Selasa, 02 Februari 2010

Selera Sang Pemberani



Aku bukan seorang dokter, yang tahu banyak tentang bahan-bahan yang terkandung dalam rokok dan bahayanya. Tapi setidaknya aku tahu tentang bagaimana semestinya menjaga kesehatan.
Di seminar-seminar kesehatan, dari buku, dokter, dari papan reklame rokok yang memamerkan produknya supaya dilihat banyak orang dan dibeli, juga dari bungkus rokok, aku diberitahu, membaca, dan diperingatkan bahwa rokok itu membahayakan.
Tak jarang aku menyatakan keberatan jika ada orang mengisap rokok dan menghembuskan asapnya di dekatku.
Sampai saat ini aku belum pernah melihat ada orang merokok yang menahan asapnya supaya tidak menyembul dan tercium orang lain. Karena itu tidak mungkin.

Menurut seorang kawan, justru nikmatnya merokok itu jika sudah diisap dalam-dalam dan asapnya disembulkan. Lebih nikmat lagi jika ada yang melihat aksinya itu. Tapi rokok akan sedikit terasa pahit jika saat menyembulkan asap ada orang yang memelototinya.
“Tapi soal itu mah saya sudah kebal,” katanya.
Maksud “kebal” adalah sudah sering ia dipelototi orang karena aksinya yang macho tadi.
Justru karena teguran atau pelototan orang.itulah dirinya semakin menjadi pemberani.

“Jadi benar kata iklan rokok, bahwa rokok “seleranya pemberani”. Saya jadi berani membalas memelototi orang yang memelototi saya. Bahkan saya tidak akan segan-segan adu jotos apalagi cuma adu mulut,” tambahnya. Aku bilang O O saja.

“Pantas gigimu kuning dan napasmu bau,,” candaku.
“Karena kalau gigi tidak kuning dan napas tidak bau katamu tidak macho”.
Ia menyeringai.

Di stasiun, pasar, jalan, kantor, dan di mana saja jarang kutemukan orang tidak mengisap yang kata Taufik Ismail namakan “tuhan tuju senti itu”.
Apa nasionalismeku harus pelan-pelan luntur hanya gara-gara rokok? Jika tidak, kenapa tidak ada yang membelaku, bahkan presidenku sekalipun. Ke mana lagi harus mengadu bahwa aku sudah tidak tahan dengan asap putih yang arogan dan sombong itu. Kenapa pula aku harus mual-mual jika asap itu tercium olehku.

“Jika ingin menghirup udara segar, tinggal saja di hutan!,” kata seorang kawan.

“Di hutan juga belum tentu udaranya bersih. Hutan sekarang tidak ada pohonnya. Hanya namanya saja hutan. Kalaupun ada pohonya, biasanya hanya pohon-pohon yang berdiri rapi di pintu masuk hutan. Begitu masuk ke dalamnya kamu bisa main sepak bola atau futsal.”

Di mana aku harus tinggal dengan nyaman, tidak menghirup asap rokok?

“Halah, kamu itu sudah tersugesti dengan apa yang dikatakan dokter. Banyak orang merokok, faktanya umurnya juga panjang. Ada orang yang tidak merokok, hidupnya malah penyakitan dan meninggal. Ada juga dokter yang merokok. Toh manusia nantinya juga pasti mati,” kata kawan meyakinkan. Bangga dengan argumennya yang ia anggap benar.
“Apakah aku harus tidak memercayai dokter, para ahli kesehatan, buku-buku yang memaparkan data-data berapa banyak korban yang meninggal akibat rokok. Berarti seminar-seminar kesehatan juga bohong?” katakuku.

Lalu, mengapa dokter, seminar, reklame, bungkus rokok memberi tahu, berkoar-koar, mencantumkan bahayanya merokok?

Kenapa juga bos-bos perusahaan rokok menyogok penguasa, para anggota DPR dengan mobil mewah, dana kampanye, dan sekoper uang jika rokok hanyalah sesuatu yang tidak penting?

Lebih hebatnya lagi, mereka yang membela perusahaan rokok mengatasnamakan kepentingan kaum petani tembakau. Mereka mengatakan, jika pemerintah mengatur rokok dalam UU atau produksi tembakau dibatasi, petani tembakaulah yang terkena imbasnya.
“Ribuan petani tembakau akan kehilangan mata pencariannya,” ujar anggota DPR yang katanya menerima sumbangan dari para pengusaha rokok cukup untuk pengajian saja. Mungkin maksudnya pengajian untuk mengumpulkan konstituennya tiap bulan supaya periode mendatang memilihnya kembali.

Sebenarnya bukan petani yang akan kelaparan jika perusahaan rokok dan tembakau dibatasi. Melainkan pengusaha-pengusaha rokoklah yang akan pusing tuju keliling. Indonesia hanya punya dua musim, kemarau dan musim hujan. Sementara tembakau hanya bisa ditanam pada musim kemarau. Jika ditanam pada musim penghujan tembakau tidak akan bagus. Cara petani tembakau bisa memasok tembakau untuk perusahaan rokok ya dengan menanam tembakau pada musim kemarau seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya..

“Cukai rokok juga memberi pemasukan Negara, jumlahnya tidak tanggung-tanggung lho!”

Aku terdiam. Aku dan kesehatanku mungkin jauh tidak penting ketimbang jumlah cukai yang diberikan perusahaan rokok. Toh, jika aku sakit, bukankah Negara akan memberikan jaminan kesehatan, karena aku orang miskin. Atau kalau tidak punya Jamkesmas, perusahaan tempatku bekerja akan membayari semua pengobatanku. Kalau tidak enak karena jumlahnya terlalu banyak, ya nanti bisa kubagi dengan perusahaan tempat suamiku bekerja.

“Ya kalau ada LSM yang masih ngotot mengusulkan peraturan pembatasan tembakau dan menutup perusahaan rokok, saya siap berada di depan,” tantang anggota DPR lainnya yang siap pasang badan.

“Hebat sekali, sungguh pemberani,” kataku.

“Ya itu kan memang sudah tugasnya,” bisik kawannya kepadaku.

“Kok bisa,” tanyaku.

“Dia kan jadi DPR karena didukung para pengusaha rokok,” tambahnya lirih.

”Dari mana bapak tahu?”
“Dari pengorbanan yang dia lakukan. Jadi DPR sudah, dikenal tetangga sudah, dikenal juniornya juga sudah, lalu mau apa lagi kalau tidak membela pengusaha rokok. Bisa-bisa periode berikutnya dia tidak bisa jadi DPR lagi?!”

“Tidak bisa jadi menteri juga?”

“Iya”

“Tidak bisa jadi presiden juga”

“Betul!!”

“Oo begitu,” kataku sambil mengucap salam dan pergi.


Tidak ada komentar: