X tepat memotret di atas perut. Tampak pada monitor kondisi kabel yang pasang di saluran indung telut. Cairan berwarna cokelat masuk dan menyebar dengan cepat. Pada saat yang sama perut mules hebat kembali menyerang, seluruh isi perut seperti hendak keluar, mirip antara hendak buang hajat dan kencing.

“Dok, apakah melahirkan juga seperti ini rasanya?”

Terdengar tertawa kecil sang dokter.

“Lihat bu, Alhamdulilah kondisinya baik semua. Cairan tak terhalang apa pun,” kata dokter menenangkan.

“Alhamdulilah”.

Mulas sedikit terobati dangan berita gembira dari sang dokter.
Terima kasih Tuhan. Telah kau kabulkan doaku. Dugaan PCO yang ada di dinding rahim oleh dokter sebelumnya tidak benar. Lega.

Kan kuterima apa yang akan kau percayakan kepadaku, Ya Tuhan. Pun sejujurnya kupintakan kepada-Mu keturunan yang kelak akan mendoakanku beserta suamiku. (sementara hati terdalamku mengatakan “Belum apa-apa aku sudah menyiapkan tugas untuk anak-anakku”)

Kabel pelan-pelan dikeluarkan dari gua garbo. Dan penyinaran kembali dilakukan untuk mengetahui hasil akhirnya.

Tuhan, kupintakan kepada-Mu jagalah Ibuku, perempuan-perempuan di dunia ini. Berikanlah perlindungan lewat kekuatan hebat kuasa dan tangan-Mu. Karuniakanlah kepada mereka kesabaran tak terhingga, dan sediakanlah surga yang lapang .
Betapa cengengnya aku saat itu. Air mata berjatuhan, ingin sekali aku menyungkurkan diriku pada kedua lutut dan kaki perempuan yang telah melahirkanku. Betapa selama ini aku telah menjadi anak yang banyak melakukan kekhilafan dan telah membuatnya sering merasa besedih.
Ya Tuhanku, betapa telah kau jadikan hamba-Mu perempuan beranak pinak memenuhi bumi. Semoga mereka menjadi hamba kesayangan-Mu karena telah mengahadiahimu anak-anak sholeh-sholehah...

Tidak ada komentar: