Minggu, 20 Juli 2008

Ketenaran Penari Tayub
Oleh HENDRIYO WIDI/Kompas

Kartono, pelatih tari tayub, segera menyelinap masuk ke gubuk Sri setelah Jayem, ayah Sri, pergi mencari rumput. Kemudian terdengar suara Kartono membangunkan Sri, si penari tayub kondang.

Setelah Kartono dan Sri berdialog beberapa saat, terdengar suara Sri, ”Aku kangen,
Mas... Aku kangen....” Ucapan itu segera disusul dengan suara amben atau tempat tidur kayu ambruk, ”Gedubrak!”


Tak beberapa lama, Sri keluar sembari membenahi pakaian dan menyeka gincu yang belepotan di pipi kanannya. Di belakangnya, Kartono keluar sembari menyeka keringat di sekujur tubuhnya.

Demikian salah satu cuplikan pentas teater kampung ”Ledhek Mendres”, Jumat (4/7) sore, di Desa Mberan, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Lakon yang merefleksikan kisah ketenaran penari tayub itu merupakan ujian penciptaan gelar pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dari dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Subayono, warga Desa Dluwangan, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora.

Lakon itu mengambil tempat di halaman gubuk seorang warga Desa Mberan. Nuansa pedesaan menjadi sangat kentara ketika di sekitar gubuk itu terdapat jerami, lincak atau kursi panjang terbuat dari bambu, sabit, beronjong, kambing, dan sepeda onthel.
Untuk memperkuat simbol penari tayub, jarit, selendang tari, dan pakaian Sri, disampirkan di memean atau tempat jemuran terbuat dari tali yang melintang dari batang pohon sampai tiang penyangga gubuk. Tak lupa pula, suara radio yang memutar tembang-tembang Jawa terkadang terdengar sayup-sayup.

Dalam pementasan itu, Subayono didukung sejumlah dosen ISI Surakarta dan warga Blora yang terbiasa menyambangi pergelaran tayub. Ia juga meminta penari tayub Blora Sri Katon untuk menjadi pemeran utama ”Ledhek Mendres”.
Sekitar satu setengah jam, para penonton disuguhi dialog-dialog Jawa khas pedesaan Blora. Sketsa-sketsa erotisme, seks, kekuasaan, kritik-kritik sosial, dan dagelan atau senda gurau pedesaan, menjadi alur apik teater kampung atau rakyat itu.
Transformasi tayub

Adalah Sri, anak petani miskin bertransformasi diri menjadi penari tayub kondang Desa Mberan. Ia hidup bergelimang harta benda. Derajatnya sebagai bocah ndeso seketika itu juga naik menjadi penari pujaan para lelaki berpangkat maupun tak berpangkat.
Berkat kelimpahan harta dan derajatnya yang terangkat, Sri mempunyai kekuasaan terhadap ayah dan tiga lelaki yang mendekatinya. Jayem, sang ayah, acap kali mengeluh lantaran Sri sering membantah nasihat-nasihatnya.

”Di kepenakke anak kok gak gelem, leh! Aku ki wis kerja ben keluarga ki kecukupan. Direwangi sikil nggo ndas, ndas nggo sikil! (Disejahterakan anaknya kok tidak mau! Saya ini sudah bekerja keras supaya keluarga kecukupan! Sampai-sampai kaki untuk kepala dan kepala untuk kaki!),” kata Sri ketika berdialog dengan Jayem.
Nasib yang sama dialami Joko, pacar Sri. Pria tegap berbadan besar dan sangar itu tunduk ketika Sri meminta apa saja. Joko juga selalu menerima uang saku ratusan ribu rupiah dari Sri. Tak mengherankan jika lelaki yang ditakuti kaumnya itu justru takut kepada Sri.

”Yen kowe digoda, aku mesti nesu. Toh-tohane nyawaku! (Kalau kamu digoda, saya pasti marah. Taruhannya adalah nyawa saya!),” kata Joko kepada Sri.
Subayono mengatakan, penari tayub itu adalah perempuan perkasa. Ia bukan simbol seks saja, melainkan tulang punggung keluarga. Ia menghidupi orangtua, sanak saudara, suami, dan anak-anaknya melalui menari.

Para penari tayub yang terlahir sebagai bocah ndeso, semula selalu gelisah menginginkan perasaan cinta, ingin kaya, dan dihormati atau memiliki kedudukan dan derajat yang tinggi. Ambisi itu tidak lagi terbendung ketika mendapatkan kesempatan.
Menurut Subayono, untuk menjadi penari tayub, seorang gadis desa menempuh tiga proses. Awalnya, mereka ngenger atau ikut penari tayub yang sudah tenar dengan harapan mendapat limpahan rezeki.
”Laku nyelup”
Kemudian mereka nyantrik atau berlatih tari kepada pelatih tari perempuan atau kepada penari tayub tenar. Untuk menyempurnakan profesi, mereka nyelup atau berhubungan seks, terutama dengan orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi.
”Laku nyelup itu dipercaya dapat mengangkat derajat ledhek atau penari tayub menjadi seorang yang laris. Orang menyebut ledhek mendres,” kata Subayono.

Para penari itu, lanjut dia, bertransformasi menjadi perempuan yang memiliki kuasa. Kekuasaan itu dapat menjungkirbalikkan kekuasaan kaum lelaki. Buktinya, banyak pedagang beruang dan para pejabat tunduk dengan kecantikan dan pesona seorang ledhek begitu mereka ketiban sampur atau terjerat selendang penari tayub.
”Mereka mengubah citra perempuan sebagai kanca wingking yang selalu bekerja di dapur, sumur, tempat tidur, dan tidak boleh pulang malam, menjadi perempuan mandiri yang menentukan nasib sendiri,” kata Subayono.
Dosen penguji sekaligus pengajar metodologi penciptaan dan penelitian ISI Surakarta Prof Rustopo mengatakan, nilai lebih dari ”Ledhek Mendres” adalah kristalisasi pengalaman Subayono. Ia menjadi pengamat partisipan untuk membedah dan menceritakan kembali kehidupan para penari tayub.

”Fokus pertunjukan itu adalah realitas ketenaran seorang penari tayub dengan latar belakang kehidupan kampung yang semirip mungkin dengan aslinya,” kata dia.
Perubahan gaya hidup Sri, anak desa menjadi penari tayub, begitu kentara. Dengan uang dan pesonanya, ia bisa membeli apa pun, termasuk ”membeli” keluarga dan para lelaki pengagumnya.
Seks dan erotisme penari tayub, lanjut Rustopo, digarap Subayono tidak dengan cara blak-blakan atau terbuka. Meskipun begitu, para penonton sudah bisa membayangkan atau mengimajinasikan garapan itu.
Subayono sendiri mengakui penggarapan ”Ledhek Mendres” membutuhkan proses lama. Ia mulai mengadakan penelitian sejak tahun 1988 dan dua tahun terakhir ia mengangkat penelitian itu sebagai materi utama ujian penciptaan pascasarjana.
”Saya hanya ingin mengubah image masyarakat tentang ledhek atau penari tayub. Mereka sebenarnya adalah perempuan perkasa yang menjadi jenderal dan penopang hidup keluarga,” ujarnya.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Apakah saya bisa mengontak penulisnya?