Rabu, 30 Juli 2008
Aku pergi untuk menyembunyikan lukaku. Bukan untuk meninggalkanmu seperti persangkaanmu padaku. Meski kemudian engkau menelfon memintaku untuk kembali.
“bulan di sini terang iyang. Kenapa engkau tak segera kembali. Tahukah kamu aku begitu kangen” ucapmu lewat telefon kala itu.
Dan aku kembali pada kebimbanganku apakah benar aku akan meninggalkanmu.
Kembali aku pada kenangan saat pertama kita bertemu.
Aku duduk pada sudut sofa biru yang warnanya sedikit memudar. Begitu juga dengan teman-temanku. Mereka bersandar sembari membaca termasuk aku, dan sebagian lagi bercerita. Terdengar salah satu kawan menceritakan perjalanannya ketika pulang. Maklum, kami anak perantauan yang sedang belajar di kota . Maka jika ada di antara kita pulang kampung cerita-cerita menarik dan lucu menghiasi perjumpaan.
Aku masih malu-malu waktu itu. Barangkali karena usiaku paling muda diantara mereka, selain perempuan satu-satunya. Tak jarang saling ejek pun tak terelakkan. Tak tahan karena mendengar cerita lucu salah satu kawanku tawa tak bisa aku tahan. Serta merta aku pun mengomentarinya.
Aku ingat betul, engkau tak berbasa-basi menertawakanku habis-habisan. Padahal di antara kita tak saling mengenal. Kau katakan logat jawaku membuatmu geli.
Aku tak biasa jika orang menertawakanku tanpa permisi, maka tak mau kalah aku ganti mengejekmu. Dan begitu selanjutnya. Hingga akhirnya aku menanyakan identitasmu pada temanku dan engkau sebaliknya.
Perjalanan demi perjalanan secara tak sengaja kita lalui bersama.
Dan rasa ingin tahu tentang dirimu lebih mendesak. Hari ke hari, bulan ke bulan selanjutnya adalah rasa melindungi dan menghargai. Hingga saatnya engkau menjengukku di kala aku sakit.
Kenangan memang menyebabkan luka. Dan jujur sering kali justru karena kenangan itu aku merasa tak mampu lagi melanjutkan perrjalanan.
“Iyang,, rumah seperti apa yang akan kita bangun,,,”
Air mata tak terasa menetes. Aku kembali tak memiliki daya untuk bersembunyi di balik luka.
Kata-katamu tak ada indikasi merayu atau membualiku. Aku tahu bahkan memahamimu melebihi tahumu tentangku.
Daeng,,
Mungkin engkau tak perlu tahu ternyata hingga saat ini aku masih menyimpan kenangan itu.
Minggu lalu aku berkunjung ke kotamu. Menemui jalan-jalan yang pernah kita lalui. Tak ada bekas,, aku tahu. Bahkan masjid tempat kita menunggu azan itu telah dipugar. Padahal kita bersepakat desain masjid itu begitu unik dan menarik.
Kemudian kususuri jalan menuju kampus tempatku belajar, tempat kita bertemu di akhir pekan seusai kelasku.
Aku tahu jalanku salah. Meninggalkanmu tanpa menemuimu. Sekadar ucapkan maaf. Kita tahu janji yang kita buat ternyata hanya menjadi pengingat.
Atau lebih baik kita tak pernah tahu bagaimana keadaan kita. Biarlah aku melumat kenangan itu bersama pahitnya.
Kita pernah bertemu sebelumnya. Saat itu kulihat engkau sedang duduk menikmati bukumu di bawah rimbunnya pohon.
Dan kemudian aku lupa-lupa ingat bahwa aku telah mengenalmu lebih dari seorang sahabat. Pernah bersama duduk di bawah pohon yang sama yang pernah kau duduki.
Bulan Mei kudatangi kembali tempat pertemuan kita kali pertama. Papan panjang yang dinaungi pohon itu telah ditumbuhi jamur. Di bawahnya daun-daun kering berserak seolah hendak tak ingin berpisah.
Aku mengisak. Bahkan pohonnya tak sekuat ketika kita melempar pandang kepenatan. Kita sama-sama tak sengaja saling melihat. Bahkan juga tak pernah terpikir bahwa engkau akan menjadi sumber bahagia dan deritaku.
Kusesali adanya pohon, bangku, dan pertemuan di sore itu.
Kamis, 24 Juli 2008
Minggu, 20 Juli 2008
Oleh HENDRIYO WIDI/Kompas
Kartono, pelatih tari tayub, segera menyelinap masuk ke gubuk Sri setelah Jayem, ayah Sri, pergi mencari rumput. Kemudian terdengar suara Kartono membangunkan Sri, si penari tayub kondang.
Setelah Kartono dan Sri berdialog beberapa saat, terdengar suara Sri, ”Aku kangen,
Mas... Aku kangen....” Ucapan itu segera disusul dengan suara amben atau tempat tidur kayu ambruk, ”Gedubrak!”
Tak beberapa lama, Sri keluar sembari membenahi pakaian dan menyeka gincu yang belepotan di pipi kanannya. Di belakangnya, Kartono keluar sembari menyeka keringat di sekujur tubuhnya.
Demikian salah satu cuplikan pentas teater kampung ”Ledhek Mendres”, Jumat (4/7) sore, di Desa Mberan, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Lakon yang merefleksikan kisah ketenaran penari tayub itu merupakan ujian penciptaan gelar pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dari dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Subayono, warga Desa Dluwangan, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora.
Lakon itu mengambil tempat di halaman gubuk seorang warga Desa Mberan. Nuansa pedesaan menjadi sangat kentara ketika di sekitar gubuk itu terdapat jerami, lincak atau kursi panjang terbuat dari bambu, sabit, beronjong, kambing, dan sepeda onthel.
Untuk memperkuat simbol penari tayub, jarit, selendang tari, dan pakaian Sri, disampirkan di memean atau tempat jemuran terbuat dari tali yang melintang dari batang pohon sampai tiang penyangga gubuk. Tak lupa pula, suara radio yang memutar tembang-tembang Jawa terkadang terdengar sayup-sayup.
Dalam pementasan itu, Subayono didukung sejumlah dosen ISI Surakarta dan warga Blora yang terbiasa menyambangi pergelaran tayub. Ia juga meminta penari tayub Blora Sri Katon untuk menjadi pemeran utama ”Ledhek Mendres”.
Sekitar satu setengah jam, para penonton disuguhi dialog-dialog Jawa khas pedesaan Blora. Sketsa-sketsa erotisme, seks, kekuasaan, kritik-kritik sosial, dan dagelan atau senda gurau pedesaan, menjadi alur apik teater kampung atau rakyat itu.
Transformasi tayub
Adalah Sri, anak petani miskin bertransformasi diri menjadi penari tayub kondang Desa Mberan. Ia hidup bergelimang harta benda. Derajatnya sebagai bocah ndeso seketika itu juga naik menjadi penari pujaan para lelaki berpangkat maupun tak berpangkat.
Berkat kelimpahan harta dan derajatnya yang terangkat, Sri mempunyai kekuasaan terhadap ayah dan tiga lelaki yang mendekatinya. Jayem, sang ayah, acap kali mengeluh lantaran Sri sering membantah nasihat-nasihatnya.
”Di kepenakke anak kok gak gelem, leh! Aku ki wis kerja ben keluarga ki kecukupan. Direwangi sikil nggo ndas, ndas nggo sikil! (Disejahterakan anaknya kok tidak mau! Saya ini sudah bekerja keras supaya keluarga kecukupan! Sampai-sampai kaki untuk kepala dan kepala untuk kaki!),” kata Sri ketika berdialog dengan Jayem.
Nasib yang sama dialami Joko, pacar Sri. Pria tegap berbadan besar dan sangar itu tunduk ketika Sri meminta apa saja. Joko juga selalu menerima uang saku ratusan ribu rupiah dari Sri. Tak mengherankan jika lelaki yang ditakuti kaumnya itu justru takut kepada Sri.
”Yen kowe digoda, aku mesti nesu. Toh-tohane nyawaku! (Kalau kamu digoda, saya pasti marah. Taruhannya adalah nyawa saya!),” kata Joko kepada Sri.
Subayono mengatakan, penari tayub itu adalah perempuan perkasa. Ia bukan simbol seks saja, melainkan tulang punggung keluarga. Ia menghidupi orangtua, sanak saudara, suami, dan anak-anaknya melalui menari.
Para penari tayub yang terlahir sebagai bocah ndeso, semula selalu gelisah menginginkan perasaan cinta, ingin kaya, dan dihormati atau memiliki kedudukan dan derajat yang tinggi. Ambisi itu tidak lagi terbendung ketika mendapatkan kesempatan.
Menurut Subayono, untuk menjadi penari tayub, seorang gadis desa menempuh tiga proses. Awalnya, mereka ngenger atau ikut penari tayub yang sudah tenar dengan harapan mendapat limpahan rezeki.
”Laku nyelup”
Kemudian mereka nyantrik atau berlatih tari kepada pelatih tari perempuan atau kepada penari tayub tenar. Untuk menyempurnakan profesi, mereka nyelup atau berhubungan seks, terutama dengan orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi.
”Laku nyelup itu dipercaya dapat mengangkat derajat ledhek atau penari tayub menjadi seorang yang laris. Orang menyebut ledhek mendres,” kata Subayono.
Para penari itu, lanjut dia, bertransformasi menjadi perempuan yang memiliki kuasa. Kekuasaan itu dapat menjungkirbalikkan kekuasaan kaum lelaki. Buktinya, banyak pedagang beruang dan para pejabat tunduk dengan kecantikan dan pesona seorang ledhek begitu mereka ketiban sampur atau terjerat selendang penari tayub.
”Mereka mengubah citra perempuan sebagai kanca wingking yang selalu bekerja di dapur, sumur, tempat tidur, dan tidak boleh pulang malam, menjadi perempuan mandiri yang menentukan nasib sendiri,” kata Subayono.
Dosen penguji sekaligus pengajar metodologi penciptaan dan penelitian ISI Surakarta Prof Rustopo mengatakan, nilai lebih dari ”Ledhek Mendres” adalah kristalisasi pengalaman Subayono. Ia menjadi pengamat partisipan untuk membedah dan menceritakan kembali kehidupan para penari tayub.
”Fokus pertunjukan itu adalah realitas ketenaran seorang penari tayub dengan latar belakang kehidupan kampung yang semirip mungkin dengan aslinya,” kata dia.
Perubahan gaya hidup Sri, anak desa menjadi penari tayub, begitu kentara. Dengan uang dan pesonanya, ia bisa membeli apa pun, termasuk ”membeli” keluarga dan para lelaki pengagumnya.
Seks dan erotisme penari tayub, lanjut Rustopo, digarap Subayono tidak dengan cara blak-blakan atau terbuka. Meskipun begitu, para penonton sudah bisa membayangkan atau mengimajinasikan garapan itu.
Subayono sendiri mengakui penggarapan ”Ledhek Mendres” membutuhkan proses lama. Ia mulai mengadakan penelitian sejak tahun 1988 dan dua tahun terakhir ia mengangkat penelitian itu sebagai materi utama ujian penciptaan pascasarjana.
”Saya hanya ingin mengubah image masyarakat tentang ledhek atau penari tayub. Mereka sebenarnya adalah perempuan perkasa yang menjadi jenderal dan penopang hidup keluarga,” ujarnya.
Sabtu, 19 Juli 2008
Selasa, 15 Juli 2008
Untuk sahabatku Fajri dan istri
Menikah
Menikah adalah bersama-sama menjadi tua
Dan bersama-sama menjadi bijak
Menikah adalah bagaimana mengerti pasangannya
Dan bagaimana menerima pasangannya
Menikah adalah memberi yang terbaik
Menikah adalah memulai dan mengakhiri dalam bersamaan
Maka, menikah adalah indah
Semoga kalian menjadi sepasang cinta yang bisa menghadapi terpaan hidup bersama-sama
Rabu, 09 Juli 2008
Sudut di Yogyakarta
Aku menunggumu pada ujung senja
Bersama dingin yang menyergapku
Kutunggu kau pada pojok lorong sebuah tikungan
Bersama gerimis
Mulai kubacai apa yang kubawa
Sesobek kertas coretanku
Mulai kuayunkan langkahku
Dengan dada gemetar dan gemuruh
Tak apa
Aku akan tetap menunggumu
Meski tidak lagi di sebuah tikungan jalan
Tempat kita menjanjikan kebersamaan dan pertemuan
Ya,
Kita mengawali dan mengakhirinya di sini
Ketika hujan rintik dan kemudian reda
Selasa, 08 Juli 2008
Kampung Naga nan Eksotis
Tidak ada salahnya Anda rehat sejenak. Memanjakan mata menikmati pemandangan alam. Pepohonan rindang, hijau yang menawarkan ketenteraman. Gemericik air kali, serta keheningan alam yang akan membawa kita merasa kembali ke kampung halaman. Tentu semua yang ditawarkan alam tersebut tidak ada di daerah perkotaan. Kalaupun ada pastilah itu tidak alami, alias rekaan.
Suasana nyaman tersebut hanya bisa Anda temui salah satunya di Kampung Naga. Kampung ini bukan tempat huni naga. Melainkan sebuah kampung yang terletak antara perbatasan Kota Garut dan Tasikmalaya. Tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya. Jika ditempuh dengan bus, dari Jakarta hanya memakan waktu sekitar empat sampai lima jam. Atau 90 kilometer dari Kota Bandung.
Memasuki kampung ini terlebih dahulu Anda harus melewati ratusan undakan tangga. Menuju perkampungan, di sepanjang perjalanan Anda hanya akan menemukan sawah dan kolam yang berada di sebelah kanan dan kiri. Dan pemandangan alam yang teduh.
Berada di lembah subur, kampung ini dibatasi hutan keramat tempat para leluhur Kampung Naga disemayamkan-yang berada tepat di sebelah barat. Dan di sebelah selatan sawah-sawah penduduk terhampar luas.
Sedangkan sebelah utara dan timur dibatasi Sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray daerah Garut.
Yang membedakan Kampung Naga dengan perkampungan lain adalah tradisi yang dipegang teguh oleh warga. Masyarakatnya secara turun-temurun hanya akan mengikuti adat istiadat yang diwariskan leluhurnya. Tanpa berusaha menyimpangkan ataupun menggantinya. Misalnya, warga Kampung Naga tidak akan mengganti daun kelapa atau aren sebagai atap rumah menjadi genteng.
Meski zaman semakin modern, masyarakat Kampung Naga sama sekali tidak tertarik untuk mengikutinya. Saat berkunjung ke Kampung Naga tidak satu pun saya temukan televisi atau sepeda motor di rumah penduduk. Jauh berbeda dengan kampung lain yang menganggap dua benda tersebut adalah penting. Alasannya, televisi untuk mendapatkan informasi sedangkan motor adalah alat transportasi. Meski tanpa dua benda itu atau barang-barang modern lainnya, masyarakat Kampung Naga tampaknya tetap mampu berkreasi.
Sawah yang membentang itulah yang menghidupinya. Hampir semua warga bekerja sebagai petani. Selebihnya mereka memanfaatkan waktu luangnya menggarap kerajinan tangan untuk dijual kepada pengunjung yang berwisata ke kampungnya. Tidak perempuan tidak laki-laki bagi mereka adalah pekerjaan untuk dikerjakan bersama-sama. Semisal, ibu akan pergi ke sawah mencabut rumput yang tumbuh di sela tanaman padi sementara bapak mencangkul. Atau, para bapak akan ikut mengerjakan kerajinan tangan jika pekerjaan di sawah telah usai. Begitu arifnya masyarakat Kampung Naga sampai-sampai tidak pernah terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
Keistimewaan lainnya dari daerah yang hanya seluas 4 hektare ini adalah pada bentuk bangunan yang kesemuanya sama. Mulai dari masjid, rumah, ataupun balai pertemuan. Semuanya menghadap ke selatan atau ke utara.
Barangkali ada benarnya bahwa adat istiadat itu harus tetap dipegang teguh. Agar pembedaan kelas tidak terjadi dan kehidupan bisa berjalan harmonis.
Dengan letak kampung yang strategis--- tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan Kota Garut dan Tasikmalaya-- Anda tentunya tak perlu menunda-nunda lagi untuk segera ke sana. Dan Anda dijamin tidak akan rugi mengunjunginya.
Senin, 07 Juli 2008
Pulang
Akhirnya aku pulang.
Pada tanah yang menghendakiku tinggal
Pada halaman yang menghamparkan rumput hijau
Dan pada ladang yang menanti kedatanganku
Sunyi itu membangunkanku dari kegelisahan malam
Gelap dengan harap yang hampir pudar
Aku kembali teringat
Di mana ibu menetekiku pada susu yang kering
Dengan peluh dan cemas
Takut jika esok aku tak mampu merasainya lagi
Oh, perempuan perkasa itu
Betapa halus sungguh nuranimu
Dengan sayangmu aku merasa memang terlahir untukmu
Tanpa pemungkiran apa pun
Kini kupandangi Engkau layu
Dengan keriput yang tak bisa kau hindari
Mata lelah dengan pesan sederhana
Ah,, Ibu
Aku mulai merasa sendiri jika begitu
Masih memandangimu yang berada di bingkai
Minggu, 06 Juli 2008
MENJADI KAPITALIS RINGAN TANGAN
Judul Buku: Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis
Penulis: Danah Zohar & Ian Marshall
Penerjemah: Helmi Mustofa
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, Agustus 2005
Tebal: 254 halaman
Peresensi: Kustiah
Bisnis biasanya diidentikkan dengan pendapatan dan keuntungan –kalau bisa sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya. Sejalan dengan itu, para pebisnis digambarkan sebagai orang-orang yang mementingkan diri sendiri, serakah, egoistis, oportunistis, berpikir jangka pendek, dan sejenisnya.
Namun, dalam kenyataannya, tidak semua pelaku bisnis memiliki sikap-sikap tersebut. Dalam buku Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, Danah Zahar dan Ian Marshall, menceritakan kisah “lain” seorang pelaku bisnis bernama Mats Lederhuasen. Ia adalah Chief Executive McDonald’s Swedia. Dalam usia 30-an, ia sudah berada di puncak karir, memiliki keluarga yang harmonis, dan berlimpang uang, tapi ia tidak bahagia. Ia bimbang dengan pilihan hidupnya.
Mats sangat prihatin dengan keadaan dunia, khususnya tentang krisis lingkungan yang mendera dunia dan tentang runtuhnya masyarakat. Kata Mats, “Perusahaan-perusahaan besar seperti McDonal’s tidak cukup banyak melakukan sesuatu untuk semua itu.” Lebih lanjut ia mengatakan, “Saya hanya mencari uang. Saya habiskan sepuluh hingga dua belas jam setiap hari untuk bekerja pada McDonal’s, dan saya tidak mengabdikan diri untuk hal-hal yang sangat saya pentingkan. Saya ingin memiliki arti. Namun, saya tidak tahu bagaimana caranya. Saya hanya tahu bahwa saya ingin menjadi bagian dari solusi, bukannya menjadi bagian dari masalah” (hlm. 111).
Dalam kebimbangan itu, Mats menetapkan tiga opsi. Yakni tetap bekerja di McDonald’s, meninggalkan McDonald’s untuk menjadi konsultan independen, atau pergi ke biara di Tibet untuk bermeditasi. Pilihan Mats jatuh pada opsi yang pertama, yakni tetap bekerja di McDonald’s. Lalu Mats menulis surat ke Jack Greenburh, CEO McDonald’s, untuk menyatakan keprihatinannya.
Yang mengejutkan, Mats diundang ke Chicago untuk berdiskusi dan mendapatkan promosi yang tidak pernah ia bayangkan, menjadi Vice President Strategy yang bertanggung jawab untuk “mendongkrak perubahan”. Pada posisi itu Mats digaji sebagai “tukang kritik perusahaan”. Mats menjalankan upaya menentang organisme yang dimodifikasi secara genetik, kampanye untuk pembuatan kandang ayam yang lebih luas, dan komitraan dengan Conservation International untuk menanggulangi kerusakan ekosistem bumi dan merancang sumbangan McDonald’s dalam mewujudkan pertanian yang berkelanjutan (hlm. 128).
Kegelisahan yang dirasakan Mats, keprihatinannya, dan kebutuhannya yang mendalam untuk melakukan sesuatu guna menjadikan hidupnya melayani tujuan yang penuh makna itu, menurut Danah Zahar dan Ian Marshall, adalah tanda-tanda “kecerdasan spiritual (SQ)” yang tinggi.
Kecerdasan yang menyebabkan seseorang bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai makna dan nilai hidup, dan hal itu menjadikannya ingin melibatkan hidupnya dalam jenis-jenis pengabdian demi perkara yang lebih tinggi atau lebih dalam. Kecerdasan hati nurani yang memberi manusia akan moralitas dan kesadaran akan yang sakral, satu kesadaran bahwa hidup punya dimensi lebih dalam ketimbang semata-mata “mendapatkan dan menghabiskan” modal material.
Lewat buku ini, penulis buku best seller SQ ini menawarkan pandangan baru dalam dunia bisnis. Menurutnya, budaya kapitalis dan praktik bisnis yang beroperasi di dalamnya tengah berada dalam krisis. Keduanya melukiskan bisnis global sebagai “monster yang memangsa dirinya sendiri”. Hal ini terjadi lantaran etos dan asumsi-asumsi kapitalisme yang mendasarinya, dan banyak dari praktis bisnis yang berangkat dari etos dan asumsi-asumsi tersebut, tidaklah berkelanjutan. Para manajer dan eksekutif perusahaan umumnya digerakkan oleh motivasi-motivasi rendah seperti ketakutan (-4), keserakahan (-3), kemarahan (-2), dan penonjolan diri (-1) yang secara langsung ataupun tidak, mengorbankan kualitas hidup manusia. Dengan kata lain, jika kapitalisme dan bisnis –sebagaiman kita kenal– digerakkan oleh motivasi-motivasi itu, maka tak punya masa depan jangka panjang.
Padahal, bisnis yang berkelanjutan digerakkan oleh SQ yang tinggi, terutama hasratnya untuk memperjuangkan visi dan nilai-nilainya. SQ itu menyebabkan pergeseran dalam motivasi kerja pelaku bisnis dari -3, serakah (bekerja hanya untuk uang), ke paling tidak +3, kekuatan dari dalam. Danah Zahar dan Ian Marshall menempatkan Mats pada +6, pengabdian lebih tinggi –sebagai seorang kesatria. Selain itu, penulis juga mencatat bahwa spritualitas itu bukan masalah agama atau sistem kepercayaan apa pun. Spiritualitas menyangkut sesuatu yang universal, yaitu values, meaning, dan purpose dalam hidup manusia yang tidak tergantung agama apa pun yang dianut seseorang.
Bisnis tanpa SQ tidak berkelanjutan, karena terbukti menimbulkan krisis kepemimpinan pada perusahaan-perusahaan terkemuka di negara-negara maju. Para pengelola perusahaan kehilangan spirit atas apa yang dilakukan. Dalam bekerja mereka melakukan apa saja seperti menipu, bermain curang, manipulasi, memotong gaji buruh, membuat laporan palsu dan sebagainya yang tujuan utamanya untuk menumpuk uang. Tapi setelah uang diperoleh, mereka merasa hampa makna, hidup tidak berarti, dan hanya sebagai makhluk pemburu uang. Padahal, manusia sejatinya tidak sekadar “makhluk ekonomi”, tapi juga makhluk spiritual yang dahaganya membutuhkan siraman makna dan nilai yang dalam.
Buku ini menyarankan jika ingin mengembangkan bisnis yang berkelanjutan, maka para pemimpin perusahaan harus mengambil keputusan yang radikal. Yakni, kelompok inti di masa kini dan para pemimpin potensial perusahaan di masa depan bisa mendayagunakan kecerdasan spiritual mereka demi menciptakan modal spiritual (spiritual capital) dalam budaya organisasi mereka yang lebih luas, dan dengan begitu membuat budaya mereka lebih berkelanjutan. Tujuannya adalah sebuah kapitalisme yang di dalam dirinya sendiri berkelanjutan dan sebuah dunia yang di dalamnya kapitalisme berkelanjutan bisa menghimpun kekayaan yang dapat memenuhi semua kebutuhan kita (hlm. 23).
Transformasi kecerdasan spiritual bisa diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) berupa kepedulian terhadap lingkungan dan kehidupan manusia secara umum. Sebuah budaya perusahaan dan bisnis yang memanusiawikan karyawan, tidak merusak lingkungan, dan peduli terhadap kelompok-kelompok miskin. Perusahaan dan lembaga bisnis tidak hanya mengeruk keuntungan, tapi juga berbagi keuntungan dengan manusia lainnya. Bentuk tanggung jawab sosial ini tidak berupa amal sosial, tapi sebuah program yang berkelanjutan dan berdampak luas. Misalnya, Coca-Cola menggunakan jaringan distribusinya di India untuk melayani pemerintah India dalam mendistribusikan vaksin polio ke daerah perbatasan terpencil dan mendirikan klinik-klinik kesehatan di sepanjang pedalaman Tiongkok dan Asia Tenggara. Merck Phamrmaceutical menyediakan obat-obatan gratis untuk mencegah meluasnya kebutaan akibat parasit river blindness di Afrika.
Buku ini banyak mengkritik kapitalisme dan bisnis sebagaimana umumnya. Namun, buku ini tidaklah antikapitalis atau antibisnis, dan juga tidak menampik mekanisme ekonomi yang telah menghasilkan kekayaan yang belum pernah sebelumnya dihasilkan umat manusia. Penulis tidak bermaksud menolak kapitalisme, melainkan mengubahnya agar lebih manusiawi, berjangka panjang, dan berhati nurani. Karena, keduanya menyakini potensi yang besar dalam bisnis dan bidang-bidang lain untuk meningkatkan –dalam kerangka yang lebih luas– kekayaan dan nilai, yang sebagian bisa dipakai untuk kepentingan bersama umat manusia. []
Bekerja Keras dan Berkarya adalah Kuncinya
ALEX Komang bukan nama asing di dunia teater dan film
Perbincangan dengannya pada malam itu di Teater Populer tak sebatas membeberkan kesukaannya, tapi juga berbicara tentang perkembangan dunia perfilman kontemporer. Menurut penggemar sastra dan teater ini, dunia perfilman harus diisi bukan hanya oleh popularitas dan tren saja, melainkan juga kematangan akting dan isi film itu sendiri.
Lelaki gondrong 47 tahun ini sedang serius belajar filsafat di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Selain bergelut dengan kesibukannya kuliah, ternyata Alex tidak lantas meninggalkan profesi yang telah membesarkan namanya. “Saya tidak meninggalkan aktivitas lama. Saya masih setia mengikuti perkembangan film. Setia dengan film tidak berarti harus ikut di dalamnya. Jika ditanya bagaimana perkembangan film saat ini saya bisa menjawabnya. Tapi, kini saya lagi senang belajar, maka jadilah saya masuk universitas,” katanya seraya tertawa berderai
Tidak hanya itu, Ia juga menyarankan kepada penonton film agar tidak melulu menilai film itu dari sisi negatifnya. “Kita harus optimistis. Ternyata di antara kekelaman dunia pertelevisian ada kemajuan pesat (di dunia perfilman-Red). Muncul sineas-sineas muda. Sineas perempuan juga tak ikut ketinggalan. Ya, idealnya, baik semua, mendidik semua, tapi kenyataannya
Lalu bagaimana tanggapannya tentang kontroversi BPPN (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional-Red)? Yang tahun lalu sempat ribut-ribut. Apalagi beberapa sineas muda (salah duanya Riri Reza, Mira Lesmana) menganggap BPPN tidak berkontribusi banyak bagi dunia perfilman. Alex dengan santai menjawab bahwa pada saat itu ia dapat telepon dari beberapa kawan sesama artis.
Lalu benarkah seorang juri perfilman itu banyak berpengaruh di luar bidang penjurian? “Benar. Tidak bebas nilai. Tidak hanya perfilman saja, apa pun lombanya lah. Pasti ada unsur X. Taruhlah film Ekskul yang sutradaranya banyak menuai cercaan. Yang katanya filmnya jelek kok menanglah, yang tidak bagus lah. Itu
Begitulah Alex Komang, aktor satu ini memang tidak pernah berpikir parsial dalam menanggapi berbagai persoalan. Semangat dan cara berpikirnya yang positif tidak menyurutkan niatnya untuk selalu berkreasi dan belajar. Dia selalu menghargai siapa pun yang mau belajar. Memiliki keinginan untuk maju dengan bekerja keras. Menurutnya orang-orang seperti itulah biasanya yang akan dikenang masyarakat.
Ketika ditanya siapakah yang berandil besar dalam kesuksesannya. “Bapak saya. Figur pertama yang saya contoh dan berandil besar ya bapak saya. Tidak jauh-jauh. Yang lain-lainnya ya mendukung, menambah referensi hidup saya dalam menentukan pilihan. Meski pada awalnya pilihan saya ditentang keras, justru karena bapak saya tidak ingin anaknya salah jalan. Kustiah
9
Nama Syaiful Nuha/Alex Komang. Lahir di sebuah kampung di Jepara, Jawa Tengah, 17 September 1961.
Alamat Rumah: Pejaten Elite, Jl. Amil II/ 4,
Pejaten Barat,
Karier
_ Aktor teater, antara lain bersama Teater Koma dalam
lakon Opera Primadona (2000)
_ Aktor film di bawah arahan sutradara Teguh Karya,
antara lain Secangkir Kopi Pahit (1984), Doea Tanda
Mata (1985), Ibunda (1986), Pacar Ketinggalan Kereta
(1988)
_ Bermain sinetron, antara lain dalam Bila Esok Tiba
(1997), Bingkisan untuk Presiden (2000), Cinta
Terhalang Tembok (2002), dan lain-lain
Penghargaan
_ Piala Citra pada Festival Film Indonesia (FFI) 1985
sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik untuk film Doea
Tanda Mata dan lain-lainnya.
Mari Menebar Kasih
Sama seperti anak kecil lainnya, Trevor (12) percaya bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki sifat baik. Dan seperti anak kecil lainnya pula, dia mengharapkan perubahan besar terjadi pada hidupnya, lalu datanglah keajaiban hidup yang didambakannya itu.
Sebagai seorang anak ia tak ingin melihat ibunya hidup dalam keterpurukan. Menjadi seorang pecandu minuman keras, memiliki masalah dengan ibunya, dan kesepian. Trevor diasuh tanpa seorang ayah, alias ibunya adalah single parent. Ide besar untuk mengubah hidup orang-orang di sekitarnya justru datang dari sang guru ilmu sosial. Mr. Simonet, guru Trevor meminta para muridnya memikirkan sebuah ide yang dapat mengubah dunia. Para murid juga diminta untuk mewujudkan idenya ke dalam tindakan nyata.
Berawal dari tugas itulah Trevor memperoleh ide “Pay It Forward” (bayar dimuka). Untuk mewujudkan ide besar itu ia hanya perlu mencari tiga orang untuk ditolong. Dan setiap orang yang ditolong harus menolong tiga orang lainnya, dan seterusnya. Tepat seperti usaha multi level marketing (MLM).
Melintaslah tiga orang yang akan menjadi bahan eksperimen. Mereka adalah seorang pemuda gembel pecandu narkoba bernama Jerry, Mr Simonet yang masih
hidup membujang, dan seorang teman sekelas yang selalu diganggu oleh sekelompok
anak-anak nakal bernama Adam.
Masalah sesungguhnya ada di depan mata. Trevor sering melihat ibunya sangat kesepian, tidak punya teman untuk diajak berbagi rasa, dan telah menjadi pecandu minuman keras. Kali ini Trevor berusaha menghentikan kecanduan ibunya dengan cara rajin mengosongkan isi botol minuman keras yang ada di rumah mereka, Trevor juga mengatur cara agar ibunya bisa berkencan dengan Mr Simonet, guru sekolah yang memberinya tugas itu.
Ide yang ia rancang mulai ia jalankan. Kali ini ia membantu Jerry. Trevor membelikannya baju, sepatu dan perlengkapan lain agar bisa bekerja serta meyadarkannya agar tidak terlibat narkoba. Kali ini Trevor mesti merelakan tabungannya untuk semua itu. Ketika Jerry berucap tarima kasi kepada Trevor, maka Treveor hanya menjawab ‘Pay It Forward”.
Ternyata Usaha Trevor tidak sia-sia. Jerry balas membantunya memperbaiki mobil milik Ibunya Trevor yang rusak tanpa diminta. Sang ibu melihat perhatian si anak yang begitu besar menjadi terharu, saat sang Ibu mengucapkan terima kasih, Trevor menjawab “Pay It Forward”
Terharu melihat perhatian anaknya, Ibu Trevor terdorong melakukan kebaikan dengan mengunjungi rumah ibunya (nenek Trevor). Sekian lama hubungan antara ibu dan anak ini renggang. Bahkan mereka tidak bertegur sapa selama bertahun-tahun. Melihat anak perempuannya datang dan meminta maaf, nenek Trevor menangis dan terharu. Mereka berniat memperbaiki hubungan ibu anak dan asling memaafkan. Saat nenek Trevor mengucapkan terima kasih, Ibu Trevor menjawab “Pay It Forward”.
Karena kebahagiaan yang lama ditunggunya datang, sang nenek meneruskan kebaikan tersebut dengan menolong seorang pemuda yang sedang ketakutan karena dikejar polisi untuk bersembunyi di mobil si nenek, ketika pemuda itu sudah aman, si pemuda mengucapkan terima kasih, si nenek menjawab dengan kata-kata : “Pay It Forward”.
Si pemuda yang terkesan dengan kebaikan si nenek, terdorong meneruskan kebaikan
tersebut dengan memberikan nomor antreannya di rumah sakit kepada seorang gadis
kecil yang sakit parah untuk lebih dulu mendapatkan perawatan, ayah si gadis
kecil begitu berterima kasih kepada si pemuda ini, dan dijawab oleh pemuda itu
dengan ucapan : “Pay It Forward”
Ayah si gadis kecil yang ternyata konglomerat terkesan dengan kebaikan si
pemuda. Orang kaya itupun terdorong meneruskan kebaikan tersebut dengan
memberikan mobilnya kepada seorang wartawan TV yang mobilnya mogok pada saat
sedang meliput suatu acara. Saat si wartawan berterima kasih karena mendapat
rezeki nomplok berupa mobil Jaguar, ayah si gadis menjawab: “Pay It Forward”
Sang wartawan yang begitu terkesan terhadap kebaikan ayah si gadis bertekad
untuk mencari tahu dari mana asal muasalnya istilah “Pay It Forward” tersebut.
Naluri Jurnalistiknya mendorong dia menelusuri mundur untuk mencari informasi
mulai dari ayah si gadis, pemuda yang memberi antrean nomor rumah sakit, nenek
yang memberikan melindungi pemuda, Ibunya Trevor yang memaafkan nenek Trevor,
sampai kepada si Trevor yang mempunyai ide tersebut. Dengan bantuan sang
wartawan, Trevor pun muncul di televisi.
Namun umur Trevor sangat singkat, dia ditusuk pisau saat hendak menolong teman
sekolahnya, Adam, yang selalu diganggu oleh para berandalan. Seusai pemakaman
Trevor, betapa terkejutnya sang ibu. Ribuan orang tidak henti-hentinya
datang dan berkumpul di halaman rumahnya sambil meletakkan bunga dan menyalakan
lilin tanda ikut berduka cita terhadap kematian Trevor.
Barangkali Trevor sendiri pun tidak pernah tahu jika apa yang dilakukannya memberikan dampak besar bagi orang lain. Tampaknya sang sutradara begitu tinggi menempatkan kasih ini ke dalam kehidupan.
Film ini memang bukan tergolong film baru lagi. Diproduksi tahun 2000, saat negeri ini mulai bangkit dari krisis. Namun isi film ini tak akan usang dimakan waktu. Karena pesan yang disampaikan film tersebut begitu relevan kapan pun diputar. Diperankan Haley Joel Osment sebagai Trevor McKinney) film yang disutradarai Mimi Leder begitu apik dan menyentuh. Tidak ada salahnya Anda menontonnya. Selain dijamin terharu, paling tidak Anda akan tergerak untuk meniru apa yang dilakukan Trevor.
Yang Tak Menyerah pada Kemiskinan
PEREMPUAN paruh baya itu berjalan terseok-seok. Di kepalanya ada rantang berisi sambal. Tangan kirinya menenteng tampah yang berisi pecel dan peyek, sedangkan tangan kanan menjinjing teko. Seakan tak ingin ada ruang yang kosong, punggungnya pun menggendong bakul besar berisi nasi. Toh ia terus berusaha merangsek, menembus penumpang yang berimpit di gerbong kereta api kelas ekonomi jurusan Semarang-Cepu. Kain kebaya yang dikenakan seakan tak pernah menghalanginya bergerak maju. “Pecel Mbak, pecel. Mas pecel, Mas,” teriaknya yang terdengar timbul tenggelam karena harus beradu riuh dengan suara kereta api yang menderu-deru.
Tidak semua orang sanggup membawa begitu banyak beban dan berjalan di antara penumpang yang berdesak-desakan. Tapi perempuan itu terlihat mahir melakukannya. “Saya sudah 15 tahun berjualan pecel di dalam kereta, Mbak,” tutur Bu Yati, nama enjual pecel gendong itu. “Gaji suami tidak cukup untuk membiayai sekolah anak-anak. Jadi, saya harus mencari akal dan ikut kerja keras untuk mencukupi kebutuhan,” kata perempuan yang ternyata merupakan istri dari salah satu maitanance di PT Kereta Api Indonesia. Semua kesulitan itu ia lewati hingga tak terasa anaknya telah lulus dari perguruan tinggi.
Jerih payahnya sungguh tidak sia-sia. Anak sulungnya saat ini telah menjadi akuntan di sebuah perusahaan swasta di Semarang. “Saya tidak mau menyerah dengan kemiskinan yang saya hadapi, karena anak-anak harus tetap sekolah,” katanya, bersemangat. Meskipun usianya mendekati kepala enam, semangatnya untuk mengadu nasib di tengah jejalan penumpang belum surut. Sebab, masih ada anaknya yang harus dibiayai untuk menamatkan SMA, syukur-syukur bisa menjadi sarjana seperti kakaknya.
“Sekarang anak saya yang pertama bisa membantu membiayai sekolah adiknya. Jadi saya tidak terlalu ngoyo seperti dulu. Lima tahunan yang lalu saya sanggup menjual nasi pecel dalam sekali jalan. Sekarang nasi pecel baru habis kalau bolak-balik jalan,” ujarnya sembari menghapus keringat di dahi dengan ujung selendang gendongnya. Yang dimaksud sekali alan adalah perjalanan kereta ekonomi dari Semarang menuju Cepu.
Dalam perjalanan itu, ia akan menyusur dari gerbong satu menuju gerbong lainnya. Perjuangannya menjadi tambah berat, karena pedagang pecel bukan hanya ia seorang. Ada belasan pedagang lainnya yang ratarata perempuan kategori paruh baya. “Teman saya banyak. Jadi, untung-untungan, Mbak. Tapi ada beberapa penumpang yang sudah menjadi langganan.” Di sela-sela penumpang yang berjejal itu, menurut Bu Yati, nasib baik akan berpihak kepada para pedagang, termasuk kepada penjual nasi pecel.
Memang, semakin banyak penumpang, semakin banyak calon pembeli. Pecel yang dijual Bu Yati itu dinamai sego pecel gambringan. Pecel ini sudah tidak asing lagi bagi penumpang kereta di jalur tersebut. Bukan saja karena rasanya yang enak, tetapi juga karena harganya yang murah. Harga tiap pincuk nasi pecel adalah Rp2000, sudah termasuk peyek. Dalam sehari, Bu Yati rata-rata bisa menjual sampai 50 pincuk.
“Biasanya tidak ada nasi yang saya bawa pulang, paling yang tersisa hanya peyek,” katanya.
Tidak semua pecel pincuk itu terjual di kereta api. Begitu sampai Cepu, kalau masih ada sisa, Bu Yati dan kawan-kawannyaakan menjajakan dagangannya di sekitar Rumah Sakit Cepu, pasar, ataupun menyusuri jalanan protokol. Sosok seperti Bu Yati di Tanah Air kita ini, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, selalu hadir untuk menyelamatkan rumah tangga dari keruntuhan akibat himpitan ekonomi. Rasa hormat patut disematkan pada mereka. Bisa jadi, satu di antara mereka itu adalah ibu Anda.
Jumat, 04 Juli 2008
Entah berapa lama aku sudah masuk dalam dunia kerja. Ketika seseorang merasa telah memiliki kewajiban baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain, maka bekerja adalah keniscayaan.
Aku sendiri telah lupa kapan tidak bekerja. Bahkan, di saat menatap senja di kala libur kangen untuk terbebas dari kerja begitu menderu. Kapan ya?
Mungkin berbeda saat senior high school kali ya. Betapa hidup itu hanya untuk berbahagia saja. pagi hari berangkat sekolah by bus selama 15 minutes. Sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai, bercanda terlebih dahulu dengan teman-teman. Melewati pelajaran dengan sangat menyenangkan. Menyelesaikan persoalan apalagi? kami selalu jentle menghadapinya.
Jadi inget dengan temenku yang berambut panjang. Saat merasa tidak nyaman dengan salah seorang guru (karena merasa disindir di kelas), kami segera menemuinya. Menanyakannya dengan berani, memberi kritikan, dan selanjutnya meminta maaf...ah,,betapa rindu dengan masa-masa itu
Rabu, 02 Juli 2008
JANGAN MENOLAK COKELAT
SELAIN rasanya yang manis, cokelat juga memberikan segudang manfaat bagi kesehatan tubuh. Para ibu boleh khawatir jika anaknya memiliki kegemaran memakan cokelat karena takut gigi keropos, tapi jangan buru buru menyimpulkan bahwa cokelat adalah makanan yang patut dijauhi.
Menurut sebuah penelitian tentang cokelat di Pusat Kesehatan Universitas Harvard, cokelat dapat membantu kesehatan hati. Mary B. Engler, sang peneliti cokelat dan Direktur Program Pascasarjana, Ilmu Tulang dan Genom, Sekolah Perawat Universitas California , San Francisco , mendapati bahwa cokelat melancarkan aliran darah, mengurangi nyeri tulang, dan mengikat kolesterol jahat dalam tubuh. Zat yang terkandung
dalam cokelat bernama flavonoids. Zat inilah yang bertugas mencegah terjadinya sel rusak dan peradangan.
Jika Anda seorang penderita darah tinggi, cokelat juga bias membantu menurunkan darah tinggi Anda. Seorang Direktur Laboratorium Penelitian Antioksidan Universitas Tuts, baru-baru ini menemukan seorang pasien hipertensi mengalami penurunan drastis setelah mengonsumsi cokelat 3,5 ons setiap hari selama dua minggu berturut-turut. Dan tidak ada dampak buruk yangditemukan pada para pengonsumsi cokelat ini.
Manfaat lainnya, cokelat dapat membantu memulihkan kesehatan setelah sakit. Sebuah penelitian di Universitas Indiana menunjukkan, cokelat terbukti lebih cepat membantu masa pemulihan ketimbang meminum suplemen.
Temuan terbaru seorang peneliti Jerman yang setiap hari selalu mengonsumsi cokelat selama tiga bulan, kulit peneliti ini semakin lembut, bercahaya, dan tidak cepat kusam saat sinar matahari menyengat kulitnya. Ia baru menyadari bahwa flavonoids yang terkandung dalam cokelat itulah yang menyerap sinar ultra violet matahari, membantu melindungi, dan memperlancar peredaran darahnya.
Masih tentang cokelat, peneliti dari Universitas Virginia Timur menyimpulkan bahwa cokelat membantu mempertajam daya ingat, karena darah yang mengalir menuju otak menjadi lancar. Cokelat membuat hidup lebih bergairah.
Seorang peneliti Italia penasaran ingin mengetahui apakah cokelat mengandung zat perangsang. Dalam sebuah penelitiannya ia melibatkan 143 perempuan yang telah menikah sebagai responden. Perempuan yang setiap hari memakan cokelat terbukti memiliki keinginan untuk berhubungan seksual lebih banyak dan lebih cepat mencapai orgasme dibanding mereka yang tidak mengonsumsi atau mengonsumsi cokelat sedikit saja.
Ternyata cokelat memiliki manfaat lebih banyak ketimbang yang kita ketahui selama ini. Jadi, bila Anda telah memutuskan diri untuk tidak mengonsumsi makanan yang satu ini, urungkanlah. Karena Anda akan rugi menjauhinya.
KEKERASAN BERBAJU AGAMA
Masih ingat dengan peristiwa Monas (Monumen Nasional) yang pekan lalu sempat menjadi hedline beberapa media di Indonesia. Salah satu organisasi Islam melakukan penyerangan terhadap sekelompok massa yang sama-sama melakukan aktivitas di Monas.
Ormas Islam yang menamakan diri Front Pembela Islam geram dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Pasalnya AKKBB mendukung gerakan jamaah Ahmadiyah. Yang dianggapnya telah menyimpangkan ajaran agama Islam dan dituduh sebagai sebuah aliran sesat yang layak dibubarkan.
Masyarakat umum tahu bahwa AKKBB adalah aliansi masyarakat yang menjunjung tinggi pluralisme termasuk tidak mempermasalahkan keberadaan Ahmadiyah. Alasannya jelas bahwa jamaah Ahmadiyah adalah manusia yang memiliki hak asasi untuk berbuat, memilih, dan memutuskan selama tidak melanggar hak asasi.
Berlarut-larutnya masalah Ahmadiyah membuat AKKBB tidak tinggal diam. Padahal masalah ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melindungi warga negaranya. Karena FPI sudah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. FPI dan ormas anti-Ahmadiyah yang menamakan diri mereka sebagai pembela Islam dan kebenaran tersebut, tidak hanya melakukan pembakaran terhadap masjid milik jamaah Ahmadiyah melainkan penyerangan dan pengrusakan. Korbannya tentu saja para jamaah Ahmadiyah yang tidak saja terdiri dari bapak-bapak tapi juga para ibu dan anak-anak.
Tak ada perlawanan, yang hanya bisa dilakukan jamaah Ahmadiyah adalah mengungsi dan mencari perlindungan. Dari sinilah saya bertemu dengan mereka. Di sebuah forum di Utan Kayu. Ketika bertemu dengan jamaah ini saya lupa bahwa yang saya hadapi adalah Ahmadihyah. Saya hanya melihat mereka sebagai korban yang hak asasinya telah diusik dan penghidupannya diganggu orang lain. Di sebuah negara yang memiliki Undang-Undang sebagai konstitusi negara. Yang setiap alineanya menenteramkan orang yang membacanya. Salah satunya adalah berbunyi bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan” (alenia pembuka UUD 1945).
Batin saya kembali terusik manakala yang saksikan bukan hanya ibu-ibu yang menangis dan berkeluh kesah, melainkan banyak anak kecil. Seorang ibu (maaf tidak bisa saya sebutkan namanya) mengatakan, akibat dari pembakaran—yang biasa dilakukan di malam hari—dan penyerangan, mereka tidak saja kehilangan tempat tinggal. Anak-anak terpaksa harus meninggalkan sekolah dan tempat bermainnya.
Di sekolah, anak-anak tidak jarang mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan baik dari guru maupun teman-temannya. Misal, pembagian rapor dibedakan. Untuk anaknya jamaah Ahmadiyah rapor dibagikan setelah rapor anak-anak yang bukan anggota jamaah Ahmadiyah selesai dibagikan dan itu pun dibedakan warnanya. Contoh lainnya adalah para guru menyebut aliran Ahmadiyah bukan sebagai bagian dari agama Islam melainkan sebuah agama baru. Sontak para orang tua jamaah Ahmadiyah harus sering memberikan pengertian dan penjelasan kepada anak-anaknya.
Tidakkah FPI dan orang atau ormas yang anti-Ahmadiyah ini telah sedemikian besar melakukan diskriminasi. Yang tidak jauh berbeda dengan Orde Baru yang mendiskriminasikan PKI dengan memberikan simbol eks-Tapol di Kartu Tanda Penduduknya. Sungguh negara kita saat ini telah banyak dihuni oleh orang-orang yang menganggap dirinya lebih benar dan dan lebih soleh. Orang yang tidak sepaham atau seprinsip dianggapnya sebagai musuh dan lawan.
Bukankah dalam Islam sendiri aksi kekerasan diharamkan. Semua itu tercantum jelas dalam Al Quran dan Hadis. Dan saya juga yakin agama apa pun tidaklah menganjurkan penganutnya melakukan kekerasan satu sama lain. Apalagi melakukannya dengan mengatasnamakan agama sebagai yang harus dibela.
Kekerasan atas nama aliran sesat, penyimpangan agama atau penodaan agama sebenarnya bukanlah hal baru. Sudah terjadi sejak zaman Bani Umayah. Di tahun 660 M. Saat ibu kota kerajaan Arab dipindahkan ke Damsyik, tempat kedudukan baru Khalifah Bani Umayah. Di saat itulah Islam menghadapi cobaan. Masyarakat menganut aliran sesuai kepercayaannya.
Terlepas dari semua itu sejarah buruk seharusnya tidak boleh berulang. Mengingat keragaman merupakan keniscayaan yang tidak bisa dicegah terjadinya
Negara kita adalah negara yang memiliki kitab yang bernama Undang-Undang Dasar 45. Yang artinya Undang-Undang Dasar telah secara tersirat menjamin kebebasan beragama bagi setiap individu di Indonesia. Bunyi sebuah konstitusi bukanlah bunyi-bunyian yang dapat dengan mudah dilupakan dan diabaikan. Tidak memiliki taring untuk mencekal yang melanggarnya.Pemerintah justru mencari titik aman dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama yang diterbitkan tiga menteri yakni Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung. Isi SKB memang tidak secara tegas membubarkan Ahmadiyah melainkan memberikan peringatan dan perintah kepada jamaah Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya. Jelas bahwa negara ini lebih berani membungkam jamaah Ahmadiyah yang jelas tidak melanggar hak asasi manusia ketimbang menindak para pelaku kekerasan yang masih banyak berkeliaran.
Apakah masih kurang cukup pertumpahan darah yang terjadi akibat perbedaan paham, prinsip, dan pilihan. Seharusnya negeri ini belajar dari masa lampau. Agar tidak selalu menelan korban anak negeri. Dan segera berbenah untuk secara arif menerima segala keragaman.
Cerita Kali
Aku rindu,,,
Pada jalan-jalan yang kita lalui
Pada tandakan sawah dan pada tandakan jalan menuju kali
Kiranya masih diberikan waktu
Aku ingin menempuhinya
Melihat hijaunya air kali nan setia
Kita merenunginya sepanjang sore
Bersama rengekan pohon-pohon bambu
Karena hempasan angin
Sayang,,
Bolehlah kita melupakannya sementara waktu
Tapi kenangan itu tak akan bisa lenyap
Aku ingat
Pagi nan sejuk itu
Sementara lonceng gereja berdentang
Dan nyanyiannya bersautan
Kita bersejajar
Mengatakan bahwa kita manusia
Yang dalam sunyi lebih merasa hening
Berjanji akan saling mengasihi
Tapi jauh sebelum waktu itu datang
Aku telah menempatinya
Menungguinya di kala sore
Bersama kicau burung
Di kali itu,
Di antara rengekan pohon bambu nan rimbun
Dan kini telah lebih dari sepuluh tahun
Aku datang kembali pada kali itu
Menengok kenangan nan manis
Hendak menceritai perjalananku
Mataku menerawang
Basah,,
Air hijau itu telah ditelan bebatuan
Bahkan lumut pun tak berbekas
Kering,,
Merana
Pohon-pohon bambu itu tak lagi manja
Merengek ditingkahi angin
Kini usianya telah senja
Mungkin juga telah berganti tempat untuk anak-anaknya
Sayang,,,
Hatiku kini gersang
Karena perjalanan panjang itu
Kali ini mati, bambu berguguran
Dan perubahan tak lagi mampu mereka hindari
Aku tak sanggup menceritai pada mereka tenteng perjalananku
Justru giliranku mendengar cerita mereka
Tentang kerakusan manusia
Dan pengkhianatannya
Kadang dan lebih sering kita merasa kurang
Seolah-olah hendak hidup untuk seribu tahun lagi
Semua dirampas
Segala-galanya di hajar
Mereka tidak ingat telah beranak pinak
Ada anak cucu, cicit, dan canggah
Akan diberi apa mereka kelak
Apakah hanya akan ada cerita saja
Bahwa di kali ini lah kebahagiaan diperoleh
Ada alam yang selalu jujur
Dan kenangan dibuat
Sayangku,,
Katakan
Ke mana lagi kita akan berkunjung
Menemukan burung yang matanya tak sayu
Pohon bambu yang selalu ceria
Dan angin yang senantiasa bersahabat
Aku telah kehilangan semuanya,,
Kustiah
01 Juli 2008
Gelagah
Engkau seperti gelagah
Yang mesti tanah itu panas dan cuaca kering
Akarmu mampu bertahan di dalamnya
Atau pohon pinus yang rendah hati dan lembut itu
Lihat saja di lereng anak Gunung Krakatau
Mereka berdiri tegak dan tangguh
Tetap hijau meski tak ada air dan kesejukan
Hanya ada letusan magma dan udara panas
Selebihnya pasir pantai yang hangat dan angin yang kering
Aku ingin seperti mereka sayang
Menjadi matang karena deraan derita duniawi
Tidak mudah mengeluh apalagi menangisinya
Cobalah katakan
Apalagi yang harus aku mengerti
Tentang hitam dan putihkah?
Atau tentang gelap dan terangkah?
Bukankah aku telah merasainya?