Minggu, 06 Juli 2008


MENJADI KAPITALIS RINGAN TANGAN

Judul Buku: Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis

Penulis: Danah Zohar & Ian Marshall

Penerjemah: Helmi Mustofa

Penerbit: Mizan, Bandung

Cetakan: I, Agustus 2005

Tebal: 254 halaman

Peresensi: Kustiah

Bisnis biasanya diidentikkan dengan pendapatan dan keuntungan –kalau bisa sebesar-besarnya dan secepat-cepatnya. Sejalan dengan itu, para pebisnis digambarkan sebagai orang-orang yang mementingkan diri sendiri, serakah, egoistis, oportunistis, berpikir jangka pendek, dan sejenisnya.

Namun, dalam kenyataannya, tidak semua pelaku bisnis memiliki sikap-sikap tersebut. Dalam buku Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, Danah Zahar dan Ian Marshall, menceritakan kisah “lain” seorang pelaku bisnis bernama Mats Lederhuasen. Ia adalah Chief Executive McDonald’s Swedia. Dalam usia 30-an, ia sudah berada di puncak karir, memiliki keluarga yang harmonis, dan berlimpang uang, tapi ia tidak bahagia. Ia bimbang dengan pilihan hidupnya.

Mats sangat prihatin dengan keadaan dunia, khususnya tentang krisis lingkungan yang mendera dunia dan tentang runtuhnya masyarakat. Kata Mats, “Perusahaan-perusahaan besar seperti McDonal’s tidak cukup banyak melakukan sesuatu untuk semua itu.” Lebih lanjut ia mengatakan, “Saya hanya mencari uang. Saya habiskan sepuluh hingga dua belas jam setiap hari untuk bekerja pada McDonal’s, dan saya tidak mengabdikan diri untuk hal-hal yang sangat saya pentingkan. Saya ingin memiliki arti. Namun, saya tidak tahu bagaimana caranya. Saya hanya tahu bahwa saya ingin menjadi bagian dari solusi, bukannya menjadi bagian dari masalah” (hlm. 111).

Dalam kebimbangan itu, Mats menetapkan tiga opsi. Yakni tetap bekerja di McDonald’s, meninggalkan McDonald’s untuk menjadi konsultan independen, atau pergi ke biara di Tibet untuk bermeditasi. Pilihan Mats jatuh pada opsi yang pertama, yakni tetap bekerja di McDonald’s. Lalu Mats menulis surat ke Jack Greenburh, CEO McDonald’s, untuk menyatakan keprihatinannya.

Yang mengejutkan, Mats diundang ke Chicago untuk berdiskusi dan mendapatkan promosi yang tidak pernah ia bayangkan, menjadi Vice President Strategy yang bertanggung jawab untuk “mendongkrak perubahan”. Pada posisi itu Mats digaji sebagai “tukang kritik perusahaan”. Mats menjalankan upaya menentang organisme yang dimodifikasi secara genetik, kampanye untuk pembuatan kandang ayam yang lebih luas, dan komitraan dengan Conservation International untuk menanggulangi kerusakan ekosistem bumi dan merancang sumbangan McDonald’s dalam mewujudkan pertanian yang berkelanjutan (hlm. 128).

Kegelisahan yang dirasakan Mats, keprihatinannya, dan kebutuhannya yang mendalam untuk melakukan sesuatu guna menjadikan hidupnya melayani tujuan yang penuh makna itu, menurut Danah Zahar dan Ian Marshall, adalah tanda-tanda “kecerdasan spiritual (SQ)” yang tinggi.

Kecerdasan yang menyebabkan seseorang bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai makna dan nilai hidup, dan hal itu menjadikannya ingin melibatkan hidupnya dalam jenis-jenis pengabdian demi perkara yang lebih tinggi atau lebih dalam. Kecerdasan hati nurani yang memberi manusia akan moralitas dan kesadaran akan yang sakral, satu kesadaran bahwa hidup punya dimensi lebih dalam ketimbang semata-mata “mendapatkan dan menghabiskan” modal material.

Lewat buku ini, penulis buku best seller SQ ini menawarkan pandangan baru dalam dunia bisnis. Menurutnya, budaya kapitalis dan praktik bisnis yang beroperasi di dalamnya tengah berada dalam krisis. Keduanya melukiskan bisnis global sebagai “monster yang memangsa dirinya sendiri”. Hal ini terjadi lantaran etos dan asumsi-asumsi kapitalisme yang mendasarinya, dan banyak dari praktis bisnis yang berangkat dari etos dan asumsi-asumsi tersebut, tidaklah berkelanjutan. Para manajer dan eksekutif perusahaan umumnya digerakkan oleh motivasi-motivasi rendah seperti ketakutan (-4), keserakahan (-3), kemarahan (-2), dan penonjolan diri (-1) yang secara langsung ataupun tidak, mengorbankan kualitas hidup manusia. Dengan kata lain, jika kapitalisme dan bisnis –sebagaiman kita kenal– digerakkan oleh motivasi-motivasi itu, maka tak punya masa depan jangka panjang.

Padahal, bisnis yang berkelanjutan digerakkan oleh SQ yang tinggi, terutama hasratnya untuk memperjuangkan visi dan nilai-nilainya. SQ itu menyebabkan pergeseran dalam motivasi kerja pelaku bisnis dari -3, serakah (bekerja hanya untuk uang), ke paling tidak +3, kekuatan dari dalam. Danah Zahar dan Ian Marshall menempatkan Mats pada +6, pengabdian lebih tinggi –sebagai seorang kesatria. Selain itu, penulis juga mencatat bahwa spritualitas itu bukan masalah agama atau sistem kepercayaan apa pun. Spiritualitas menyangkut sesuatu yang universal, yaitu values, meaning, dan purpose dalam hidup manusia yang tidak tergantung agama apa pun yang dianut seseorang.

Bisnis tanpa SQ tidak berkelanjutan, karena terbukti menimbulkan krisis kepemimpinan pada perusahaan-perusahaan terkemuka di negara-negara maju. Para pengelola perusahaan kehilangan spirit atas apa yang dilakukan. Dalam bekerja mereka melakukan apa saja seperti menipu, bermain curang, manipulasi, memotong gaji buruh, membuat laporan palsu dan sebagainya yang tujuan utamanya untuk menumpuk uang. Tapi setelah uang diperoleh, mereka merasa hampa makna, hidup tidak berarti, dan hanya sebagai makhluk pemburu uang. Padahal, manusia sejatinya tidak sekadar “makhluk ekonomi”, tapi juga makhluk spiritual yang dahaganya membutuhkan siraman makna dan nilai yang dalam.

Buku ini menyarankan jika ingin mengembangkan bisnis yang berkelanjutan, maka para pemimpin perusahaan harus mengambil keputusan yang radikal. Yakni, kelompok inti di masa kini dan para pemimpin potensial perusahaan di masa depan bisa mendayagunakan kecerdasan spiritual mereka demi menciptakan modal spiritual (spiritual capital) dalam budaya organisasi mereka yang lebih luas, dan dengan begitu membuat budaya mereka lebih berkelanjutan. Tujuannya adalah sebuah kapitalisme yang di dalam dirinya sendiri berkelanjutan dan sebuah dunia yang di dalamnya kapitalisme berkelanjutan bisa menghimpun kekayaan yang dapat memenuhi semua kebutuhan kita (hlm. 23).

Transformasi kecerdasan spiritual bisa diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) berupa kepedulian terhadap lingkungan dan kehidupan manusia secara umum. Sebuah budaya perusahaan dan bisnis yang memanusiawikan karyawan, tidak merusak lingkungan, dan peduli terhadap kelompok-kelompok miskin. Perusahaan dan lembaga bisnis tidak hanya mengeruk keuntungan, tapi juga berbagi keuntungan dengan manusia lainnya. Bentuk tanggung jawab sosial ini tidak berupa amal sosial, tapi sebuah program yang berkelanjutan dan berdampak luas. Misalnya, Coca-Cola menggunakan jaringan distribusinya di India untuk melayani pemerintah India dalam mendistribusikan vaksin polio ke daerah perbatasan terpencil dan mendirikan klinik-klinik kesehatan di sepanjang pedalaman Tiongkok dan Asia Tenggara. Merck Phamrmaceutical menyediakan obat-obatan gratis untuk mencegah meluasnya kebutaan akibat parasit river blindness di Afrika.

Buku ini banyak mengkritik kapitalisme dan bisnis sebagaimana umumnya. Namun, buku ini tidaklah antikapitalis atau antibisnis, dan juga tidak menampik mekanisme ekonomi yang telah menghasilkan kekayaan yang belum pernah sebelumnya dihasilkan umat manusia. Penulis tidak bermaksud menolak kapitalisme, melainkan mengubahnya agar lebih manusiawi, berjangka panjang, dan berhati nurani. Karena, keduanya menyakini potensi yang besar dalam bisnis dan bidang-bidang lain untuk meningkatkan –dalam kerangka yang lebih luas– kekayaan dan nilai, yang sebagian bisa dipakai untuk kepentingan bersama umat manusia. []

Tidak ada komentar: