Rabu, 02 Juli 2008


KEKERASAN BERBAJU AGAMA


Masih ingat dengan peristiwa Monas (Monumen Nasional) yang pekan lalu sempat menjadi hedline beberapa media di Indonesia. Salah satu organisasi Islam melakukan penyerangan terhadap sekelompok massa yang sama-sama melakukan aktivitas di Monas.

Ormas Islam yang menamakan diri Front Pembela Islam geram dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Pasalnya AKKBB mendukung gerakan jamaah Ahmadiyah. Yang dianggapnya telah menyimpangkan ajaran agama Islam dan dituduh sebagai sebuah aliran sesat yang layak dibubarkan.

Masyarakat umum tahu bahwa AKKBB adalah aliansi masyarakat yang menjunjung tinggi pluralisme termasuk tidak mempermasalahkan keberadaan Ahmadiyah. Alasannya jelas bahwa jamaah Ahmadiyah adalah manusia yang memiliki hak asasi untuk berbuat, memilih, dan memutuskan selama tidak melanggar hak asasi.

Berlarut-larutnya masalah Ahmadiyah membuat AKKBB tidak tinggal diam. Padahal masalah ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melindungi warga negaranya. Karena FPI sudah melakukan pelanggaran hak asasi manusia. FPI dan ormas anti-Ahmadiyah yang menamakan diri mereka sebagai pembela Islam dan kebenaran tersebut, tidak hanya melakukan pembakaran terhadap masjid milik jamaah Ahmadiyah melainkan penyerangan dan pengrusakan. Korbannya tentu saja para jamaah Ahmadiyah yang tidak saja terdiri dari bapak-bapak tapi juga para ibu dan anak-anak.

Tak ada perlawanan, yang hanya bisa dilakukan jamaah Ahmadiyah adalah mengungsi dan mencari perlindungan. Dari sinilah saya bertemu dengan mereka. Di sebuah forum di Utan Kayu. Ketika bertemu dengan jamaah ini saya lupa bahwa yang saya hadapi adalah Ahmadihyah. Saya hanya melihat mereka sebagai korban yang hak asasinya telah diusik dan penghidupannya diganggu orang lain. Di sebuah negara yang memiliki Undang-Undang sebagai konstitusi negara. Yang setiap alineanya menenteramkan orang yang membacanya. Salah satunya adalah berbunyi bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan” (alenia pembuka UUD 1945).

Batin saya kembali terusik manakala yang saksikan bukan hanya ibu-ibu yang menangis dan berkeluh kesah, melainkan banyak anak kecil. Seorang ibu (maaf tidak bisa saya sebutkan namanya) mengatakan, akibat dari pembakaran—yang biasa dilakukan di malam hari—dan penyerangan, mereka tidak saja kehilangan tempat tinggal. Anak-anak terpaksa harus meninggalkan sekolah dan tempat bermainnya.

Di sekolah, anak-anak tidak jarang mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan baik dari guru maupun teman-temannya. Misal, pembagian rapor dibedakan. Untuk anaknya jamaah Ahmadiyah rapor dibagikan setelah rapor anak-anak yang bukan anggota jamaah Ahmadiyah selesai dibagikan dan itu pun dibedakan warnanya. Contoh lainnya adalah para guru menyebut aliran Ahmadiyah bukan sebagai bagian dari agama Islam melainkan sebuah agama baru. Sontak para orang tua jamaah Ahmadiyah harus sering memberikan pengertian dan penjelasan kepada anak-anaknya.

Tidakkah FPI dan orang atau ormas yang anti-Ahmadiyah ini telah sedemikian besar melakukan diskriminasi. Yang tidak jauh berbeda dengan Orde Baru yang mendiskriminasikan PKI dengan memberikan simbol eks-Tapol di Kartu Tanda Penduduknya. Sungguh negara kita saat ini telah banyak dihuni oleh orang-orang yang menganggap dirinya lebih benar dan dan lebih soleh. Orang yang tidak sepaham atau seprinsip dianggapnya sebagai musuh dan lawan.

Bukankah dalam Islam sendiri aksi kekerasan diharamkan. Semua itu tercantum jelas dalam Al Quran dan Hadis. Dan saya juga yakin agama apa pun tidaklah menganjurkan penganutnya melakukan kekerasan satu sama lain. Apalagi melakukannya dengan mengatasnamakan agama sebagai yang harus dibela.

Kekerasan atas nama aliran sesat, penyimpangan agama atau penodaan agama sebenarnya bukanlah hal baru. Sudah terjadi sejak zaman Bani Umayah. Di tahun 660 M. Saat ibu kota kerajaan Arab dipindahkan ke Damsyik, tempat kedudukan baru Khalifah Bani Umayah. Di saat itulah Islam menghadapi cobaan. Masyarakat menganut aliran sesuai kepercayaannya.

Terlepas dari semua itu sejarah buruk seharusnya tidak boleh berulang. Mengingat keragaman merupakan keniscayaan yang tidak bisa dicegah terjadinya

Negara kita adalah negara yang memiliki kitab yang bernama Undang-Undang Dasar 45. Yang artinya Undang-Undang Dasar telah secara tersirat menjamin kebebasan beragama bagi setiap individu di Indonesia. Bunyi sebuah konstitusi bukanlah bunyi-bunyian yang dapat dengan mudah dilupakan dan diabaikan. Tidak memiliki taring untuk mencekal yang melanggarnya.Pemerintah justru mencari titik aman dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama yang diterbitkan tiga menteri yakni Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung. Isi SKB memang tidak secara tegas membubarkan Ahmadiyah melainkan memberikan peringatan dan perintah kepada jamaah Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya. Jelas bahwa negara ini lebih berani membungkam jamaah Ahmadiyah yang jelas tidak melanggar hak asasi manusia ketimbang menindak para pelaku kekerasan yang masih banyak berkeliaran.

Apakah masih kurang cukup pertumpahan darah yang terjadi akibat perbedaan paham, prinsip, dan pilihan. Seharusnya negeri ini belajar dari masa lampau. Agar tidak selalu menelan korban anak negeri. Dan segera berbenah untuk secara arif menerima segala keragaman.

1 komentar:

Ms LeeTa mengatakan...

setujuu sekalii...atas nama apapun tindakan anarkis tidak bisa ditolerir, tak terkecuali agama... mo jadi apa bangsa ini kalo tiap rakyatnya bebas main hakim sendiri.. D'oh!! #-o